Quantcast
Channel: SWA.co.id – Berita bisnis terkini, Diaspora Indonesia, Business Champions, dilengkapi dengan strategi dan praktek bisnis, manajemen, pemasaran, entrepreneur, teknologi informasi, keuangan, investasi, GCG, CSR, profil dan gaya hidup eksekutif.
Viewing all 151 articles
Browse latest View live

Fitinline, Jasa Menjahit Online Ala Fani

$
0
0
Istofani Api Diany

Istofani Api Diany

Di era digital saat ini, banyak usaha lawas yang bisa dimodifikasi menjadi bisnis beraroma teknologi, termasuk bisnis jahit pakaian. Hal itu dibuktikan oleh Istofani Api Diany yang membesut Fitinline, jasa menjahit online.

Di bawah komando Sarjana Komputer lulusan Universitas Indonesia dan MBA dari Institut Teknologi Bandung itu, menjahit pakaian tidak lagi dikerjakan hanya menggunakan mesin jahit, tetapi sekaligus menggunakan komputer dan Internet.

Caranya? Gampang saja. Konsumen yang ingin dijahitkan pakaiannya bisa mengirimkan bahannya melalui kurir. Sementara urusan ukur-mengukur postur tubuh dan memilih model baju dapat mengikuti panduan yang tersedia online di website-nya www.fitinline.com. “Kalau tidak bisa membuat ukuran bisa menyertakan contoh baju sesuai dengan ukuran yang diinginkan,” papar Istofani, yang melayani konsumennya di seantero Indonesia dari rumahnya di Perumahan Titibumi Residence, Sleman, Yogyakarta.

Istofani sengaja memilih bisnis jasa jahit tersebut, karena mantan Kepala Kantor Manajemen Proyek di Solusi 247 itu ingin menjalankan bisnis yang belum dijamah orang lain. Ditambah dia melihat peluang besar dari kemacetan di kota besar seperti Jakarta yang menyulitkan orang mendatangi tukang jahit langganan.

Berdasarkan keyakinan tersebut, Fani, sapaannya, lantas memberanikan diri pamit mundur dari tempat kerjanya tahun 2012, untuk mengibarkan bisnis jasa jahit online. Untuk melayani jasa jahit jarak jauh tersebut, Fani menyiapkan tenaga jahit khusus. Saat ini, ia memiliki 6 karyawan, empat sebagai tukang jahit dan selebihnya yang memotong pola. “Untuk desain pola sudah computerized, tapi untuk memotong masih manual karena kalau semua otomatis butuh investasi yang besar,” ujarnya.

Sebelum terjun ke bisnis tersebut, Fani sempat kursus menjahit di Jakarta. Ia rela merogoh kocek Rp 7 juta buat biaya kursus. Alasannya, sebelum terjun berbisnis sendiri, ia merasa harus paham luar-dalam dengan bisnis barunya itu. “Saya sengaja kursus jahit karena saya memang ingin serius menekuni usaha ini,” ungkapnya.

Selanjutnya, faktor kemudahan mencari tukang jahit menyebabkannya hijrah dari Jakarta ke Yogya. Kota Gudeg dirasakannya sudah memiliki infrastruktur TI yang memadai untuk mendukung bisnisnya.

Untuk memperkenalkan bisnis online-nya, Fani mengaku banyak berpromosi lewat jejaring sosial Facebook. Hanya saja, menggaet konsumen tidak semudah yang dibayangkan. Order pertama baru berhasil digenggamnya sebulan setelah bisnisnya berkibar.

Meski demikian, dia berprinsip: sekali layar terkembang, pantang surut kembali. Sebelum sukses ada di genggaman, pantang menyerah. Karena itulah, Fani terus mencari banyak cara untuk memopulerkan bisnisnya, termasuk rajin mengikuti berbagai kompetisi.

Hasilnya tak sia-sia. Seperti dalam ajang Wowenpreneur Competition yang diselenggarakan Fimela.com, Online Fashion dan Lifestyle Magazine bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dari 900 peserta Fani sukses menyabet juara ketiga.

Kemenangan tersebut melapangkan jalan perempuan kelahiran tahun 1976 di Kebumen, Jawa Tengah itu. Liputan luas di media online dan cetak sontak diraihnya plus bantuan modal usaha. Selanjutnya ia juga mendapat kesempatan mengikuti Women Economic Forum APEC 2013 di Bali.

Setelah meraih kemenangan dalam kompetisi tersebut, kepercayaan konsumen semakin meningkat. Setiap bulan rata-rata dia mendapatkan minimum pesanan 45 baju. Adapun tarif yang dipasang minimum Rp 175 ribu per baju. Beda tipis dari tarif jasa jahit rumahan di berbagai tempat di Jakarta.

Sukses di bisnis jahit membuatnya merambah dunia yang lebih luas. Sejak Desember 2013, Fani turut mengembangkan jasa kursus jahit online. Caranya dengan membuat modul dalam bentuk video tutorial. Peserta kursus akan memperoleh video streaming yang per videonya dihargai Rp 65-85 ribu. Fani mengaku, ia hendak fokus di bisnis kursus jahit online karena pasarnya yang dianggap lebih besar.

Nah, lagi-lagi, untuk mempromosikan bisnis jasa kursus jahitnya, Fani menempuh langkah serupa yang terbukti murah tetapi efektif, yakni dengan bertanding. Akhirnya Fani berhasil meraih juara kelima di ajang Jogja Pitching Competition 2013 kategori Digital Start-up yang diadakan oleh Grup Telkom di Jogja Digital Valley. Selain itu dia pun sukses mendapat wild card untuk menjadi finalis di Indigo Incubator Award 2014 yang diselenggarakan Telkom Indonesia.

Jika ajang ini berhasil dimenanginya, Fani akan meraih suntikan dana segar Telkom sebesar Rp 250 juta dengan kompensasi saham. “Saya berharap bisa menjadi juara,” ucap anak keempat dari lima bersaudara dari keluarga pengusaha genting di Kebumen ini, berharap.

Fani pun merasa bersyukur tiap hari jumlah pengunjung website-nya terus menanjak. Saat wawancara awal Maret 2014, jumlah pengunjung www.fittinline.com per harinya berada di angka 1.500 orang. Sementara jumlah anggota aktifnya kini telah mencapai 1.180 orang.

Gigin W. Utomo

Eddy Dwinanto Iskandar

The post Fitinline, Jasa Menjahit Online Ala Fani appeared first on Majalah SWA Online.


Mita Abidin, Auditor yang Kepincut Bisnis Resto

$
0
0

Angka dan dapur adalah dunia Mita Abidin. Setiap hari, kelahiran 25 Mei 1983 ini berkutat dengan deretan angka dan aneka racikan bumbu dapur. Sebagai seorang auditor di sebuah perusahaan akuntan publik, kesehariannya dihabiskan dengan aktivitas yang berkaitan dengan keuangan dan perpajakan. Pada saat bersamaan, Mita juga sebagai pemilik merangkap CEO Sinou Kaffee Hausen dan Sinou Steak.

Mita Abidin

~~

Bahkan, ia langsung terjun meracik bumbu aneka menu yang disajikan di kedua resto yang berlokasi di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu. Terutama saus ala Sinou, yakni saus creamy yang didominasi rasa keju dengan sentuhan rasa bawang putih dan rempah, yang menurut Mita menjadi teman yang pas bagi daging sirloin yang tingkat kematangannya dapat dipilih sesuai dengan selera (rare, medium atau well done).

Saya hobi masak dan suka makan steak,” ungkap Mita memberikan alasan mengapa terjun ke bisnis kuliner dan memilih steak sebagai menu andalannya. Perempuan asli Pekalongan tetapi dilahirkan di Tanah Priangan, Bandung ini menggeluti bisnis kuliner sejak 2010. Debut awalnya dimulai di Sinou Kaffee Hausen, diambil dari campuran bahasa Jerman yang berarti Rumah Kopi Sinou. Mengusung konsep ruangan bergaya industrial tahun 1960-an lengkap dengan sentuhan artistik seperti poster vintage dan perabotan kuno, Sinou Kaffee Hausen langsung mencuri perhatian penikmat kuliner dan hangout.

Bukan semata atmosfer yang disuguhkan. Menu yang ditawarkan pun cukup menggugah selera. Braised Oxtail Soup, Special Sinou Fried Rice, Smoked Beef Spaghetti, Sirloin Wagyu Steak, Pancake, French Toast dan Waffle Heaven Choco adalah beberapa menu andalan Sinou Kaffee Hausen. Lychee Iced Tea, Cocktail Mango, Hot Cappuccino dan Green Tea Cappuccino yang disajikan dengan latte art yang menarik merupakan minuman yang bisa dijumpai di kafe yang memiliki meeting room bergaya Eropa ini.

Dengan investasi sekitar Rp 2 miliar – di luar gedung – dalam hitungan 12 bulan Mita mengaku Sinou Kaffee Hausen sudah break even point. Keberhasilan ini membuat dia makin kepincut menggeluti bisnis kuliner, meski tak mau menanggalkan karier profesionalnya sebagai auditor yang telah dilakoninya lebih dari sedasawarsa. “Alhamdulillah, selama ini bisa dijalani dengan baik,” dia menjawab diplomatis ketika ditanya bagaimana membagi waktu antara dua kesibukan yang berbeda tersebut.

Passion. Itulah yang membuat Mita mampu menjalani kedua aktivitasnya. Lulusan Akunting dari Universitas Indonesia ini sejak kecil memang hobi memasak. Sulung dari dua bersaudara ini kerap menjajal aneka menu. Seiring kemampuan dan pengetahuannya tentang dunia kuliner, ia pun terobsesi membuka resto. Steak kemudian dipilih sebagai menu andalan karena ia memang penikmat steak. Tak heran, ia berulang kali eksperimen dalam pengolahan daging dengan minyak, di antaranya kanola, zaitun (olive oil), dan lain sebagainya. Berbagai eksperimen ini kemudian mengantarkannya memilih minyak zaitun. “Berdasarkan penelitian, olive oil ini memiliki khasiat menurunkan kolesterol. Selain itu, saat daging di-grill, rasa dagingnya lebih keluar,” ujar Mita saat grand opening Sinou Steak di kawasan Senopati, Jak-Sel.

Dengan investasi berkisar Rp 1 miliar – di luar bangunan – Mita mengepakkan sayapnya dengan mendirikan Sinou Steak. Menurutnya, meski menu dan tema berbeda, Sinou Steak dapat mengimbangi kesuksesan Sinou Kaffee Hausen. “Semoga, dengan kehadiran Sinou Steak bisa menjadi pilihan restoran, khususnya bagi pecinta daging wagyu,” katanya berharap. Berkonsep “peternakan sapi di Prancis”, selain menyajikan daging wagyu, keistimewaan Sinou Steak adalah menyajikan steak yang dipadukan dengan 100% minyak zaitun dari Italia saat memanggang.

Dalam menjalankan bisnis restonya, Mita mengaku mengedepankan kualitas. “Dijamin masakan di Sinou tanpa MSG,” ujarnya. Selain steak, menu lain yang ditawarkan di Sinou Steak adalah nasi goreng wagyu. Juga disediakan menu yang bisa disantap anak-anak, seperti homemadesosis, miniburger wagyu, chicken chop, dan salmon grill steak. Menurutnya, rasa saja tak cukup, mesti diberikan sentuhan sehat dalam makanan. Inilah filosofi Mita dalam menjalankan bisnisnya.

Selain itu, dia pun sangat memperhatikan konsep dan nuansa yang ingin dibangun dari restonya. Pengunjung Sinou Steak dimanjakan desain interior yang didominasi kayu dan batu bata yang memberikan kesan hangat. Ornamen khas peternakan seperti tali yang biasa digunakan para koboi dan alat musik gitar menjadi penghias dekorasi restoran.

Kualitas makanan, kenyamanan dan harga terjangkau adalah strategi Mita menggelindingkan kedua restonya. Ia sadar, persaingan bisnis resto di Ibu Kota sangat keras. Dan baginya, tak ada jurus lain selain mengedepankan kualitas produk, kenyamanan tempat dan harga terjangkau. “Harga di Sinou Steak benar-benar terjangkau, mulai dari Rp 19 ribu hingga Rp 110 ribu. Kami juga menyediakan Wi-Fi,” tutur pehobi berkuda, jalan-jalan dan mendengarkan musik ini. Ia pun optimistis, Sinou Steak bisa mendulang sukses seperti Sinou Kaffee Hausen.

Ke depan, Mita berencana membuka tiga cabang Sinou di Jakarta dan Bandung. “Mudah-mudahan tahun depan sudah bisa terwujud,” ia berharap. Investasinya? Untuk bangunan, ia memang mendapat dukungan penuh dari kedua orang tuanya yang memiliki banyak properti. “Tapi, ini bisnis saya pribadi,” kata Mita.

Selain menjalankan dua resto, ia merambah pula bisnis katering sejak 2011. Beberapa perusahaan, organisasi olah raga dan pejabat tinggi menjadi pelanggannya. Kontribusi dari bisnis katering lumayan besar, bisa mencapai 50:50 dengan bisnis restonya. “Semua responsnya bagus,” katanya. Karena itu, ia optimistis di sela-sela kesibukannya sebagai auditor, ia bisa menggelindingkan Sinou dengan mulus. “Saya ada asisten di Sinou,” imbuhnya. Omong-omong tentang nama Sinou, diakui Mita, sebagai panggilan kesayangan dirinya.

Henni T. Soelaeman

The post Mita Abidin, Auditor yang Kepincut Bisnis Resto appeared first on Majalah SWA Online.

Yusdi & Yohan, Duet Pemenang Kompetisi Game Tingkat Dunia

$
0
0

Ajang Mobile World Congress 2014 di Barcelona, Spanyol, Februari lalu, memberikan kesan tersendiri bagi Yusdi Saliman dan Yohan Alexander. Pada ajang tersebut mereka berhasil menjuarai The Tizen Apps Challenge – kompetisi yang mendorong para pengembang untuk menciptakan aplikasi menggunakan platform yang masih baru. Game Sage Fusion 2 yang mereka kembangkan berhasil menjadi pemenang utama kategori Role Playing Game and Strategy dan menggaet hadiah sebesar US$ 250 ribu. “Ini pengalaman yang sangat menarik, karena pada awalnya kami tidak pernah menyangka akan menang,” kata Yusdi, seraya menyebutkan kompetisi tersebut berskala dunia.

Yusdi Saliman dan Yohan Alexander

Yusdi Saliman dan Yohan Alexander

Yusdi menceritakan, ketika mereka mendengar Samsung dan Intel yang membuat platform Tizen menggelar kompetisi bagi para pengembang aplikasi, mereka pun mendaftarkan game Sage Fusion 2. Kebetulan game itu menggunakan teknologi HTML-5, yang sesuai dengan platform Tizen. “Kami sebetulnya menang di dua kategori, yakni RPG dan HTML-5,” ujar lelaki kelahiran Jakarta 20 November 1985 ini dengan nada bangga.

Bisnis pembuatan game kini memang telah menjadi pilihan kedua lajang asal Bandung tersebut. Padahal, seperti dikatakan Yusdi, “Awalnya kami berencana ingin buka usaha, tapi belum terpikir mau usaha apa. Kemudian jadi bikin game,” ujar penggemar game ini seraya tertawa.

Saya pernah iseng-iseng bikin komik dengan teman, tapi tidak jadi. Lalu ketemu Yusdi yang ingin bikin game RPG. Kemudian komik yang baru jadi 32 halaman itu saya sodorkan ke Yusdi. Kami pun mengembangkan ceritanya dan ditulis dalam bahasa Inggris,” Yohan menambahkan.

Yusdi si penggemar game yang lulusan Jurusan Elektro ITB memiliki kemampuan di bidang programming, bertemu dengan Yohan, Magister Desain lulusan ITB yang memang hobi menggambar. Pada awal 2012 mereka sepakat membangun studio game, yang diberi nama Kidalang Studio.

Mereka berdua pun berbagi peran. Yusdi mengurus aspek teknis pemrograman, sedangkan Yohan mengurus ilustrasi dan desain. Menurut Yusdi, yang mereka buat bukanlah game kasual, tetapi memiliki diferensiasi, yakni game yang berciri story-driven. “Kekuatannya ada pada ceritanya. Jadi, ini game RPG tapi ada cerita seperti novel,” ujarnya. “Ya, ini sesuai dengan nama studio kami, Kidalang. Seorang dalang kan menceritakan sebuah kisah,” Yohan menambahkan.

Pada November 2012, mereka merilis game pertama yang diberi nama Sage Fusion. Selanjutnya, sekuel Sage Fusion 2 dirilis pada Agustus tahun lalu. Game kategori RPG dengan genre sci-fi futuristik ini menceritakan petualangan seorang pebisnis yang terjebak di sebuah dunia underground, yang diselimuti konspirasi. Kedua game ini bisa diunduh di AppStore untuk pengguna iPhone, iPad,dan iPod, juga di BlackBerry World untuk penguna BlackBerry. Dalam waktu dekat, game itu bisa dinikmati pengguna Android dan MacApp Store. Game itu dijual seharga US$ 3, dengan pembagian keuntungan 70% untuk pengembang. “Ya, boleh dibilang, penjualannya belum memuaskan. Selain banyak pesaing, kami ini pengembang indie, tidak pakai publisher,” ungkap Yusdi, sambil menyebutkan saat ini game kedua mereka sudah mencatat 2 ribu download.

Keduanya menargetkan, tahun depan Kidalang bisa membuat game RPG baru. Diakui Yusdi dan Yohan, untuk mengembangkan game berbasis RPG, apalagi yang fokus dengan cerita, tidaklah mudah. Selain gamer-nya masih relatif sedikit, pengembangannya juga butuh usaha dan sumber daya yang relatif lebih besar. Yusdi mencontohkan, untuk mengembangkan Sage Fusion 2, mereka membuat sekitar 120 background, plus sejumlah animasi kecil.

Yohan mengaku optimistis dengan pengembangan bisnis game-nya, meskipun fokus pada pengembangan produk, bukan berdasarkan pesanan. “Sepengetahuan saya, belum ada yang bisa berdiri murni dengan produk. Biasanya dari pesanan. Tetapi kami ingin berbasis produk,” kata Yohan. “Dengan memenangi Tizen Apps kemarin, ada dorongan bahwa kami bisa membuat game yang berkualitas,” ucap pria kelahiran Bandung 5 Juni 1982 ini.

Untuk jangka panjang, sebenarnya kami tidak cuma ingin di bisnis game, tapi juga ke graphic story. Intinya kami mau bermain di bisnis media interaktif digital, bisa game, novel visual, digital story book, dan sebagainya,” Yusdi mengimbuhi.

A. Mohammad B.S. & Rif’atul Mahmudah

Riset: Rizki Faisal

The post Yusdi & Yohan, Duet Pemenang Kompetisi Game Tingkat Dunia appeared first on Majalah SWA Online.

Duet Dua Dara Menggeluti Bisnis EO Tematis

$
0
0

Pada 4-6 April lalu ada yang berbeda di Exhibition Hall lantai 5, Mal Grand Indonesia, Jakarta. Di tempat ini ada bazar ciamik yang mencuri perhatian. Arena bazar disulap layaknya Kota Hollywood di tahun 1920-an. Di dalamnya tersedia ragam kebutuhan fashion dan makanan yang mendorong pengunjung memasuki arena bazar yang mengusung konsep Retro City.

Namira Syarfuan dan Sara S. Tirtohadiguno

Namira Syarfuan dan Sara S. Tirtohadiguno

Adalah Market & Museum (MM), event organizer (EO) pencetus sekaligus pembuat bazar tematis istimewa ini. Diikuti 100 tenant, bazar MM selalu menyedot pengunjung. Seperti bazar yang berlangsung tiga hari ini, dikatakan berhasil dikunjungi hingga lebih dari 50 ribu tamu.

Kesuksesan MM dalam menggelar acara tak lepas dari duet dara berusia muda, Namira Syarfuan dan Sara S. Tirtohadiguno. Kedua sohib yang sama-sama lahir tahun 1988 ini adalah pendiri MM. Namira dan Sara merupakan teman semasa SMA. Setelah lulus dari bangku kuliah dan sempat bekerja kantoran, mereka berdua memutuskan berhenti bekerja. Desember 2012 menjadi tonggak penting bagi keduanya karena saat itulah MM resmi berdiri. Hingga saat ini, sedikitnya MM sudah membuat delapan kali bazar dengan tema berbeda-beda, seperti In-Flight, Circus dan terakhir Retro City, dengan tempat kegiatan yang berbeda-beda pula.

Ide mendirikan MM muncul karena keduanya memiliki passion yang sama dalam bisnis. Namira yang lulusan Jurusan Komunikasi Pemasaran Universitas Pelita Harapan memiliki bisnis pakaian. Adapun Sara yang lulusan Nanyang Academy of Fine Arts Singapore, Diploma of Jewellery Design dan Bachelor of Graphic Communication, mempunyai bisnis home décor. “Waktu kami punya brand masing-masing, sempat mengikuti bazar juga, tetapi merasa nggak sreg dengan bazarnya sendiri. Entah dari segi dekornya yang kurang, publikasi yang kurang bersifat promosi, dan mungkin bazarnya juga terlalu bergengsi sehingga kami juga ngerasa tak ada kesempatan untuk ikut,” ujar Namira panjang lebar. Nah, dari situlah MM didirikan dengan maksud ingin memberi kesempatan bagi anak-anak muda Indonesia yang mempunyai merek lokal serta ingin benar-benar terjun dalam dunia bisnis untuk mempromosikan produknya dan sukses.

Namira Syarfuan dan Sara S. Tirtohadiguno2

~~

Yang membedakan MM dengan EO lainnya, selain dari konsepnya yang selalu mengusung tema menarik, juga dari segi promo dan cara memperlakukan pengunjung yang berbeda. Dari segi promo, MM melakukannya melalui media sosial, iklan, media partner, dan word of mouth dari pengalaman pengunjung yang pernah datang ke bazar MM. “Kami adalah EO yang ingin me-maintain long relationship dengan tenant-tenant kami. Karena, selepas acara berlangsung, kami itu sudah seperti komunitas atau keluarga,” ujar Sara.

Jerih payah kedua dara ini mulai membuahkan hasil. Kini, MM sudah makin dikenal sehingga lebih gampang menggaet tenant saat MM membuat bazar. Harga sewa bagi tenant pun berbeda-beda, tergantung pada ukuran dan ketegorinya. Rata-rata biaya sewanya Rp 2,5-7 juta untuk tiga hari. Omset yang dikantongi MM pun lumayan besar, berkisar ratusan juta rupiah hingga Rp 1 miliar.

Ke depan, kedua dara akan terus menggali kreativitas dan tak ingin hanya membuat bazar. Rencananya pada Agustus dan Desember tahun ini akan membuat kegiatan lagi. “Targetnya akhir tahun depan akan membawa brand lokal ke luar negeri, sejenis culture exchange. Maunya bukan hanya di negara sendiri, tetapi juga ke luar negeri. Ini adalah cita-cita kami dari awal,” ungkap Namira. Obsesi lainnya, melakukan roadshow ke berbagai daerah, selain Jakata dan Bali karena di Pulau Dewata MM pernah membuat kegiatan serupa.

Para tenant MM merasa puas dengan bazar yang telah mereka ikuti. “Responsnya baik karena ramai, banyak yang datang. Mereka kan bikin acaranya bagus, temanya juga jarang, jadi beda dan unik. Pelayanan yang mereka kasih juga bagus dan harga yang ditawarkan juga affordable. Feedback kliennya juga ramai, jadi income kami juga bagus,” kata Lifa, pemilik Lovely Jars. Tenant MM lainnya, Fany Aprillia, pemilik Jade Bag yang ikut bazar MM sejak 2013, mengaku tak ada keluhan selama mengikuti bazar yang dibuat MM. “Kalau kritik, tak ada. Kalau saran, ya cari tempat yang lain, jangan itu-itu aja,” ucapnya.

Dede Suryadi dan Destiwati Sitanggang
Riset: Rizki Faisal

 

The post Duet Dua Dara Menggeluti Bisnis EO Tematis appeared first on Majalah SWA Online.

Lucky Dana Aria, Orbitkan Jam Tangan Bermaterial Kayu

$
0
0
Lucky Dana Aria

~~

Kala masih sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, Dino Patti Djalal pernah menantang para pengusaha Indonesia untuk bisa membuat jam tangan bermaterial kayu. “Ketika itu, lewat Twitter, Pak Dino memperlihatkan jam tangan kayu yang dipakainya, dan menantang, ‘Ayo, siapa pengusaha Indonesia yang bisa bikin jam tangan kayu?’,” ujar Lucky Dana Aria, menirukan.

Anak muda kreatif asal Bandung ini mengaku merasa tertantang. Setelah melalui pelbagai usaha kerasnya, ia pun berhasil mengubah potongan kayu sonokeling dan mapel menjadi jam tangan berbahan kayu. “Setahun kemudian saya hubungi lagi Pak Dino,” kata Lucky dengan nada bangga.

 

Lucky menuturkan, pada awal 2012 ia memulai upaya tersebut, dengan melakukan riset pembuatan jam tangan berbahan kayu ini. Lalu, ia mencari tukang yang bisa membuat jam tangan kayu ini sebagai mitranya. Ia juga mencari mesin yang cocok untuk jam tangannya, dan dipilihlah mesin Minolta dari Jepang. Setelah menjalani proses trial and error, eco watch ini pun berhasil dibuat. Lucky memilik merek Matoa. “Filosofinya, Matoa itu pohon asli dari Papua, yaitu pohon yang besar dan tinggi. Inginnya sih bisnis kami bisa seperti itu,” ucap pria kelahiran Bandung 23 Maret 1986 ini penuh harap.

 

Lucky mengaku, modal awal yang dibenamkannya Rp 30 juta. Dana itu terutama digunakan untuk riset dan membeli mesin. Untuk kebutuhan mesin sekitar 30%. Adapun kayu yang digunakan berasal dari limbah industri furnitur dan kayu baru. Maunya sih semua bahan bakunya dari limbah, sehingga biayanya akan lebih murah. Tetapi, ternyata ada beberapa bagian yang tidak bisa memakai limbah, makanya dicampur,” Lucky menjelaskan.

 

Diakuinya, proses pembuatan jam tangan kayu ini melalui serangkaian langkah yang cukup panjang. Mulai dari pemilihan bahan baku kayu yang rumit: jika memakai limbah, harus tahu limbah apa, sudah berapa lama disimpannya, dan bagaimana karakter kayunya. Setelah itu, baru melewati prosesnya : pembubutan, perakitan (mesin, kaca, komponen, dsb.). Dilanjutkan dengan proses finishing, kontrol kualitas, hingga pengemasan.

 

Jam tangan Matoa mulai dipasarkan pada Februari 2013, dengan tiga tipe yang hanya berbentuk kotak, yaitu Rote, Flores dan Sumba. Kini, Matoa terdiri dari lima tipe, yaitu Rote, Flores, Sumba, Moyo dan Gili, yang berbentuk kotak dan bulat.

 

Yang berbentuk kotak harga jualnya Rp 890 ribu per buah, dan yang berbentuk bulat Rp 980 ribu per buah. “Ketika pertama kali berjualan Matoa di Jakarta, dalam waktu empat hari saja sudah terjual 100 unit. Melihat respons ini, saya semakin yakin bahwa ternyata pasarnya memang ada,” kata mantan profesional di sebuah perusahaan kue kering di Bandung ini.

 

Diklaim Lucky, yang menjadikan Matoa diterima pasar dengan baik adalah keunikan bahan bakunya. Di sisi lain, targetting konsumennya cukup pas. Matoa sejak awal dibuat memang untuk menyasar segmen anak muda usia 20-35 tahun dengan kelas sosial A, B, B+. Karena itu, model pemasarannya pun banyak mengandalkan sistem online (Internet), yakni hampir 85% melalui situs Web, Twitter dan Instagram; sisanya 15% melalui aktivitas offline, seperti pameran, titip jual, dan promosi word of mouth. “Matoa membidik kaum muda, yang biasanya selalu haus akan sesuatu yang baru. Karena itu, kampanye yang saya lakukan memakai media yang banyak digunakan anak muda,” ucap Lucky. Ada lagi satu keistimewaan bisnis Lucky. “Dalam campaign kami disebutkan, setiap terjual 500 unit jam tangan, saya akan menanam lagi 500 bibit pohon baru,” katanya.

 

Saat ini, dibantu 11 karyawan, bisnis jam tangan kayu yang dikembangkan Lucky bersama dua rekannya ini — Joel Jonathan dan Ilham Pinastiko — mampu memproduksi 300 unit jam per bulan. Sekitar 80% produknya dijual ke pasar lokal. Adapun sisanya (20%) dipasarkan ke mancanegara, seperti Jepang, Singapura dan Malaysia. “Bahkan dengan kapasitas 300 unit per bulan, demand masih selalu ada. Sekarang saya hampir tidak punya stok. Jika orang ingin memesan sekarang, barangnya tidak bisa langsung dibawa. Jadi ada antrean, dengan sistem pre-order,” kata Lucky.

 

Pihaknya memang tidak menggenjot jumlah produksi sebanyak-banyaknya karena ingin fokus pada kualitas. Ia pun memberi jaminan satu tahun, jika ada kerusakan mesin, akan diganti dengan produk baru. “Penjualan per bulan kami Rp 200-250 juta,” ungkapnya.

 

Ke depan, saya ingin bikin model baru yang ada penanggalannya, lalu ingin bikin jenis digital, bahkan mimpinya sih bikin smart watch dari kayu,” kata Lucky bersemangat. Yang pasti, ia berencana meningkatkan penjualan ekspornya. “Dalam waktu dekat akan ekspor ke Jerman.”

Kejelian Lucky mengembangkan jam tangan berbahan kayu mendapat acungan jempol dari

konsultan dan pengamat bisnis dari Direxion, Jahja B. Soenarjo. “Anak muda ini patut diacungi jempol. Namanya melejit karena ide kreatifnya untuk produk jam tangan ramah lingkungan,” ucap Jahja.

Kendati begitu, Jahja melihat Lucky akan menghadapi tantangan pada tahap market-entry yang membutuhkan edukasi pasar secara berkelanjutan dan lebih dari sekadar membangun brand awareness, melainkan juga mendapatkan trust masyarakat terhadap produk lokal ini. Pasalnya, menurut Jahja, keunikannya relatif mudah ditiru, sehingga Lucky harus segera mematenkan produk dan mereknya, serta bergerak cepat membangun pasar, yang dapat dimulai dari komunitas.

Jahja menyarankan pula agar Lucky memanfatkan dengan baik isu perhatian terhadap lingkungan. Yakni, dengan tetap konsisten membangun pasar dan merek secara sinkron, melalui komunitas pencinta lingkungan, pemanfaatan media sosial secara aktif, pelibatan tokoh dan artis yang pencinta lingkungan, serta keikutsertaan dalam pameran- pameran yang bertemakan ramah lingkungan. “Ia juga harus melakukan inovasi desain secara berkelanjutan,” kata Jahja lagi. (*)

A. Mohammad B.S. & Ferdi Julias Chandra/Riset: Armiadi

The post Lucky Dana Aria, Orbitkan Jam Tangan Bermaterial Kayu appeared first on Majalah SWA Online.

Arie Setya Yudha, Sigap Membidik Seragam Militer

$
0
0
Arie Setya Yudha

~~

Jika kebanyakan pemain game hanya bisa menghambur-hamburkan uang demi menikmati hobinya, Arie Setya Yudha justru menuai untung. Pasalnya, berkat kegemarannya bermain game tempur, dia sukses menembak peluang bisnis seragam militer untuk para pehobi game seperti dirinya, dan bahkan prajurit sungguhan.

Di bawah bendera PT Molay Satrya Indonesia, pria yang masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini menyediakan berbagai kebutuhan “kombatan” mulai dari topi, baju, celana, tas hingga sepatu. Kecuali sepatu dan tas yang masih diimpor, Arie yang memakai merek Molay Military Uniform Division, memproduksi sendiri semua produk tersebut.

Ide bisnis Arie berawal dari kesukaannya bermain game tempur seperti Counter Strike dan Point Blank. Dari sinilah, pria yang kerap menggunakan nama Molay sebagai identitasnya kala bertempur di dunia maya ini, mendapatkan gagasan untuk membuat seragam militer, baik untuk militer sungguhan maupun orang sipil yang gemar memainkan game perang.

Jangan disangka dirinya mengucurkan modal jutaan rupiah untuk memulai operasinya. Ia hanya menggelontorkan tabungan Rp 280 ribu untuk membeli 4 meter kain. Ia lalu membuat desain dan polanya, sementara proses penjahitan diserahkan ke penjahit yang ada di Pasar Terban, Yogya.

Pada 2009, sampel seragam tersebut kemudian difoto dan diunggah ke forum maya Kaskus. Ternyata ada yang merespons. Seorang kolektor tertarik memesan seragam serupa. Dari sinilah pesanan terus mengalir. Hingga akhirnya dari setiap desain yang dibuat, Arie membanderol Rp 560 ribu hingga di atas Rp 2 juta. “Saya memang membanderol harga yang tinggi karena bahannya benar-benar yang dijamin bagus,” ungkap kelahiran Pekanbaru 31 Maret 1990 ini.

Untuk menjaga loyalitas pelanggan, Arie mengaku benar-benar menjaga kualitas. Mulai dari benang, risleting dan kancing baju diperhatikan betul kualitasnya. Bahkan, untuk pembuatan lubang kancing baju dan celana, ia harus membeli mesin khusus yang harga bekasnya saja di atas Rp 30 juta per unit. “Mesin jahit yang kami gunakan semua standar mesin jahit untuk militer,” ujarnya.

Arie tidak mau menggunakan bahan yang ada di pasar dan lebih memilih memesan khusus ke produsennya. Sebagai contoh, kain yang digunakan banyak yang diimpor seperti dari Malaysia. “Kami hanya pesan kainnya di Malaysia, untuk proses jahit tetap kami yang melakukan,” tuturnya.

Seragam militer, menurut Arie, memiliki peran penting untuk melindungi pemakainya saat menjalankan tugas. Karena itu, kesempurnaan menjadi syarat wajib. Tak jarang, ia harus berkorban untuk tidak mengirim produk yang dianggapnya gagal dalam proses produksi.

Uniknya, Arie tidak memiliki latar belakang dunia konveksi. Ia belajar secara otodidak dari dunia maya. Mulai dari pengetahuan soal bahan hingga mencari pemasok, ia dapatkan dari Internet. “Dengan para vendor kami belum pernah tatap muka, semua menggunakan jasa online,” kata bungsu dari empat bersaudara ini.

Dilihat dari tren perkembangan omsetnya, pertumbuhan perusahaan yang dikelolanya memang menggembirakan. Sebagai gambaran, pada masa awal, Molay baru membukukan omset puluhan juta rupiah per tahun, lalu berkembang menjadi ratusan juta. Tahun lalu, ia sukses menembus angka Rp 1,5 miliar per tahun. “Alhamdulillah, perkembangannya sangat positif,” ujarnya.

Selama ini, Arie menjual produknya lewat jalur online baik melalui Facebook maupun Twitter. Menurut Arie, jalur maya masih menjadi pilihan yang menarik untuk memasarkan produknya. Toh, nyaris semua pelanggan yang kini diraihnya juga didapat lewat jalur tersebut. Kalau pun produknya bisa ditemukan di beberapa toko seragam militer, itu dilakukan pihak lain. Memang, sampai kini, ia belum berniat membuka toko fisik.

Produk seragam Arie kini juga sudah digunakan di beberapa institusi militer dan kepolisian di dalam negeri. Misalnya Brimob, Gegana Polri, dan pasukan elite milik TNI AL. Sementara untuk pasar luar negeri masih didominasi pelanggan personal.

Walau sudah ada perusahaan besar, sebut saja Sritex, yang menguasai pasar seragam militer di dunia, Arie mengaku tidak berkecil hati. Ia melihat potensi pasar seragam ini masih terbuka lebar. “Secara manufaktur, Sritex memang unggul, tapi secara desain kami siap diadu,” ucap finalis kontes bisnis Wirausaha Muda Mandiri 2011 dari Yogya itu.

Dengan keberhasilan bisnisnya, Arie kini tidak lagi bergantung pada kiriman dana dari orang tuanya di Pekanbaru, plus tidak pernah telat bayar kos lagi. Bahkan, ia memiliki mobil pribadi dan sebentar lagi ia akan membeli rumah yang kini digunakannya untuk kantor. “Bulan ini kami akan pindah ke kantor yang lebih representatif, bekas kantor ini akan saya beli,” ucapnya.

Gigin W. Utomo dan Eddy Dwinanto Iskandar

Riset: Rizki

The post Arie Setya Yudha, Sigap Membidik Seragam Militer appeared first on Majalah SWA Online.

Willy W. Thomas & Aldwin Wijaya: Bisnis Bunga Online Beromset Miliaran Rupiah

$
0
0

Dua teman semasa kuliah di Australia, Willy W. Thomas dan Aldwin Wijaya, sukses besar membangun toko bunga online. Bernaung di bawah nama Flower Advisor (FA), bisnis mereka kini beromset di atas Rp 10 miliar per tahun, dan mampu mengirim pesanan bunga ke lebih dari 100 negara di seluruh dunia.

Willy W. Thomas  & Aldwin Wijaya

~~

Pendiri awal FA sejatinya seorang warga Singapura yang mengajak Willy turut berbisnis toko bunga pada 2008. Tak sembarang toko bunga, melainkan sudah berbasis teknologi web alias online. Ide dasarnya: orang lintas negara dan benua bisa berkirim bunga ke negara mana pun dengan mudah dan biaya yang sama murahnya dengan tempat asal mereka. “Kami melihat, ini betul-betul bisnis yang sangat dibutuhkan dan diinginkan orang,” tutur Willy yang kini menjabat Direktur FA.

Namun, untuk mewujudkannya memang tak mudah. Kerja keras mereka membangun infrastruktur teknologi dan jaringan dengan ribuan toko bunga terbukti tidak mendatangkan keuntungan secara cepat. Selama beberapa waktu, FA yang bermuara pada situs www.floweradvisor.co.id terus merugi. Kala itu, pendiri awal FA pun memutuskan mundur. Willy, yang sudah kadung jatuh cinta pada “bayinya”, memilih bertahan.

Willy sadar, tak mungkin ia berjuang sendiri. Maka, ia pun mencari pasangan bisnis lagi. Dia ingat, semasa kuliah Administrasi Bisnis di University of Southern Queensland, Australia, ada teman sekelas yang kerap sehati dengannya, yaitu Aldwin Wijaya. Setelah dirayu dengan konsep bisnis FA yang menjanjikan, Aldwin yang kala itu tengah sibuk mengurusi pabrik oli keluarga di Karawang pun luluh dan menerima pinangan bisnis Willy.

Saya join tahun 2011. Saya tertarik karena melihat pasarnya bukan satu kota atau satu negara, tapi global,” ungkap Aldwin, Direktur Pengelola FA, ketika diwawancara SWA bersama mitra bisnisnya di kantor mereka di Kedoya Elok Plaza Blok DD/64, Jl. Panjang, Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Berbekal kemampuan search engine optimization yang bertujuan menempatkan situs mereka dalam peringkat pertama halaman pencari Google di kategori toko bunga, mereka mulai membangun bisnis bersama di bawah PT Aldmic Indonesia.

Sebagai pengusaha pemula, mereka menyadari, laba tidak segera menghampiri. Karena itu, berbagai biaya operasional harus bisa dihemat. Hal itu yang kemudian melatari keputusan mereka untuk memindahkan kantor pusat dari Singapura ke Indonesia.

Di Indonesia, mereka terus berusaha membesarkan FA. Salah satunya dengan melakukan riset ke lingkaran teman-teman mereka mengenai potensi bisnis toko bunga online. Mereka juga mengupayakan kemudahan konsumen dalam berbelanja. Hasilnya terlihat kini. Aldwin mengaku, konsumen rata-rata hanya perlu 10 menit untuk bertransaksi mulai dari membuka situs, memilih bunga, negara tujuan, dan menyelesaikan proses pembayaran. Ini dimungkinkan dengan teknologi dunia maya dan kemudahan proses pembayaran. Tercatat, FA menerima pembayaran dengan berbagai skema seperti transfer bank, kartu kredit, Paypal, T-cash, KasPay, dan pembayaran online dari berbagai bank besar di Indonesia.

Konsumen pun dimanjakan dengan ratusan pilihan jenis ataupun model karangan bunga. Sebagai contoh, di kategori bunga mawar saja, FA menyediakan hingga 9 jenis, mulai dari mawar merah dan putih standar sampai mawar jambon, biru, peach, oranye, dan lainnya. Jenis karangan bunga pun beragam, dari yang untuk ucapan ulang tahun, Valentine, kesembuhan, dukacita, sampai peresmian kantor.

Toko bunga di mancanegara yang telah resmi bekerja sama dengan FA kini mencapai 5 ribu, yang memungkinkan FA mengirim karangan bunga segar dengan harga relatif murah ke lebih dari 100 negara. Adapun harga yang dipatok mulai dari Rp 250 ribu untuk sebuah karangan bunga hingga tak terhingga. “Bisa lebih murah atau lebih tinggi harganya karena kami ada layanan kustomisasi juga,” kata Willy. FA memiliki jadwal pengantaran tetap yakni sebelum jam satu siang, setelah jam satu siang, atau di atas jam 7 malam.

Willy dan Aldwin mengklaim FA sebagai satu-satunya florist online yang mempunyai teknologi Application Protocol Interface. Software ini bertugas membantu para pemilik situs web yang ingin mempunyai usaha online di situs web mereka tanpa biaya. “Ini merupakan salah satu daya tarik FA,” ujar Willy.

Kerja keras mereka kini membuahkan hasil. FA mampu membukukan omset di atas Rp 10 miliar per tahun. Adapun pasar terbesarnya adalah Singapura. Itu sebabnya mereka mempertahankan kantor perwakilan mereka di Negeri Singa itu. “Tapi pasar Indonesia sebentar lagi akan mengalahkan Singapura. Pertumbuhanpasar Indonesia setiap bulan dua digit,” kata Willy.

Meski bunga adalah bisnis terbesar mereka, situs FA juga melayani pembelian parsel makanan, buah-buahan dan keperluan bayi. Sejauh ini, omset terbesar FA diraih di 6 “musim”: Tahun Baru Tionghoa, Valentine, Lebaran, Natal, Tahun Baru dan Hari Ibu.

Ketika SWA menyambangi situs FA, ada salah seorang pelanggan bernama Debbie Widjaja yang menyampaikan rasa puasnya. “Saya pesan H-1 dan minta diantar sebelum jam 12, ternyata bisa dipenuhi,” katanya. Namun, Debbie juga memberikan saran konstruktif. “Mungkin bisa ditambahkan servisnya dengan mengabari ketika bunga sudah sampai, jadi yang mengirim tidak bertanya-tanya. Bisa juga dibuat sistem database sehingga pelanggan diingatkan lagi untuk mengirim bunga ke orang yang sama tahun depan,” saran Debbie yang menutup testimoninya dengan janji akan memesan kembali dari FA.

Gustyanita Pratiwi dan Eddy Dwinanto Iskandar
Riset: Dian Solihati

The post Willy W. Thomas & Aldwin Wijaya: Bisnis Bunga Online Beromset Miliaran Rupiah appeared first on Majalah SWA Online.

Cokelat nDalem Besutan Diajeng Jogja

$
0
0

Bisnis cokelat sudah menjamur di mana-mana, mulai dari yang skala rumahan sampai korporasi besar. Maklum, Indonesia produsen kakao terbesar ketiga di dunia. Selain itu, penikmat cokelat di negeri ini sangatlah banyak, dari anak-anak sampai orang dewasa. Itu sebabnya, pemain cokelat kini bejibun.

Meika Hazim dan Wednes Aria Yudha

Meika Hazim dan Wednes Aria Yudha

Salah satunya adalah pasangan suami-istri Meika Hazim dan Wednes Aria Yudha. Pada 1 Maret 2013 mereka membesut bisnis cokelat dengan mengusung merek Cokelat nDalem.

Seperti yang lain, sejak awal Coklat nDalem memang diposisikan sebagai oleh-oleh khas dari Kota Yogyakarta. Dibandingkan dengan produk cokelat yang ada di pasaran, Cokelat nDalem memiliki keunikan. Bukan hanya dari segi rasa, tetapi setiap kemasannya pun didesain secara apik serta memiliki cerita tentang budaya yang tumbuh dan berkembang di Yogya, Jawa dan Indonesia.

Menurut Meika, cokelat tak sekadar bisnis. Namun, ada idealisme yang tertaman di dalamnya. Lewat cokelat, ia ingin mewujudkan kecintaannya pada negeri Indonesia. Ia berusaha mempersembahkan cokelat yang mengangkat keunikan citarasa Indonesia yang tidak dimiliki negara lain. Keindonesiaan Cokelat nDalem ia wujudkan pada rasa cokelat yang sengaja dipilih yang mempunyai benang merah dengan budaya Indonesia, dengan kemasan yang didekorasi dengan cerita khas Indonesia.

Untuk melengkapi ilustrasi cerita tentang Indonesia, pada bagian belakang kemasan cokelatnya selalu dijelaskan tentang arti setiap ilustrasi yang ditulis ke dalam dua bahasa: Indonesia dan Inggris. “Kami berharap agar cerita tentang budaya Indonesia ini makin banyak yang bisa menerimanya,” ujar Meika.

Nilai pembeda inilah yang menarik minat para pelancong yang datang ke Kota Gudeg untuk mencicipi lezatnya Cokelat nDalem. Gerai Cokelat nDalem di Yogya saat ini sudah ada di jalan Kauman, Seturan, dan juga bisa didapatkan di belasan toko cenderamata di kota ini. Di luar Yogya, ada di KemChick’s Pasific Place, Jakarta.

Sekarang Cokelat nDalem mempunyai 18 rasa yang dibagi dalam lima lini rasa. Setiap lini rasa minimal memiliki tiga varian rasa. Kelima lini rasa tersebut: (1) Klasik (Dark, Extra Dark, Less Sugar Dark Chocolate) yang menggunakan kemasan motif batik pernikahan ala Yogya; (2) Pedas (Cabai, Jahe dan Mint) dengan kemasan dekorasi wayang kartun Bima, Wisanggeni dan Gathotkaca yang punya kesamaan karakter “pedas” di telinga jika berbicara.; (3) Rempahnesia (Cengkeh, Sereh dan Kayumanis) dengan dekorasi kemasan bergambar Bregada (prajurit) Keraton Yogyakarta; (4) Wedangan (Wedang Ronde, Wedang Uwuh dan Wedang Bajigur) yang berdekorasi landmark terkenal di Yogya di mana wedang-wedang tersebut bisa diperoleh. antara lain Alun-alun Utara, Alun-alun Selatan dan Imogiri; (5) Kopinesia, yaitu perpaduan cokelat dengan isian biji kopi Arabica yang diambil dari berbagai daerah penghasil kopi di Indonesia seperti Gayo Aceh, Merapi Jogja, Kintamani Bali, Bajawa Flores, Kalosi Toraja dan Wamena Papua. Lini rasa Kopinesia didekorasi dengan ilustrasi tarian daerah dari mana kopi tersebut berasal.

Melihat penampilannya, Cokelat nDalem memang dikonsep secara matang. Kedua penciptanya memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang cukup kaya di dunia pariwisata. Meika adalah MBA alumni Universitas Gadjah Mada, sedangkan sang suami, Wednes, sarjana teknologi pengolahan pangan dari universitas yang sama.

Meika mengatakan, Cokelat nDalem merupakan bagian dari ekpresi kecintaannya kepada Indonesia. Ia mendapat ide pembuatan cokelat tersebut karena sering jalan-jalan ke luar negeri setelah dinobatkan sebagai Diajeng Jogja tahun 2005. Selama berkunjung ke beberapa negara tersebut, ia mendapatkan pengalaman yang menarik: di sana pariwisata sudah dikemas sedemikian bagusnya. Cerita tentang destinasi wisata juga menjadi produk aneka cenderamata, baik kerajinan maupun makanan khas. Dari sinilah, ia mulai mencari ide bagaimana memunculkan produk oleh-oleh khas Yogyakarta dengan konsep seperti yang pernah dilihatnya di luar negeri.

Pada awal 2013 Meika pun resmi mengundurkan dari perusahaan tempatnya bekerja. Ia sudah mantap ingin pindah kuadran dengan menjadi entrepreneur. Sang suami yang selama ini bergerak dalam bisnis jasa agen perjalanan wisata menyambut gembira. Mereka membuat konsep bersama dan mendirikan CV nDalem Mulyo Mandiri untuk menjalankan bisnis cokelatnya.

Bagi Meika, bagaimana memasarkan produknya bukan masalah. Selain pendidikan yang memadai, ia pun berpengalaman menangani pemasaran di beberapa perusahaan, salah satunya kaus Dagadu Djogja. “Saya pernah kerja di garda depan Dagagu Djogja,” katanya.

Dengan modal tabungan sebanyak Rp 40 juta, mulailah keduanya menjalankan bisnis cokelat. Cokelat menjadi pilihan karena dari berbagai literatur yang dibaca Meika, Indonesia merupakan produsen cokelat terbesar ketiga di dunia. “Namun kenyataannya, kita belum banyak memiliki industri pengolahan cokelat,” ungkap kelahiran 18 Mei 1982 ini.

Agar mudah dikenal, Cokelat nDalem dipromosikan melalui media online (media sosial dan website) ataupun offline dengan mengikuti berbagai pameran di dalam Kota Yogya, luar kota, bahkan luar negeri. “Tahun 2013, kami berkesempatan mengikuti pameran di Hong Kong dan Malaysia. Maret tahun ini, kami telah mengikuti pameran di Jepang,” ujarnya bangga.

Meika memiliki impian mengembangkan cerita cokelat Indonesia ini dalam bentuk museum kecil. Di situ setiap pengunjung akan mendapatkan informasi tentang sejarah cokelat Indonesia dan perkembangannya sampai sekarang. Pengunjung bisa pula mempelajari proses pembuatan cokelat ala Cokelat nDalem.”Kami masih menabung untuk membangun museum tersebut,” ungkap Meika optimistis.

Dalam pandangan pengamat bisnis dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Nur Feriyanto, bisnis oleh-oleh memiliki prospek yang cerah di Yogyakarta. Itu sebabnya, ia melihat Cokelat nDalem punya potensi berkembang. Pengajar MM UII ini melihat ceruk pasar cokelat untuk oleh-oleh di kota ini masih cukup besar. Kini memang sudah ada beberapa pemain yang masuk, tetapi pasar produk ini masih terbilang blue ocean. Hanya saja, untuk bisa diterima pasar harus memiliki keunggulan, bukan hanya dari sisi rasa tetapi juga kemasan.“Saya melihat owner Cokelat nDalem sudah memahami marketing,” kata Nur menilai.(*)

Gigin W. Utomo dan Dede Suryadi

Riset: Rizki Faizal

The post Cokelat nDalem Besutan Diajeng Jogja appeared first on Majalah SWA Online.


Ronald Prasanto, Sukses dengan Molecular Gastronomy

$
0
0
Ronald Prasanto

~~

Di lantai 5 West Mall Grand Indonesia, Jakarta, Ron’s Laboratory membetot perhatian banyak pengunjung. Magnetnya adalah kepulan asap dan orang-orang berjas putih dengan berbagai peralatan, seperti tabung liquid nitrogen yang tersambung dengan pipa, coffee grinder dan gelas ukur. Terpampang juga aneka rasa gelato di dinding tersebut: Red Velvet, Avocado with Espresso, Base with Caramel Swirl, Dark Chocolate dan Tape Ketan, serta Lemongrass Sorbet.

Tiga anak muda terlihat sedang menikmati es krimnya. Mereka — Viola, Karen dan Ryoko — berpendapat, es krim di Ron’s Laboratory bukan sekadar es krim. “Yang menarik, rasanya. Aku suka karena unik,” Ryoko berpendapat. Ya, mereka tertarik datang karena nitrogennya juga.

 

Ron’s Laboratory memang bukan laboratorium kimia. Ini adalah gerai gelato yang menggunakan teknik molecular gastronomy dalam pembuatannya, yakni penggabungan teknik memasak dengan ilmu kimia-fisika. “Basic saya memang molecular gastronomy. Molecular itu menggabungkan teknik memasak dengan science, yang di antaranya menggunakan nitrogen. Saya sudah demo keliling dunia memperkenalkan teknik ini,” ungkap Ronald Prasanto, pemilik Ron’s Laboratory.

 

Molecular gastronomy, menurut Ronald, bertujuan melakukan revolusi dalam dunia memasak dengan menggunakan teknik yang tidak biasa dan menghasilkan sense of art dari tampilan menu yang disajikan. Misalnya, bentuk emulsi, gel dan busa. Di Indonesia, molecular gastronomy mulai dikenal pada 1992 dan hanya segelintir orang, termasuk Ronald, yang mengantongi keahlian meracik menu makanan dan minuman dengan teknik ini.

 

Saya belajar berdasarkan eksperimen dan penelitian sendiri. Ada beberapa chef mentor luar negeri dari sebuah restoran di Spanyol,” ungkapRonald. Dia belajar pada Ferran Adria, maestro molecular gastronomy asal Spanyol. Kreasi pertama Ronald, Espresso Ravioli, diminati masyarakat dan menjadi trademark Ronald. Bahkan, Ferran Adria tertarik pada menu tersebut dan meminta izin untuk menyajikannya di Restoran El Bulli, Spanyol.

 

Ketertarikan pada dunia kulinerlah yang mengantarkan kelahiran 25 Januari 1981 ini membesut Ron’s Laboratory. “Dari dulu saya suka dunia kuliner,” tutur Ronald yang mengaku memiliki bakat mengolah makanan karena memiliki passion dan belajar secara otodidak, juga menimba ilmu kepada saudaranya, seorang chef di hotel berbintang. “Saudara saya justru menyuruh saya mencuci piring di dapur. Sepulang kerja, saya pun mencuci piring,” papar sarjana hukum lulusan Universitas Trisakti yang saat itu tengah bekerja sebagai staf legal di perusahaan minyak.

 

Dari aktivitas tersebut, Ronald justru menemukan insight tersendiri. Kegiatan cuci piring yang menurutnya hanya butuh refleks itu merupakan inti manajemen dapur. Karena, apa yang kurang dari dapur dapat dirasakan. Dari sini, ia mulai menekuni passion-nya. Adapun perkenalannya dengan food chemical dan molecular gastronomy berawal ketika ia bekerja di salah satu pabrik saus.

 

Bersama tiga temannya, pada Oktober 2013 ia melakukan debutnya. “Mereka hanya invest, tidak ikut manajerial,” ujar Ronald menjelaskan peran teman-temannya. Dengan modal di bawah Rp 3 miliar, ia lantas mengibarkan Ron’s Laboratory dengan fokus pada gelato. “Menurut saya, es krim adalah bisnis yang long lasting. Es krim, kopi, Indonesian food, adalah bisnis yang long lasting,” ujarnya. Terlebih, pelakunya terbilang sedikit. Menyebut merek, pasar premium diisi Hagen Daz dan Baskin. Di bawahnya ada Campina, Walls dan lainnya. Segmen pasar yang dibidik A dan A+ dengan umur belasan sampai 20-an tahun. “Kalau weekend, sudah campur, karena kami tidak ada pewarna, pengawet dan bahan artifisial, jadi mereka berani buat bayi. Basically ini susu dan krim. Untuk yang alergi susu biasanya kami sarankan sorbet karena kalau sorbet tidak pakai susu atau krim, hanya jus,” tutur Ronald yang memayungi 38 karyawan.

 

Menurut dia, meracik gelato dengan sensasi rasa yang unik, plus kejutan berupa asap dingin yang terbawa di mulut, tidaklah sulit. “Menelitinya itu yang panjang,” ujar Ronald yang juga menjadi konsultan beberapa restoran dan kafe. Untuk menghasilkan tekstur yang baik, yang bisa langsung melt ketika ditelan, perlu penelitian panjang. Harus diukur PH susu, juga lemaknya. Masalahnya, pabrik susu di Indonesia hanya mencantumkan rata-rata saja. “Begitu tiap susu literan diukur, PH-nya berbeda. Jadi campur dulu, baru diukur,” ungkap suami Melissa Latief ini.

 

Selain cara meracik, Ronald juga melakukan kreativitas pada keunikan rasa. Setiap bulan selalu dihadirkan rasa baru. Pada Agustus mendatang, misalnya, ia akan mengeluarkan rasa jamu, kunyit asam, kencur. “Saat Lebaran nanti isinya kurma, cendol, kami buat jadi es,” imbuhnya. Diakuinya, ide bisa datang dari teman-teman diasosiasi chef atau asosiasi kopi. “Tetapi pengerjaannya, saya dan asisten saya. Prosesnya cari resep, untuk dapat tekstur paling bagus kurang lebih satu bulan,” katanya. Dalam satu bulan, menurutnya, ia bisa menjual 3.500-4.000 cup dengan harga di kisaran Rp 45-60 ribu per cup.

 

Kini, Ronald tengah ancang-ancang mengepakkan sayapnya dengan membuka cabang di tempat lain. Juli depan, dijadwalkan buka di Mal Pondok Indah dan Pantai Indah Kapuk. Berikutnya, di Surabaya, Mal Galaxy dan Mal Ciputra. Rencananya, ia juga akan merambah Thailand dan Singapura pada akhir tahun ini. “Kadang memang kami harus berani ambil risiko. Karena kalau weekend, di sini (Ron’s Laboratory Grand Indonesia), sudah padat sekali. Sudah tidak memungkinkan orang untuk duduk, sehingga mau tidak mau market-nya mesti dibagi,” ujarnya.

 

Diakuinya, tantangan terbesar adalah saat membangun sistem waralaba. “Karena, awalnya kami menyiapkan franchise untuk nasional. Ternyata, peminatnya datang dari luar negeri juga,” ungkapnya. Karena itu, imbuh dia, sistem audit dan kontrol harus lebih baik. Ia menambahkan, selama ini ia juga sangat mengedepankan keramahan dan cara berkomunikasi yang baik dengan pengunjung, sementara promosinya dilakukan lewat media sosial. “Saya juga melakukan promosi sembari demo. Ketika demo, beri orang kesempatan untuk coba,” tuturnya. Untuk memperluas pasar, selain membuka gerai baru, ia juga memiliki divisi katering.(*)

Henni T. Soelaeman dan Rif’atul Mahmudah

The post Ronald Prasanto, Sukses dengan Molecular Gastronomy appeared first on Majalah SWA Online.

Islamia Aprilia Waskito, Si Belia Pembesut Aprilia Collections

$
0
0
Islamia Aprilia Waskito

~~

Di usianya yang baru 21 tahun, lulusan Royal Melbourne Institute of Technology, Australia ini sudah memayungi 100-an karyawan. Lewat label Aprilia Collections, pemilik nama Islamia Aprilia Waskito ini membukukan omset sekitar Rp 500 juta per bulan. Rancangan Mia – begitu sapaan akrabnya – mulai dari dress, rok hingga blazer yang dibanderol Rp 215 ribu- 3,5 juta, dan Rp 7-25 juta untuk gaun pengantin. Produknya didistribusikan di lebih dari 20 tempat, antara lain di jaringan Metro Department Store dan Moshaict. “Dari sekitar 10 tempat kami bekerja sama, kami dapat Rp 1,3 miliar per 6 bulan. Jadi, bisa dikalikan karena kami ada di 20 tempat,” paparnya.

Sejak dilempar ke pasar pada 2011, rancangan khas lini busana muslim Aprilia Collections yang feminin, kalem, fleksibel, girly, elegan dan tidak mencolok ini mampu memikat kaum Hawa dari beragam kalangan. Bahkan, penyanyi belia Fatin Shidqia kerap membalut penampilannya dengan rancangan Aprilia sejak tampil di panggung X Factor Indonesia dan pada acara lainnya, seperti Indonesian Movie Awards. Sebagai busana muslim, Aprilia memang dikenal dengan gayanya yang girly, romantis dan vintage serta didominasi warna pastel.

Tak heran, beragam produknya, mulai dari dress, blouse, pant, skirt, veil, dan aksesori serta kerudung peafowl – menjadi trademark Aprilia – banyak digandrungi kawula muda, ibu-ibu muda yang ingin tampil modis, bahkan wanita yang sudah lanjut usia. “Ada seorang langganan kami yang sudah berusia 50 tahun tapi selalu update produk terbaru Aprilia Collections,” tutur kelahiran 6 April 1993 ini.

Di ranah industri busana muslim, sosok Mia tercatat sebagai desainer yang diperhitungkan. Menggebrak panggung busana muslim pada 2011, namanya langsung meroket. Beragam penghargaan berhasil disabetnya, antara lain masuk jajaran 15 desainer busana muslim ternama Indonesia dalam ajang Indonesia Islamic Fashion Fair 2013. Tahun sebelumnya, ia diganjar 2nd Best Tenant periode Januari-Juni 2012 di Moshaict, dan 2nd Best Tenant periode Juli-Desember 2012 di Moshaict.

Sejak kecil, Mia sudah menggandrungi dunia fashion. Anak ketiga dari 9 bersaudara ini terjun di kancah bisnis busana muslim karena mengikuti jejak sang ibu yang sudah berkiprah di dunia fashion sejak 20 tahun lalu dengan merek Lilicollections. Produk kaftan rancangan ibunya ini banyak digandrungi para ibu pejabat. “Awalnya, cita-cita saya ingin menggeluti dunia kuliner dengan membuka rumah makan,” tutur Mia yang mengambil jurusan Tata Boga di SMK.

Ketertarikannya pada bisnis fashion muncul saat ia membantu ibunya menjual produk Lilicollections secara online selulus SMK. “Awalnya iseng-iseng bantu jualan online produk Mama, malah jadi tertarik untuk menggeluti dunia bisnis. Padahal cita-cita awal ingin buka resto karena background saya tata boga,” ungkapnya. Keinginan untuk merambah bisnis fashion tersebut langsung disambut sang mama dengan mendukung modal awal termasuk tempat usaha. “Tahap awal terbantu oleh Mama dan masih gabung dengan butik Mama di Kebon Jeruk. Modal awal sekitar Rp 200 juta,” katanya.

Mia mengaku tak ada kendala berarti dalam menapaki bisnis fashion. “Dari kecil saya sudah dikenalkan oleh Mama dengan dunia fashion, mulai dari hal kecil seperti kancing, bahan, dan lainnya,” katanya. Saat memutuskan membesut merek sendiri memang agak mengalami kesulitan karena selama ini ia banyak membantu ibunya menjual produk yang menyasar pasar kaum ibu. “Kemudian berganti pasar anak muda dengan merek sendiri,” imbuhnya. Ia mengaku, untuk proses merancang desain ia kerap berkonsultasi dengan sang mama.

Untuk pemasaran, Aprilia memilih lewat online dan kerja sama dengan beberapa tenant serta ikut beberapa acara fashion. Diakuinya, strategi pemasaran dengan mengikuti event besar seperti Indonesia Fashion Week dan Indonesia Islamic Fashion Fair sangat membantunya dalam melakukan branding Aprilia. Sementara untuk memasarkan, selain menyasar pasar dalam negeri, ia juga merambah pasar mancanegara, antara lain Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia. Dalam waktu dekat, ia juga akan masuk ke pasar Australia. “Ada rencana tapi masih riset dulu,” imbuh Mia yang akan menetap di Australia usai dipinang oleh Dio Abdurrahman.

Selain memperluas pasar, ia juga tengah ancang-ancang untuk memperluas kategori merek Aprilia dengan Aprilia Bridal (busana pengantin), Aprilia Casual-ready to wear (busana sehari-hari), Aprilia Kidz dan Aprilia Men. Untuk quality control semua produknya, Mia menggunakan standar Singapura. Aprilia Collections, menurutnya, mengutamakan kualitas, cutting dan detail yang berkelas. “Karena sudah teruji. Kalau ada produk yang kurang sempurna bisa langsung di-reject,” ucapnya. Sementara untuk bahan baku, ia mengombinasikan bahan lokal dengan bahan dari Korea, Singapura dan Malaysia. Saya hobi jalan-jalan. Jadi, kalau ada yang cocok, bisa sekalian beli,” ujar Mia yang merilis buku Moslema Style.

Bagaimana menghadapi persaingan? “Tidakmerasa ada persaingan, justru kami saling support. Dengan ada model terbaru yang dikeluarkan oleh teman-teman, malah jadi terpacu untuk terus berinovasi,” ungkap Mia.

Henni T. Soelaeman dan Indah Pertiwi

The post Islamia Aprilia Waskito, Si Belia Pembesut Aprilia Collections appeared first on Majalah SWA Online.

Toples Cantik Kreasi Aliifah Mahdy

$
0
0

Toples, yang biasanya hanya dipakai untuk menyimpan kue, di tangan Aliifah Mahdy telah bermetamorfosis menjadi aneka karya nan indah. Dengan bendera Lovely Jars, dara yang biasa disapa Al ini mampu menjual ribuan toples cantik setiap bulann.

Aliifah Mahdy

~~

Al mengawali bisnisnya pada 2011, dua tahun setelah menamatkan kuliahnya di Jurusan Desain Grafis dan Periklanan, Limkokwing University, Malaysia. “Setelah pulang ke Indonesia, saya sempat bekerja membantu orang tua dulu selama sekitar dua tahun,” tuturnya ketika diwawancara SWA di kantornya, Jl. Jeruk Manis 4/10, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Namun, Al ternyata tidak betah bekerja di kantor ayahnya yang produsen Pil Binari itu. Dia pun mencari lahan yang pas untuk berbisnis sekaligus menuangkan gairahnya di bidang desain grafis. Saat itulah anak keempat dari lima bersaudara kelahiran 1986 itu teringat hobi lamanya, mempercantik toples biasa.

Memang, sejak di bangku sekolah, Al yang memiliki jiwa seni yang kuat kerap menghias toples biasa di rumahnya dengan berbagai aksesori. Hasilnya, toples tersebut cocok menjadi tempat aksesori sekaligus penghias rumah. Al ingat, sejak dulu pun ia sudah melayani pesanan pembuatan toples cantik dari temannya yang terpincut melihat karyanya itu. Berangkat dari sana, pada 28 September 2012 ia memantapkan diri berbisnis toples cantik. Meski ayahnya pengusaha, Al merogoh koceknya sendiri Rp 2,5 juta untuk memodali bisnis perdananya itu.

Dana itu dihabiskannya untuk membeli setengah lusin toples dan berbagai pernak-pernik penghiasnya. Untuk promosi, ia cukup mengandalkan akun Facebooknya yang berisi sekitar 2 ribu teman. Usahanya tak sia-sia, banyak yang tertarik membeli buah karyanya. Bahkan, 12 toples pertamanya, yang bermodel shio kelahiran orang, ludes seketika diborong seorang pembelinya. Padahal, harga yang dipasangnya tak murah, puluhan ribu rupiah per buah. Peristiwa itu pula yang membuatnya kian yakin atas pilihan bisnisnya.

Selain shio, Al juga membuat aneka model lain seperti hewan, bunga dan objek terkenal seperti Menara Eiffel dan jam Big Ben, serta aneka karakter animasi. Ia pun membuat model berdasarkan hari-hari besar seperti Lebaran, Natal, Hari Ibu dan Halloween. “Nanti juga mau mengeluarkan yang bling-bling seperti Syahrini gitu, hehehe….” kata Al seraya tertawa kecil.

Untuk membuat produknya, ia terlebih dulu membuat desainnya di komputer, lalu mencetaknya menggunakan 3D printing. “Kami lihat dulu bentuknya apa, baru diputuskan mau pakai bahan apa. Bahannya sendiri dari kayu, resin, tanah liat, dan macam-macam,” ujar Al. Untuk bahan toples, ia memesan dari produsen dalam negeri hingga mengimpor dari Italia dan Amerika Serikat untuk menyediakan bahan toples yang lebih berkualitas.

Seiring waktu, Al tak hanya berpromosi lewat media sosial, tetapi juga melalui pameran di Grand Indonesia dan tempat lainnya. Perusahaan-perusahaan besar kerap mengontaknya setelah karyawan mereka melihat produknya di berbagai pameran itu. Sekali pesan, klien korporatnya seperti Conoco Phillps dan Nutrifood bisa mengorder hingga 4 ribu unit toples.

Beruntung, sang ayah, Syarief Mahdy – yang dipanggilnya Abah – tekun membimbingnya. Ayahnya mengulas laporan penjualan Al dua minggu sekali. Ayahnya juga yang mengingatkan Al untuk memilih nama yang tepat untuk bisnisnya. Bahkan, saat akhirnya Al memilih merek Lovely Jars, ayahnya mengingatkan untuk segera mematenkan nama tersebut.

Ayahnya kembali mengingatkan putrinya ketika cara kerja Al mulai tidak bisa mengimbangi jumlah pesanan yang masuk. Wajar saja, karena selama tiga bulan pertama menjalani bisnisnya, Al sendiri yang membuat, memasarkan, bahkan terkadang ikut mengantarkan produk jadi ke rumah kliennya. Karena itu, ayahnya menyarankan untuk menambah pegawai. Ketika bisnisnya kian membesar, Al pun akhirnya memilih hijrah dari rumahnya ke kantornya yang sekarang. Di kantornya sekarang ada sembilan karyawan yang membantunya mengerjakan pesanan ribuan toples per bulan.

Meski kini produknya kian dicari orang, Al enggan menjadikan karyanya sebagai produk massal. Ia khawatir citra produknya akan terpuruk. Itu sebabnya, Al hanya memasarkan di tempat yang dipandangnya sesuai dengan kelas produknya seperti di Dia-Lo-Gue Art Space Kemang dan butik Ria Miranda, juga di Kemang. “Saya pilih Kemang dua-duanya, tetapi pasarnya berbeda. Ria Miranda menyasar hijabers (pemakai jilbab) yang kemungkinan besar tidak main ke Dia-Lo-Gue, dan sebaliknya,” tutur Al yang juga memasarkannya di galeri seni Lawang Wangi di Bandung dan di toko online Bobobobo.com.

Al mematok harga Lovely Jars Rp 69-259 ribu per toples. Bagi yang ingin memesan dengan model khusus, ada tarif tambahan Rp 35 ribu per buah. Meski harganya cukup premium untuk sebuah toples berukuran reguler, Al mengaku tak pernah sepi pembeli. Permintaan dari luar negeri via Internet pun mengalir, seperti dari Spanyol, Qatar dan Bahrain. “Kebanyakan pesanan dari luar negeri itu dari Timur Tengah. Mereka itu kan jorjoran kalau untuk uang, dan di sana juga jarang ada produk seperti ini,” ujarnya.

Bahkan, pemesan dari Bahrain meminta menjadi agenpenjual resmi Lovely Jars di negerinya. “Dia mau bikin Lovely Jars Bahrain atau bagaimana, gitu. Makanya, kami sedang memikirkan bagaimana prosesnya,” kata Al yang masih memikirkan masak-masak permintaan konsumennya dari Jazirah Arab itu.

Ke depan, Al ingin memiliki pabrik toples sendiri. Selama ini, dia hanya membuat desain tutup toples, sedangkan bagian bawahnya dipesan dari pihak lain. Selain itu, ia juga ingin membuat ekshibisi khusus toples. “Dalam ekshibisi itu mungkin bisa bekerja sama dengan produsen emas, kristal Swarovski, atau mutiara. Dengan begini, toples saya bisa jadi sebuah karya seni,” Al memaparkan impian terpendamnya dengan mata berbinar-binar.

Novistiar Rustandi, pengamat bisnis start-up, menyarankan agar Lovely Jars yang menyasar segmen menengah-atas mengimbangi kualitas produknya dengan servis yang baik. “Dengan kualitas produk yang bagus, mereka juga harus mempertimbangkan servisnya seperti apa. Misalnya, barangnya rusak, pecah atau apa, harus ada garansi yang bisa diberikan kepada pelanggan,” kata Novistiar yang juga Direktur Jakarta Founder Institute.

Novistiar menyarankan agar Al berhati-hati dengan prinsip eksklusivitas yang diusungnya. “Walaupun berusaha eksklusif, saya rasa tidak perlu sampai susah didapatkan di tempat lain. Eksklusivitas mungkin saja bisa didapatkan dari harganya yang mahal, sehingga meskipun banyak dijual di online tetapi tidak semua orang bisa beli, kan? Karena, kalau kita mau berjualan, pada intinya adalah bagaimana barang kita mudah ditemukan oleh si calon konsumen,” kata Novistiar.(*)

Ria Efriani Pratiwi dan Eddy Dwinanto Iskandar

Riset: Aini Zahra

The post Toples Cantik Kreasi Aliifah Mahdy appeared first on Majalah SWA Online.

Gibran Chuzaefah Amsi, Kreator Alat Pakan Ikan Otomatis

$
0
0

Memberikan makan ikan melalui SMS? Terdengar aneh, memang. Toh, bukan sulap bukan sihir, dengan perangkat berbasis software bernama e-Fishery yang dikembangkan Gibran Chuzaefah Amsi El Farizy, pemberian pakan untuk ikan dan udang dapat dikontrol via ponsel. Menurut Gibran, pengelola tambak ikan atau udang dapat memantau jumlah dan waktu pemberian pakan dari mana saja. Bahkan, pria kelahiran Jakarta 31 Desember 1989 ini mengklaim, dengan menggunakan e-Fishery, mereka dapat lebih efisien 20% dalam pemberian pakan.

Gibran Chuzaefah Amsi

Gibran Chuzaefah Amsi, Kreator Alat Pakan Ikan Otomatis

Gibran menceritakan, awal mula ia menciptakan aplikasi e-Fishery ketika mengobrol dengan petani ikan. Ternyata, masalah utama dalam budidaya ikan dan udang adalah feeding cost (biaya pakan)yang bersarnya mencapai 70% dari biaya total. “Tidak semua orang bisa memberikan pakan (ikan) sesuai prosedur. Apalagi bila mereka memiliki kolam banyak. Ini jadi masalah besar,” ungkapnya.

Dari sisi aspek makro, pada 2012, rata-rata kenaikan rate of investment di sektor perikanan nasional hanya 5%. Padahal, peningkatan konsumsinya sebesar 30%. Bila disparitas antara konsumsi dan produksi tidak terpenuhi, Indonesia akan impor terus. Terbukti, pada 2013, Indonesia impor ikan lele dari Malaysia. Salah satu penyebab rendahnya kenaikan investasi ini karena bidang ini dinilai tidak bisa dikontrol. “Teknologi yang sudah ada di (industri) perikanan sangat rendah. Tidak ada teknologi baru yang membuat perikanan semakin akuntabel,prediktabel dan convenience. Itulah alasan saya mengembangkan e-Fishery,” kata Gibran, yang mengembangkan aplikasi e-Fishery dengan mendirikan PT Multidaya Teknologi Nusantara.

Teknologi yang digunakan Gibran adalah Network Operation Centre yang dihubungkan dengan Supervisory Control and Data Acquisition– sistem kontrol yang biasa digunakan di industri besar. Komponen tersebut terhubung dengan kontainer food yang telah dilengkapi dengan perangkat mekanik untuk pengeluaran pakan secara otomatis dan sensor kuantitas pakan.

Melalui perangkat e-Fishery, proses kontrol otomatis dapat dilakukan mulai dari penjadwalan pemberian pakan, pengaturan kuantitas pakan yang diberikan, hingga sistem keamanannya. Untuk yang terakhir disebut, tindak pencurian dapat terdeteksi dari jarak jauh dan aplikasi ini dapat langsung berhubungan dengan nomor telepon kantor kepolisian setempat.

Selain itu, produktivitas dari budidaya ikan pun akan lebih terdata dengan baik, sehingga produktivitas usaha ini untuk masa mendatang dapat diproyeksikan. “Jadi, investor bisa yakin dengan prospek budidaya ikan ini,” ujar alumni Jurusan Biologi ITB ini.

Singkatnya, lanjut Gibran, dengan e-Fishery ada tiga manfaat yang diperoleh pengelola tambak ikan dan udang. Pertama, efisiensi pemberian pakan, karena bisa menurunkan feeding cost sebesar 20%. Kedua, kualitas air akan lebih terjaga karena tidak terjadi kelebihan pakan. Ketiga, survival rate ikan dan udang pun lebih tinggi.

Menurut Gibran, alat kontrol pakan ikan yang dijual seharga Rp 7-9 juta ini bisa digunakan untuk satu kolam berukuran sekitar 500 m2. Produk e-Fishery ini disasarkan ke kalangan perusahaan besar, perusahaan menengah dan perorangan yang memiliki banyak kolam.

Untuk perusahaan besar, perangkat dijual putus, tetapi Gibran masih dapat mengutip pendapatan tambahan dari dashboard. Alat ini memang bisa dihubungkan dengan aplikasidata log untuk laporan pemberian pakan ikan. Dari data log, Gibran mendapat fee setiap bulan. “Saat ini, sudah terjual 142 unit pada tiga perusahaan,” kata Gibran mengklaim.

Adapun untuk perusahaan menengah dan perorangan, Gibran menggunakan cara sewa (rental), dengan perantara distributor. “Kami melakukan kontrol, maintenance, dan data log diberikan ke mereka. Jadi, lebih ke jasa otomasi pakan dengan berbagai macam garansi dan gimmick,” ujarnya.

Gibran mengklaim, sejauh ini respons pasar cukup bagus. Maka, penggemar plesiran dan nonton film ini optimistis produk ciptaannya bakal diterima pasar. Apalagi potensi pasarnya cukup mendukung. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, bisnis akuakulturdi Indonesia mencapai lebih dari 1 juta petani ikan dan udang. Jika satu petani rata-rata punya 100 kolam/tambak misalnya, berarti potensi pasar bagi perangkat e-Fishery mencapai 100 juta kolam. Artinya, potensi market size-nya bisa mencapai triliunan rupiah. Salah satu pemain besar di Indonesia punya 10 ribu tambak udang, plus sejumlah kolam ikan. “Di Indonesia belum ada yang membuat produk seperti ini. Yang ada di pasar adalah produk dari Taiwan dan Thailand, yang interface untuk setting alatnya susah karena memakai bahasa mereka. Sedangkan kami memakai bahasa Indonesia dan user-friendly.”

Ke depan, Gibran mengaku masih akan tetap fokus pada pemasaran dan penyempurnaan perangkat pakan ikan ini. Ia pun berencana menambah fitur sebelum memenetrasi pasar secara intensif. Juga, ia berencana mengembangkan sejumlah perangkat lain berbasis software untuk sektor pertanian, seperti alat hitung benih dan alat hitung hasil panen.

A.Mohammad B.S.

dan Rifatul Mahmudah/Rizki Faisal

The post Gibran Chuzaefah Amsi, Kreator Alat Pakan Ikan Otomatis appeared first on Majalah SWA Online.

Suitmedia, Konsultan dan Lab Digital yang Siap Mendunia

$
0
0
Muhamad Fajrin Rasyid

Muhamad Fajrin Rasyid

Mereka yang hobi belanja online ada kemungkinan sudah cukup familier dengan situs Bukalapak (www.bukalapak.com) dan HijUp (www.hijup.com). Yang mungkin belum banyak orang yang tahu, kedua situs e-commerce itu dikembangkan di sebuah labolatorium digital yang sama: Suitmedia (www.suitmedia.com).

Ternyata di luar itu, Suitmedia juga mengembangkan beberapa situs lainnya, seperti situs e-commerce Scallope (www.scallope.com) dan situs pendidikan MasukNegeri (www.masuknegeri.com). Selain mengembangkan situs sendiri, puluhan perusahaan, baik dari dalam maupun luar negeri, telah memercayakan urusan solusi digitalnya kepada Suitmedia. Sesuai dengan slogan positioning yang diusungnya, Creative Digital Lab, Suitmedia memang menawarkan layanan untuk beragam solusi digital. Mulai dari desain dan pengembangan situs Web, strategi digital, mobile platform, hingga pengembangan software.

Suitmedia didirikan oleh Muhamad Fajrin Rasyid dan kedua temannya semasa kuliah di Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung, Zaki dan Nugroho. Bagaimana anak-anak muda ini menginisiasi lahirnya jasa pengembangan Web dan konsultan digital hingga dipercaya sejumlah perusahaan di luar negeri?

“Awalnya sih kami membuat produk e-commerce Bukalapak.com pada 2009. Kemudian, ada tawaran membuat website,” ungkap Fajrin. “Kami melihat ada peluang bisnis selain membuat produk e-commerce, yaitu jasa teknologi dan konsultan media sosial,” ujar lelaki yang pernah bekerja sebagai tenaga konsultan di Boston Consulting Group ini.

Dari pemikiran tersebut, setelah digodok oleh mereka bertiga, setahun kemudian dibentuklah Suitmedia sebagai induk perusahaan, sekaligus lab digital yang akan melahirkan beragam solusi digital. Mengapa mereka memakai istilah labuntuk Suitmedia? “Kalau di lab itu kan kita lihat isinya orang-orang kreatif yang suka bereksperimen, hanya saja kami di bidang digital,” kata Fajrin, yang pernah sebagai CEO Suitmedia dan kini didapuk sebagai penasehat.

Menurut pria kelahiran Jakarta 11 September 1986 ini, sebagai konsultan digital, Suitmedia menyasar perusahaan kelas menengah dan besar. Alasannya, sejauh ini kelas perusahaan itu yang memiliki anggaran dan kepentingan untuk eksis di dunia digital. “Tahun ini kami akan coba garap pasar instansi pemerintahan,” ujar pehobi nonton dan membaca ini.

Diklaim Fajrin, saat ini dengan didukung 50 orang di tim kreatif, yang berbasis di Jakarta dan Bandung, Suitmedia mampu mengerjakan sekitar 20 proyek aplikasi mobile dan website setiap tahun. Selama sekitar empat tahun berkiprah, Suitmedia telah memiliki lebih dari 50 klien, termasuk sejumlah perusahaan beken seperti Unilever, Bank Mandiri, Samsung Mobile, Toyota, BRI, Air Asia Go, BlackBerry, Citilink, Trimegah Securities, Procter & Gamble, Johnson & Johnson, serta Izzi Pizza. Selain itu, mereka juga mengklaim punya belasan perusahaan klien dari luar negeri, seperti dari Singapura, Hong Kong, negara Timur Tengah, dan Amerika Serikat.

Mengenai pola bisnisnya, menurut Fajrin, untuk pembuatan website dan aplikasi mobile memakai pola jual-beli putus. “Kecuali kalau ada permintaan maintenance dan penambahan,” ujarnya. Adapun untuk proyek pengembangan media sosial menggunakan kontrak 6-12 bulan. “Tarifnya? Tergantung tingkat kerumitan proyeknya. Range-nya Rp 50-200 juta,” ungkap penggemar olah raga voli ini.

Menurut Fajrin, Suitmedia mendapat respons bagus dari pasar karena memiliki kekuatan di sisi kreatif dan teknologinya. “Boleh jadi, perusahaan lain baik di aspek kreatifnya, tetapi kurang di teknologinya. Kami memiliki kekuatan di sisi kreatif dan teknologi. Sebab, beberapa tim teknologinya adalah teman-teman ITB, dan tim kreatifnya punya pengalaman.”

Yang jelas, berbagai langkah promosi pun mereka lakukan. Terutama, melalui media online dan media sosial. Cara lainnya, bekerja sama dengan perusahaan lain, melalui konsep cooperation. Misalnya, dengan perusahaan periklanan besar. “Jadi, kami tidak memandang perusahaan lain sebagai musuh, tetapi sebagai teman. Di satu sisi kami berkompetisi, di sisi lain kami bekerja sama,” ujar Fajrin.

Ke depan, Fajrin berharap Suitmedia bisa menjadi perusahaan digital kreatif terdepan di Indonesia. “Kami punya kemampuan dan kami tidak kalah dibandingkan perusahaan luar sekalipun,” katanya percaya diri.

Mengomentari kiprah Suitmedia, pengamat industri kreatif Yoris Sebastian menyarankan agar Suitmedia mulai berpikir strategis. Misalnya, untuk menggarap pasar luar, dengan mulai membuka kantor di Singapura. Sebab, saat ini Singapura mulai menjadi sentra koneksi orang-orang berjualan. Kenyataannya, sudah banyak yang membuka kantor regional di Singapura. ”Tidak perlu besar-besar (kantornya). Karyawannya pun cukup dua orang saja, berasal dari sana atau orang yang sudah lama di Singapura, sehingga paham kondisinya,” kata Yoris.

Selain itu, saran Yoris lagi, pihak Suitmedia harus tahu siapa saja pemain besar di bidang yang mereka geluti. Dengan begitu, mereka bisa belajar dari para pemain besar itu. ”Mereka tidak akan jadi leader kalau mereka tidak tahu siapa dan bagaimana pemain besarnya (bekerja),” ucap Yoris. Ia pun menyarankan mereka menjaga rekam jejak dan harus berani bilang “tidak” ketika ada tawaran ekspansi tetapi mereka belum siap. “Jadi, tetap hati-hati dan enjoy the process,” kata konsultan industri kreatif itu. (*)

A.Mohammad B.S. & Rifatul Mahmudah/Riset: Armiadi

The post Suitmedia, Konsultan dan Lab Digital yang Siap Mendunia appeared first on Majalah SWA Online.

Resto Fusion Padang-Jepang Reza Pradikta

$
0
0

Untuk sukses di bisnis kuliner tampaknya memang perlu sesuatu yang berbeda sebagai nilai pembeda sehingga dapat menarik minat pelanggan. Hal ini yang disadari Reza Pradikta ketika ingin mengadu peruntungan dengan mendirikan sebuah resto di Ibu Kota. “Persaingan yang terjadi gila-gilaan, dari merek internasional sampai lokal. Kami harus punya satu konsep yang kuat dan punya daya tarik bagi calon pelanggan, minimal untuk mencoba makan di restoran kami,” kata Reza bersemangat.

Reza Pradikta

Reza Pradikta

Pilihan Reza jatuh pada konsep resto yang menggabungkan (fusion) makanan Padang dengan Jepang. Alasannya, kedua jenis makanan tersebut saat ini tengah digandrungi. Dengan penggabungan itu, Reza ingin menaikkan level masakan Indonesia ke level yang lebih tinggi. “Saya bisa bilang bahwa ada makanan seperti ini (fusion antara makanan Padang dan Jepang) yang pertama kalinya di dunia,” ujarnya dengan harapan pelanggan senang dengan suguhannya.

Reza menyematkan nama Suntiang untuk resto yang baru dibesutnya itu. Suntiang adalah nama mahkota yang dipakai oleh orang Padang ketika menikah. “Konsep kami kan ‘menyunting’ makanan Jepang. Jadi kenapa memakai nama itu dan nama itu hanya digunakan ketika orang menikah, maka kami juga ingin menunjukkan bahwa restoran ini premium,” ujar kelahiran 31 Oktober 1986 ini. Gerai Suntiang pertama dibuka pada November 2013 di Pondok Indah Mall (PIM) 2 Jakarta, karena mal papan atas ini cocok untuk resto keluarga. Harga sewanya memang tidak murah, tetapi trafik pengunjung mal tersebut tergolong ramai dan sesuai dengan target Suntiang yang membidik kelas premium.

Sekarang,Suntiang telah memiliki menu 60 jenis makanan. Yang menjadi ciri khasnya adalah bumbu masakan Padang yang masih otentik karena resep dari keluarga sendiri. “Kami mungkin juga adalah restoran Padang pertama yang ada conveyor belt-nya seperti restoran sushi, tapi di sana tidak akan ditemukan sashimi dan sebagainya. Yang ada masakan campuran Jepang dan Padang,” ujarnya berpromosi.

Gerai Restoran Suntiang

Gerai Restoran Suntiang

Adapun menu favoritnya, salah satunya Dendeng Roll, yakni dendeng yang dijadikan roll (seperti sushi) lalu dilumuri saus favorit ala Suntiang. Ada juga Gulai Ramen yang cukup laku. Ini merupakan ramen ala Jepang yang disajikan dengan kuah gulai. Untuk makanan pembukanya (appetizer) ada Gyoza, tetapi isinya bukan seperti yang standar resto Jepang lainnya, melainkan rendang, ayam balado, dan lain-lain yang disajikan dengan saus mayo balado atau gulai.

Harganya pun bervariasi di kisaran Rp 19-93 ribu. Dan yang termahal itu pun adalah menu sharing, misalnya Iga Bakar Cabe Hijau. “Restoran kami sesuai dengan sistem restoran Jepang. Jadi pelanggan mengambil piring makanan yang dia mau di conveyor belt. Harganya itu berbeda-beda, tergantung dari warna piring yang dia ambil,” papar alumni Jurusan Psikologi University of Queensland, Australia ini.

Setelah di PIM 2, Suntiang sudah membuka gerai barunya di Grand Indonesia (GI) Jakarta sejak Juni lalu. “Kami memutuskan membuka lagi di GI, karena respons pasar yang positif, dan kami juga ingin membuka pada segmen pasar yang berbeda.Kan di PIM itu benar-benar family mall, sedangkan GI itu di tengah kota dan banyak perkantoran,” katanya. Sekarang, tingkat kunjungan pelanggan ke restonya rata-rata 200 orang per hari dan kalau weekend bisa sampai 500 orang.

Agar restonya makin diminati pelanggan, Reza rajin berpromosi. Misalnya pada hari Senin ada promo All You Can Eat, yakni mau makan berapa piring pun, cukup hanya bayar Rp 100 ribu saja. Promo dengan kartu kredit pun dilakukannya dengan menggandeng Bank CIMB Niaga dan Danamon. “Kami punya akun Instagram dan Twitter untuk promosi. Kami juga ikut bazar, seperti Jakarta Culinary Fest dan Market & Museum di Grand Indonesia,” kata Reza yang menargetkan membuka dua gerai dalam setahun, dan bahkan membuka peluang menggandeng mitra untuk berekspansi membuat gerai baru.

Tonie Kadi, pengamat bisnis resto, sepakat konsep fusion antaramakanan Padang dan Jepang seperti yang diusung resto Suntiang merupakan hal baru. Cuma, menurutnya, pasti satu jenis makanan yang lebih menonjol dari jenis yang satunya lagi. Di Suntiang, Tonie menduga jenis makanan Padangnya lebih kuat dari jenis masakan Jepangnya.

Yang menarik dari Suntiang adalah penggabungan dua selera pasar yang berbeda. Peminat makanan Jepang biasanya dari kalangan menengah-atas, sementara penggemar makanan Padang umumnya dari kalangan menengah-bawah. “Hal ini menjadi tantangan tersendiri buat resto Suntiang,” ujar Tonie. Ia menyarankan, kalau memang yang disasar pasar menengah-atas, kualitas makanannya harus benar-benar diperhatikan, khususnya makanan Padang. Apalagi resto Padang ataupun resto Jepang dengan harga murah sudah banyak menjamur di berbagai tempat. “Jika ingin terus berkembang, resto Suntiang harus bisa mengimbangi kualitas makanan, rasa, dan harga dengan resto lain di sekitarnya,” lanjut Tonie menutup wawancara.

Dede Suryadi dan Ria Efriani Pratiwi

The post Resto Fusion Padang-Jepang Reza Pradikta appeared first on Majalah SWA Online.

Kelly Oktavian, Jembatani Merek dengan Komunitas melalui WeYAP

$
0
0

Nama Kelly Oktavian mungkin tidak sekondang food blogger seperti  Budi Sutomo, Aline Candra, atau bahkan Bondan Winarno. Sepak terjangnya di dunia fashion blogging juga tidak setinggi Diana Rikasari ataupun Dian Pelangi. Namun siapa sangka, pria berusia 36 tahun ini justru mampu menghubungkan para blogger, komunitas kuliner, fashion, gaya hidup, hingga olahraga untuk lebih dekat dengan pemegang merek. Melalui social review platform bernama WeYAP, Kelly mencoba menjembataninya.

Kelly Oktavian, Co-Founder WeYAP

Kelly Oktavian, Co-Founder WeYAP

Karier profesional Kelly dimulai sebagai penyiar radio HardRock di Bali. Dari sanalah, ketertarikannya terhadap dunia pemasaran muncul. Tahun 2013, pria yang sempat bekerja sebagai pelayanan ini melabuhkan diri ke iPaymu.com, sebagai Head of Merchant Acquisition.

Setelah itu, ia hijrah ke perusahaan e-commerce, Bhinneka.com, dengan jabatan sebagai senior marketing manager. Tugas terberatnya saat itu adalah mempertahankan posisi perusahaan sebagai pemimpin pasar dibisnis e-commerce gadget dan elektronik. “Cita-cita saya adalah menjadi direktur saat berusia 40 tahun,” ujar pria berpenampilan kasual ini.

Tak dinyana, takdir berbicara lain. Empat bulan lalu, Kelly bertemu dengan Teresa Lin yang kini menjadi mitra bisnisnya. Ambisi Kelly menjadi direktur akhirnya terwujud, bahkan sekarang bukan hanya menjadi direktur, tetapi ber-tittle “Co-Founder” WeYAP, sebuah perusahaan yang menawarkan ruang direktori online. Ia didapuk untuk mengembangkan bisnis, produk serta komunitas, sedangkan Teresa menjalankan fungsi sebagai investor relation. “Galau sudah pasti. Memutuskan untuk membangun bisnis sendiri ketimbang menjadi pegawai adalah perkara yang tidak mudah. Saya sudah tahu segala konsekuensinya,” katanya.

Ia menjelaskan, WeYAP adalah social review platform yang menghubungkan antara pemegang merek seperti food&beverages, fashion, kecantikan, gaya hidup dan olahraga untuk lebih dekat dengan pasar khususnya untuk komunitas. WeYAP menampilkan beberapa  profil para pemegang merek, termasuk ulasan dari para “Yapper”, sebutan bagi anggota WeYAP. Sehingga diharapkan akan menjadi referensi akurat bagi masyarakat untuk mencari tempat yang ingin dituju. “Bisnis ini berangkat dari hobi. Saya suka makan, suka jepret, suka marketing juga. Jadi, passion saya di sini,” kata pria yang hobi makan masakan Indonesia ini.

Laman WeYAP

Laman WeYAP

WeYAP berada di bawah payung Moutain SEA Venture di mana perusahaan tersebut membidani beberapa portopolio seperti Qerja.com, Ngomik.com, dan masih banyak lagi. Sayang, Kelly enggan berkomentar soal investasi yang digelontorkan untuk membangun bisnis barunya tersebut.“”Proses set up bisnis ini tergolong cepat. Untungnya, saya bertemu dengan right partner, right network dan kesamaan visi,” sahutnya.

Meski baru seumur jagung, WeYAP mampu menggaet beberapa nama besar salah satunya Swiss Belhotel. Anggotanya pun semakin bertambah dengan bergabungnya beberapa komunitas, blogger bahkan hingga orang-orang terkenal yang rutin memberikan ulasan. “Beberapa bulan ini kami fokus untuk edukasi pasar dan promosi terlebih dahulu, baik ke pemegang merek ataupun mendekatkan diri ke komunitas,” Kelly menambahkan.

WeYAP membidik segmen anak muda di mana pengunjung atau yang menjadi anggota adalah mereka yang berusia 21 tahun ke atas dengan komposisi 45% perempuan, sisanya pria. Saat ini, aplikasi tersebut hanya bisa dinikmati untuk mereka yang berada di Jabodetabek melalui laman website. Ke depannya, Kelly dan Theresa akan meluncurkan versi mobile. “Setiap semester targetnya harus ada perkembangan,” ujarnya tegas.

Lalu, bagaimana WeYAP mendapatkan pemasukan?. “Saat ini kami menggratiskan space untuk para pemegang merek. Namun ke depannya, jika sudah berjalan dengan stabil kami akan pasang tarif. Dari sanalah kami mendapatkan uang, “tandas Kelly.

Rencananya, duet bisnis anak muda ini akan diperluas ke Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Bali. Ia melihat ada peluang besar di kota-kota tersebut karena banyaknya jumlah pengguna media sosial. “Selain Jakarta,  di sanalah (kota-kota tersebut-red) yang cukup mungkin untuk bisa digarap,” pungkas Kelly. (EVA)

 

 

 

 

 

The post Kelly Oktavian, Jembatani Merek dengan Komunitas melalui WeYAP appeared first on Majalah SWA Online.


Nicholas Kurniawan, Menangguk Ratusan Juta Rupiah dari Ikan Hias

$
0
0
Nicholas Kurniawan

~~

Berdagang sejak kecil dan menjadi pengusaha beromset ratusan juta rupiah per bulan di usia yang masih belia. Itulah kisah hidup Nicholas Kurniawan yang kini meraih sukses berkat bisnis ekspor ikan hias dengan bendera Venus Aquarium. Saban bulan, Niko, sapaan pria berusia 21 tahun itu, bisa menjual seribu ekor ikan hias berbagai jenis ke Singapura, Thailand, Taiwan, Hong Kong, serta beberapa negara Eropa seperti Yunani, Belanda dan Inggris.

Hobi dagang Niko dimulai di usia 7 tahun. Kala itu, ia menjajal berdagang apa saja, mulai dari kue hingga mainan. Barang dagangannya menjadi kian beragam saat remaja hingga mencakup produk sistem pemasaran berjenjang (MLM). Nah, peruntungan besar yang diperoleh Niko saat ini berawal ketika di usia SMA ia dihadiahi ikan gara rufa oleh temannya. Ikan yang biasa dipakai untuk terapi pembersihan kulit itu tak begitu disukainya. Dia pun terpikir untuk menjualnya saja. Ternyata laku. Sejak 2010 itu, kemudian Niko serius berbisnis ikan hias.

 

Pria yang kini tengah kuliah di Jurusan Pemasaran Prasetiya Mulya Business School itu pun memikirkan cara menjual ikannya. Ia lantas membuat situs web di alamat www.tropicalfish-indonesia.com. Alasannya memilih nama tersebut, karena memang agen atau penggemar ikan hias di luar negeri kerap menggunakan kata “ikan tropis” dalam bahasa Inggris kala mencari ikan buruannya di dunia maya.

 

Tak cuma bergerilya di dunia maya, Niko juga mendekati berbagai toko ikan hias satu per satu. Ia mendatangi langsung toko-toko itu untuk memperkenalkan diri, ada pula yang dikiriminya proposal bisnis. “Awalnya mereka tidak begitu gampang percaya. Saya buat proposal, saya kirim ke 100 orang, yang respons hanya 10. Dari 10, yang jadi belum tentu satu,” ungkapnya kala diwawancara SWA di pusat penangkaran ikan hiasnya di kawasan Jakarta Barat.

 

Kepercayaan toko ikan hias mulai diraihnya saat kualitas kiriman produknya mampu memuaskan mereka. Pembayaran yang lancar kepada para pemasok ikan dari sejumlah penangkar di Pulau Jawa, Kalimantan, bahkan sampai Papua, pun turut melambungkan namanya. Berkat pasokan yang besar itulah jumlah kliennya mulai beranak pinak.

 

Di Internet, perjuangannya tak mudah. Niko terus meriset kata kunci yang kerap dipakai para pemburu ikan hias dari dalam dan luar negeri. Hingga akhirnya ia tertumbuk pada kata tropical fish itu. Langsung saja nama tersebut dipakai menjadi nama situs webnya. Untuk memasarkan produknya di Internet, berbagai iklan dipasangnya pula di sejumlah situs.

 

Sejumlah tantangan menghadangnya saat awal berbisnis ikan hias. Ada beberapa klien yang menipu dengan tidak membayar kirimannya. Ada pula ikan yang mati di jalan karena Niko belum terlalu paham cara pengiriman ikan dengan benar. Namun, semua itu tidak mampu menenggelamkan semangatnya. Hingga akhirnya, di kelas tiga SMA, ia mampu mengekspor ikan hias untuk pertama kali. Sejak itulah, bisnisnya bergulir pesat hingga akhirnya sekarang mampu mengirimkan seribu ekor ikan hias ke berbagai negara. Berbagai jenis ikan hias, diakuinya, tersedia di toko online-nya, mulai dari ikan gara rufa, arwana, sampai berbagai jenis ikan hias, serta ikan predator seperti spatula dan aligator.

 

Usahanya yang kini bernaung di bawah CV Venus Aquarium tidak hanya berpusat pada jual beli ikan, tetapi juga merambah dekorasi akuarium hingga perawatan ikan hias.

 

Niko mengungkapkan, orang banyak salah sangka mengenai bisnisnya. Bisnis ini dianggap tidak mampu menghasilkan uang besar. “Orang pikir ini bisnis kecil, tidak keren. Bisnis minyak, batu bara, baru keren. Kalau bisnis ini, tidak keren. Tapi ternyata uangnya besar juga,” ujarnya seraya tersenyum.

 

Namun, ketika ditanya omsetnya, Niko terkesan malu-malu menjawabnya. “Cukup besar, tetapi tidak enak menyebutnya. Sekitar ratusan jutalah,” ujar pemuda yang kini telah menelurkan buku perjalanan usahanya dengan judul Die Hard Antrepreneur itu.

 

Niko nampaknya bukan tipe pemuda yang menepuk dada sendiri atas sukses yang diperolehnya. Dirinya dengan merendah menyebut semua sukses yang diperoleh ini lantaran berkat Tuhan. Pengakuan serupa pun diulangi dalam buku yang ditulisnya itu.

 

Niko sendiri masih banyak rencana untuk membiakkan bisnisnya. Ia mengaku ingin membuat pusat penangkaran yang lebih besar lagi. Tak ketinggalan, ia ingin memperbanyak jumlah produksinya, dan memperluas jaringan penjualannya di luar negeri.

 

Rifatul Mahmudah dan Eddy Dwinanto Iskandar

Riset: Rizki Faisal

The post Nicholas Kurniawan, Menangguk Ratusan Juta Rupiah dari Ikan Hias appeared first on Majalah SWA Online.

Antusiasme dalam Tukangkayu.com

$
0
0
Satrianov

Satrianov

Peluang bisnis dari dunia online memang kian melebar. Tak hanya fashion, media, dan produk-produk teknologi informasi, pertukangan serta desain interior pun bisa dibisniskan dengan mengandalkan penjualan online. Tak percaya? Tanyakan ke Satrianov yang sejak 2012 mengembangkan Tukangkayu.com. Siapa nyana, bisnis online yang dibesut pria 29 tahun itu terus lancar menggelinding.

Semua bermula di tahun 2011. Secara kebetulan dia mampir ke sebuah workshop kayu (furnitur) di Jakarta Barat. Setelah iseng ngobrol ngalor-ngidul dengan pemiliknya, tiba-tiba terlintas dalam benaknya sebuah gagasan: andai bisnis seperti itu dipasarkan online, siapa tahu bisa menghasilkan sesuatu. Tak ingin ide ini lewat begitu saja, dia pun lalu menawarkan diri untuk menjualkan jasa mereka secara online.

Ternyata, pemilik mebel kayu setuju. Dia pun sepakat memberi Satrianov imbalan dari setiap proyek yang terjual. Padalah, Satrianov minim pengalaman. “Saat itu saya benar-benar tidak tahu apa-apa tentang desain interior, furnitur, dan kayu,” dia mengenang. Maka, lahirlah Tukangkayu.blogspot.com. Laman gratisan.

Anak muda ini memang tak punya pengalaman dan pengetahuan yang andal di seputar dunia kayu serta desain interior. Maklum, dia alumni Komunikasi Universitas Padjadjaran. Namun, minatnya pada dunia perkayuan, desain interior dan pemasaran sangatlah besar. “Hanya punya semangat bahwa interior design dan build itu sesuatu yang menarik dan seru bagi saya,” ujarnya.

Berangkat dari iseng, tiada disangka, pasar menyambutnya. Dari blog itulah dia mendapatkan order pertama, membuat sebuah boks kayu. Dan sesuai dengan perjanjian, ada fee yang dikantongi dari order yang terjual.

Uang komisi ini pun segera digunakan untuk membeli domain dan menyewa hosting. Laman gratisan pun bersalin rupa menjadi Tukangkayu.com. “Jadi, modal saya memang nol rupiah,” ungkapnya.

Setelah itu, perlahan-lahan satu-dua klien mulai mengontak. Yang lucu, dia sering tak bisa menjawab pertanyaan calon klien karena saat itu memang masih awam. Otomatis dia harus rajin bolak-balik bertanya ke tukang kayu, baik soal teknis kayu maupun sistem pengerjaannya. Soal desain, dia belajar otodidak dari Internet.

Setelah satu tahun berjalan, jumlah klien mulai datang lebih stabil. Dia pun lalu memutuskan membuat workshop sendiri meski masih ala kadarnya. Kebetulan pula ada satu temannya yang tertarik bekerja sama dan patungan modal. Rp 20 juta dia kumpulkan bersama kawannya, lalu dipakai untuk menyewa tanah, membangun workshop dan membeli mesin basic. “Perlu punya workshop sendiri untuk memudahkan kontrol,” katanya. Sejak itu, dia terus investasi alat dan menambah orang secara bertahap seiring dengan volume proyek yang terus meningkat.

Kini, berangkat dari iseng,Tukangkayu.com terus menggelinding dengan positioning sebagai kontraktor yang membuat atau memproduksi interior, disesuaikan dengan keinginan dan ruang klien. “Pada akhirnya bukan urusan kayu saja yang kami lakukan, namun juga lighting dan sipil. Tetapi, core-nya tetap di urusan kayu,” katanya menjelaskan. Kliennya adalah mereka yang butuh jasa kontraktor dan desain interior. “Sebulan paling tidak ada dua proyek,” ungkap Satrianov seraya menjelaskan, harga jasanya tergantung pada jenis bahan, finishing, dan aksesori yang digunakan.

Kami cukup puas menggunakan jasa Tukangkayu.com. Dari sejumlah penawaran yang masuk, Tukangkayu.com memenuhi spesifikasi kami. Mereka juga kooperatif. Hanya saja, mungkin faktor interaksi langsung perlu diperbanyak dan standar mutu perlu ditingkatkan,” ujar Adelia Risyani, salah satu klien Tukangkayu.com.

Yang membuat Satrianov cukup terkejut, meski tanpa jasa search engine optimization (SEO), website-nya selalu dicari orang dan punya rating tinggi di Google. “Saya dulu memilih nama Tukangkayu.com karena terdengar aneh atau lucu, ternyata kebodohan nama itu justru menarik orang. We might not the greatest carpenter in this country, yet. But for Google, we’re number one,” ujar Satrianov seraya tertawa. Kini ia berbagi pekerjaan dengan mitra bisnisnya. Dirinya menanganiurusan desain serta produksi, sedangkan kawannya lebih fokus ke pemasaran.

Belajar dari Satrianov, keisengan bisa menjadi bisnis bila ditekuni dengan antusiasme disertai keinginan terus belajar. “Website yang paling sering saya kunjungi sampai sekarang www.houzz.com. Itu kitab sucinya desain interior,” ungkap kelahiran Palembang 24 November 1984 ini.(*)

Sudarmadi dan Gustyanita Pratiwi

 

The post Antusiasme dalam Tukangkayu.com appeared first on Majalah SWA Online.

Anggayudha Ananda Rasa, Berbisnis dengan Idealisme Ala Science Factory

$
0
0
Anggayudha Ananda Rasa

~~

Empat anak seumuran 6 tahun asyik memainkan beragam bangun ruang, seperti kubus, balok, segi tiga, tabung, limas, sampai bangun setengah lingkaran. Seperti permainan lego. Hanya saja, pada bangun ruang tersebut tertera angka, terdiri dari -10 sampai +10. Ada pula kartu yang terdiri dari huruf A sampai Z. Juga sebuah dadu. Mereka mengambil kartu yang sudah diacak dan dadu dilempar. Kemudian satu per satu anak menyebutkan nama-nama benda sesuai dengan huruf yang diambil dari kartu dan menjumlahkan angka dadu yang telah dilempar. Nama benda yang dipilih akan menjadi sebuah bangunan dengan menyusunnya dari berbagai balok. Syaratnya, bangunan tersebut harus berjumlah sesuai dengan angka dadu yang dilempar.

Permainannya seru dan tidak merasa sedang belajar,” ungkap Sumardiyono. Praktisi pendidikan ini menilai Math Block dan Math Quest besutan Science Factory tersebut cukup membantu anak-anak sekolah dasar memahami konsep matematika. “Bukan materi pelajarannya ya, karena permainan tersebut tidak bisa menggantikan materi utama. Hanya saja, dengan Math Block ini, belajar matematika jadi lebih menarik,” kata penulis blog rumah inspirasi.com ini. Ia sendiri menerapkan metode permainan itu kepada dua buah hatinya yang berusia 10 tahun dan 6 tahun. “Penambahan dadu membuat permainan lebih bervariasi dan lebih menarik dibanding model yang sudah ada,” katanya.

Ungkapan senada disampaikan Chusnul Chotimah. Wakil Kepala Sekolah SD Cikal ini mengatakan, pihaknya juga memakai alat peraga Math Block sebagai alat bantu para guru dalam mengajar matematika. “Metodenya menarik karena sebagai salah satu alternatif untuk metode pembelajaran. Anak-anak juga tertarik karena seperti bermain,” tuturnya.

Sejak diluncurkan Januari lalu, Math Block (MB) dan Math Quest (MQ) besutan Science Factory ini mendapat respons cukup bagus dari sekolah, praktisi pendidikan dan orang tua. Alat bantu untuk pelajaran matematika di sekolah dasar ini dianggap sebagai terobosan menarik dalam proses belajar mengajar. “Anak saya mulai menyukai pelajaran matematika karena dengan bermain memakai balok, ia merasa tidak sedang belajar,” kata Mita, orang tua Tiara Nabila (9 tahun).

Bagi Anggayudha Ananda Rasa, MB dan MQ adalah sebuah langkah awal mewujudkan impiannya. “Gagasan besarnya ingin membangun sekolah. Kami ingin tidak sekadar ‘mengisi’ kepala anak-anak, tapi anak-anak itu harus bisa menciptakan sesuatu. Harus berkarya,” ungkap CEO Conscience Education itu. Angga, begitu kelahiran Jember 15 Juni 1989 ini akrab disapa, mengaku sudah sejak lama memendam keinginan untuk bisa berkontribusi memajukan dunia pendidikan. Terutama, karena ia melihat pelajaran matematika kerap dianggap sebagai sesuatu yang horor.

Memang, sejak masih menjadi mahasiswa Jurusan Kimia Fakultas MIPA Institut Teknologi Bandung, ia sudah terjun di dunia pendidikan dengan mengajar sebagai guru privat. “Ketika menghadapi pelajaran berbau eksakta, komentar yang kerap dilontarkan anak-anak adalah sulit dan tidak menyenangkan,” ceritanya. Terlebih, dari pengamatannya, para pengajar pun kerap sekadar memberikan rumus tanpa melibatkan kreativitas anak.

Berangkat dari keprihatinan itu, pada 2012 ia tergelitik menciptakan gamifikasi atau media pembelajaran dengan konsep belajar sambil bermain. Permainan menjadi titik tumpunya karena bermain adalah dunia anak-anak. “Anak-anak suka bermain dan senang dengan permainan,” imbuhnya. Mengandeng dua orang temannya dari Jurusan Desain ITB dan Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia, ia pun menciptakan MB dan MQ dengan merek Science Factory.

Butuh waktu dua tahun Angga menciptakan MB dan MQ. Selama 6 bulan lebih, ia dan timnya membedah kurikulum pelajaran matematika tingkat SD. Setelah itu, pembahasan melangkah ke pemilihan materi pelajaran sebagai acuan pembuatan mainan. Selama kurun waktu tersebut, ia harus 6 kali mengubah prototipe bentuk mainan. Pada Januari lalu, MB dan MQ pun diluncurkan. Kalau MB permainan dengan menggunakan balok, kartu dan dadu. MQ juga terdiri dari angka-angka yang dibentuk menjadi persegi berukuran 4 x 4 cm sebanyak 164 keping dan sebuah papan mirip papan scrabble. “Permainannya memang terinspirasi dari scrabble,” imbuh Angga yang belum lama ini dikaruniai seorang putri.

Bagi Angga, MB dan MQ adalah salah satu ide untuk menyalurkan kontribusinya pada dunia pendidikan, sekaligus langkah awalnya untuk meraih mimpi memiliki sekolah sendiri yang ia targetkan pada 2018. “Namun, sebuah ide tanpa dikelola dalam pengelolaan industri tidak akan bertahan lama,” tuturnya. Karena itu, lewat Science Factory, ia ingin produknya bisa dinikmati banyak sekolah di berbagai kota, termasuk sekolah di desa terpencil.

Impian Angga membuat anak-anak menyenangi pelajaran sains tampaknya mulai terwujud. SD Al Azhar 8 Jakarta, Al Azhar 36 Bandung, Guru Cendekia Leadership School, Sekolah Cikal Jakarta, Salman Al Farisi, serta beberapa sekolah lainnya di Bandung dan Jakarta sudah menggunakan MB dan MQ besutan Science Factory. Belum lama ini, ia mengirim lebih dari 100 set MB dan MQ ke Yogyakarta. Produk ini dibanderol Rp 200-300 ribu per set.

Terus terang, kami kewalahan melayani permintaan,” ujarnya sembari tertawa. Diakuinya, keterbatasan modal menjadi salah satu kendalanya. Toh, Angga tak menyerah. Ia sedang menjajaki kerja sama dengan investor. Sayang, ia tidak mau mengungkap jati diri sang investor. Sembari menunggu, Angga dan tim sudah merancang berbagai strategi pemasaran, salah satunya road show ke sekolah di berbagai kota. Juga, pelatihan bagi pengajar dengan meminjamkan MB dan MQ selama dua minggu secara gratis.

Angga juga akan membuat paten dan lisensi MB dan MQ karena produksi hendak dilimpahkan kepada pihak lain. “Distribusinya jadi akan lebih meluas lagi,” katanya. Ia sendiri akan lebih berkonsentrasi menciptakan mainan baru. Saat ini, Angga dan tim sedang merancang alat peraga sains untuk tingkat SMP dan SMA.

Bagi Angga, menggeluti dunia pendidikan adalah panggilan hatinya. Idealisme untuk berkontribusi memajukan pendidikan dimulainya tahun 2007 dengan menjadi tutor di Naila Azhar Tutorial Club (NATC), lembaga konsultan pendidikan di bidang keilmuan sains dasar bagi mahasiswa tingkat pertama ITB. Dalam perjalanannya, kemudian NATC diambil alih olehnya. “Tepatnya sih dikasih oleh si pemilik kepada saya,” ujar Angga yang sebelumnya GM di NATC, selain menjadi tutor.

Di bawah komandonya, NATC semakin berkembang. Sampai saat ini, NATC sudah mendampingi lebih dari 1.000 mahasiswa ITB dalam menyelesaikan masa studinya pada Tahapan Persiapan Bersama. Selain mengembangkan NATC, di bawah bendera Conscience Education, juga hadir Prince (private in sience) yang melayani jasa belajar privat pelajaran eksakta untuk tingkat SMP dan SMA. “Bisnis di dunia pendidikan itu evergreen. Pasarnya terus tumbuh, selalu ada peluang baru. Tidak akan mati bisnisnya,” ucapnya.

Saat ini Conscience Education memayungi lebih dari 45 pengajar dan 14 staf. “Awalnya kami hanya mempunyai dua karyawan,” kata Angga. Kini ia lebih fokus membesarkan Science Factory karena NATC dan Prince dinilainya sudah berjalan baik.

 

Henni T. Soelaeman

The post Anggayudha Ananda Rasa, Berbisnis dengan Idealisme Ala Science Factory appeared first on Majalah SWA Online.

Chocoarts, “Pabrik” Game Besutan Mega Denditya dkk.

$
0
0
Mega Denditya, Sely Haudy, dan Muhammad Husein

Mega Denditya, Sely Haudy, dan Muhammad Husein

Buat Anda para gamer, sudahkah mencoba game Almightree? Game yang baru diluncurkan untuk platform iOS pada 28 Agustus 2014 itu memang sedang ngetop. Selama dua minggu berturut-turut Almightree menempati jajaran kategori Best New Game di toko aplikasi Apple App Store.

Popularitas Almightree diakui di 109 negara, sehingga peringkatnya terus meningkat menembus daftar 100 game berbayar terlaris di Apple App Store. Bahkan, untuk genre puzzle dan adventure, Almightree masuk daftar peringkat 20 besar di toko aplikasi tersebut. Selain pengakuan secara komersial, Almightree juga memperoleh penghargaan pada kategori game di ajang INAICTA 2014.

Hal yang membanggakan, Almightree ini salah satu karya game developer Tanah Air yang tergabung dalam Chocoarts. Studio pengembang game ini sendiri dibentuk pada awal 2012 oleh tiga mahasiswa Jurusan Ilmu Komputer Universitas Indonesia, yaitu Mega Denditya, Sely Haudy, dan Muhammad Husein. “Kami bertiga suka membuat game,” ungkap Mega Denditya. Ia menceritakan, mereka sering bersaing ketika membuat game. Ketika ada lomba pembuatan game antaruniversitas di Surabaya, mereka pun bergabung, tetapi kalah. Dari situ, mereka melakukan introspeksi. “Lalu, kami pun sepakat membentuk perusahaan game Chocoarts. Sekarang, setiap ikut perlombaan game, kami selalu menang,” ungkap Mega dengan bangga.

Disebutkan Mega, mereka beberapa kali memenangi kompetisi pengembangan game, seperti di ajang Nokia Lumia Developer (hadir dengan game Gogoketo!), Nokia Mobile Game Developer War 3 (dengan game Jago Kabo), Nokia Ancol Coding on the Beach (dengan game Dolphin Race), dan kompetisi IGS 2012 (dengan game Flow the Cloud).

Menurut Mega, game pertama yang diciptakan Chocoarts adalah Launch Up. Namun, game ini tidak dirilis. Setelah itu, mereka membuat game Jago Kabo, hasil kerja sama dengan klub sepak bola dari Bogor, Persikabo. Game Jago Kabo ini bisa dimainkan di platform Nokia. Memang, target pasar dari Chocoarts selama ini adalah pengguna platform Nokia (Symbian) dan iOS. “Sejak awal kami sudah bekerja sama dengan Nokia. Sekarang Nokia telah dibeli Microsoft, ya sedih juga. Sebab, selama ini kami hidup dari store Nokia,” ujar Mega. Dengan perubahan lanskap industri konten mobile, sekarang Chocoarts bermigrasi untuk fokus ke platform iOS dan Android. Selain itu, Chocoarts juga akan mengambil spesialisasi di game bergenre adventure. “Supaya bisa lebih cepat pembuatannya,” tambah Mega, yang mengaku selama ini pihaknya butuh waktu 7-12 bulan untuk membuat sebuah game.

Selain itu, menurut Mega, Chocoarts juga akan terus konsisten sebagai pengembang game yang hanya membuat produk game. Maklumlah, umumnya studio game sangat mengandalkan jalur proyek alias menerima pesanan khusus dari klien. “Kami tidak menerima pesanan klien. Kami membuat produk game dengan niat, sehingga kualitasnya boleh diadu dengan game dari luar,” Mega menegaskan.

Keinginan membuat produk game yang berkualitas itulah yang membuat waktu produksi studio game yang diperkuat 14 pengembang ini cenderung butuh waktu relatif lama. Mega berharap, game yang dihasilkan bisa disukai para gamer, sehingga mereka tidak merasa rugi membelinya. “Selain harus berkualitas, kami juga memikirkan supaya game itu bisa seru dan membuat orang rela membayar,” kata Mega sambil tertawa.

Diklaim Mega, dengan kredibilitasnya yang sudah dibangun, kini Chocoarts memiliki mitra salah satu game publisher di Amerika Serikat. Berkat dukungan mitra publisher inilah, Chocoarts bisa bekerja sama dengan Apple. Kini, walaupun game Chocoarts di Apple Store berbayar, dalam rentang waktu yang singkat sudah diunduh sekitar 10 ribu kali.


Tahun pertama kami rugi, tahun kedua untung. Dan, tahun ketiga ini mulai meningkat untungnya,” ujar Mega yang tak mau memerinci besaran pendapatannya. “Ke depan, kami hanya akan bikin freemium game, karena tidak ada barrier-nya untuk pengguna. Jadi potensi downloadernya lebih tinggi,” tambah Mega, yang menargetkan dalam satu tahun bisa memproduksi empat game.

 

A. Mohammad B.S. & Ferdi Julias Chandra

Riset: Dian Solihati

 

The post Chocoarts, “Pabrik” Game Besutan Mega Denditya dkk. appeared first on Majalah SWA Online.

Anak Muda di Balik MAD

$
0
0

Kuliah sambil berbisnis itu banyak manfaatnya. Lihatlah apa yang dilakukan Rano Dwi Pantara yang kini tengah cinta berat membesarkan usaha fashionnya, berlabel MAD. Rano suka berbisnis sejak kuliah bidang komunikasi di Hogeschool Inholland Diemen, Belanda. Dia kuliah sambil menjual label apparel sendiri, diberi nama MAD (Make A Different), sejak 2006. Bersama dua rekannya, Rano coba-coba membuat baju untuk dijual ke kawan-kawannya.

Rano Dwi Pantara

Rano Dwi Pantara

Secara getok tular produknya ternyata laku, sehingga tahun 2007 MAD masuk ke toko baju di Belanda dan Jerman (dua toko di Jerman dan empat toko di Belanda). “Di sana mereka biasa beli putus. Tapi karena masih awal, saya berani untuk konsinyasi. Nyatanya, repeat order,” tutur kelahiran 14 April 1984 ini. Waktu itu Rano bisa menitipkan produk MAD hingga 500 potong.

Bisnis ini kemudian terhenti karena harus pindah kuliah ke Barcelona, Spanyol, tahun 2007. Ia ingin memperdalam ilmu Art Direction di IED Barcelona. Memang sayang, karena waktu itu MAD sudah meluncurkan empat artikel kaus dengan ratusan potong. “Ya sudah. Vakum begitu saja,” katanya.

Begitu selesai kuliah dan balik ke Jakarta, hasrat Rano untuk menggulirkan MAD muncul kembali. “Tapi fokusnya untuk pasar Indonesia saja. Jaringan saya di luar mulai blur,” ujar Rano yang fasih berbahasa Jerman, Inggris dan sedikit bahasa Belanda.

Di Indonesia dia memulai tahun 2008 dengan membuat tas laptop premium dan aksesori lainnya. Untuk membuatnya unik, Rano menggunakan bahan neoprene untuk tas laptop (neoprene biasa dipakai sebagai bahan untuk baju selam/diving).

Tas laptopyang dijual di kisaran harga Rp 549 ribu itu cukup laris. Tak sampai setahun dia sudah menelurkan lima artikel (per artikel 100 potong). “Dari situ merek MAD mulai dikenal. Setahun kemudian saya juga masuk ke produk kaus, baju, jaket atau segmen clothing,” tuturnya.

Ternyata masuk ke clothing bukan hal mudah. Persaingan cukup keras. Maka, Rano pun mencari keunggulan, termasuk dari sisi bahan. Dia keluar masuk Tanah Abang, Cipadu, Jembatan Lima, Mangga Dua untuk cari pemasok.

Awalnya, dia sering menelan pil pahit: dikibuli pemasok bahan. “Saya maunya kan bahan yang khusus buat saya. Mereka kadang bilang habis, ternyata barangnya dijual ke orang lain,” katanya. Tak habis akal, Rano akhirnya memborong semua stok bahan. “Misalnya ada bahan tertentu 200 yard, saya beli semua,” ujarnya. Saat ini dia sudah memiliki pemasok yang bisa dipercaya dan dia rahasiakan namanya. “Produk MAD sangat eksklusif, jadi bahan dan desainnya harus mencerminkan merek premium,” ujar dia.

Untuk jahitan, Rano mengadopsi teknik full chain stich. Bahkan demi kesempurnaan teknik ini, dia membeli mesin khusus merek Brother (Jepang). Harga baru mesin itu di kisaran Rp 30-40 juta. Di workshopnya yang ada di Grha Qarisha, Jl. Kemang III dia mempekerjakan tiga orang penjahit.

Lantaran keunggulan produk tersebut, salah satu pengelola The Goods Dept menghubungi Rano. Fashion store yang terkenal dengan kurasi produk yang ketat itu akhirnya memajang produk MAD. Dari situ, MAD pun mulai menyebar ke beberapa toko serupa seperti Orbis, Peny Store, Tribute, dan One Stop Shop. Rano juga mulai menjual melalui beberapa toko online fashion premium yang sudah mapan.

Saya pakai produk MAD yang jaket MADchester ini. Bahannya ringan, desainnya bagus. Jadi enak dipakainya, tidak panas,” ujar Hendro Gunawan, konsumen MAD yang juga staf pemasaran di sebuah perusahaan otomotif. Jaket MADchester dibuat dari bahan taffeta (100% nilon). Selain tahan angin, jaket ini memiliki lapisan tahan air dengan fitur zipper yang dipadukan dengan penutup velcro di bagian depan. “Jaketnya bisa dilipat kecil dan jadi tas,” Hendro menceritakan pengalamannya.

Kini perlahan-lahan, MAD besutan Rano kian menemukan performanya. Rano setidaknya mampu menjual hingga 175 potong produk MAD per bulan. Sebagai informasi, produk MAD dijual mulai dari Rp 275 ribu (kaus), Rp 600 ribu (kemeja), Rp 700 ribu (topi) hingga Rp 1,5 juta (jaket).

Kalau harga rata-rata MAD Rp 700 ribu, tentunya omsetnya sudah lumayan. “Itu rahasia perusahaan, hahaha…,” ujar Rano sambil mengungkap dia bisa nyicil dua mobil kelas menengah dari MAD. Jelas, ini hal yang dia syukuri mengingat modal awalnya hanya Rp 5 juta.

Toh, dia belum puas. Kedepan dia hendak membuat MAD untuk yang lebih premium, per potong kemeja MAD seharga US$ 120. Selain itu juga akan masuk ke segmen lebih rendah dengan label Undermouse. Anak muda ini ingin terbang lebih tinggi.

Sigit A. Nugroho dan Sudarmadi

 

The post Anak Muda di Balik MAD appeared first on Majalah SWA Online.

Viewing all 151 articles
Browse latest View live