Quantcast
Channel: SWA.co.id – Berita bisnis terkini, Diaspora Indonesia, Business Champions, dilengkapi dengan strategi dan praktek bisnis, manajemen, pemasaran, entrepreneur, teknologi informasi, keuangan, investasi, GCG, CSR, profil dan gaya hidup eksekutif.
Viewing all 151 articles
Browse latest View live

Peruntungan Sejoli Zu dan Adit di Bisnis Busana Lolita

$
0
0
Adit Roosandy & Komara Titis Hardini

Adit Roosandy & Komara Titis Hardini

Iseng tak selalu berkonotasi jelek. Malah, dari iseng bisa juga menghasilkan uang. Tanyakan saja pada Komara Titis Hardini, wirausaha muda yang tengah bersinar dengan produk baju-baju Lolita-nya. Bisnis yang ditekuni wanita yang punya sapaan Zu ini awalnya cuma karena iseng. “Ya, bisnis yang kami jalani sekarang awalnya sih cuma iseng karena jenuh dengan tugas akhir,” ungkap Zu.

Ketika itu, Zu masih berstatus mahasiswa di Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro. Merasa jenuh dengan kesibukan tugas akhirnya, ia pun iseng-iseng membuat pita rambut dari kain perca. Untuk menjahitnya, ia meminta tolong kepada penjahit di dekat rumahnya. Maklum, ia tidak bisa menjahit. Lalu, produk pita rambutnya itu dijual di laman Facebook seharga Rp 60 ribu per piece. Beberapa waktu kemudian ada pelanggan yang minta dibuatkan dress bergaya Lolita. “Nekat, saya iyakan saja, sambil mencari penjahit yang bisa jahit gaun berenda yang mekar. Sebab, ternyata tidak semua penjahit bisa. Beberapa kali trial sana-sini, akhirnya dapat yang cocok,” kata Zu mengenang sambil tertawa.

Bermodal nekat pula, pada 2009 Zu memutuskan membuat industri rumahan berikut fashion showroom, di rumahnya di Semarang. Mengusung merek Coruscate Unique— coruscate artinya bersinar—Zu menawarkan konsep Lolitafashion style untuk baju-baju yang dirancangnya. Lolita adalah gaya busana Jepang yang dipengaruhi gaya Victorian (kebangsawanan Inggris) dan busana periode Rococo (Late Baroque). Ciri-ciri yang banyak ditemui dari gaya Lolita yakni: rok selutut dengan bentuk seperti cupcake (mengembang di bagian bawah), kaus kaki (stocking) selutut, hiasan kepala, serta baju dengan banyak renda. “Gaun Lolita fashion ini sudah punya pakem internasional, sehingga kami tinggal memproduksinya sesuai dengan aturan-aturan yang ada sambil di-mix dengan hiasan renda, ruffle, warna kain, motif kainnya, atau pita yang ada di gaun,” Zu mengulas.

Pemasaran secara online pun mulai gencar dilakukan Zu. Dibantu Adit Roosandy, yang kini menjadi suaminya, baju Lolita merek Coruscate Unique ini awalnya dipasarkan melalui jejaring sosial Facebook. Lalu, juga melalui Instagram (@coruscateunique) dan situs web sendiri (www.coruscateunique.com), serta melalui situs marketplace internasional bernama Etsy (www.coruscateunique.etsy.com). “Pemasaran paling efektif via online,” ujar Adit. “Kami sudah punya model yang awal tahun depan dipersiapkan akan dijadikan idola via YouTube,” tambahnya.

Rupanya, baju-baju handmade rancangan Zu ini memperoleh antusiasme tinggi dari kalangan pencinta busana gaya Lolita. Terutama, para remaja dan ibu-ibu muda yang ingin memakai gaun kembaran dengan putrinya. Harga busana yang dipatok Zu mulai dari US$ 120 sampai US$ 575 per potong. Sudah ada sejumlah pembeli produk Coruscate Unique dari mancanegara, seperti Amerika Serikat, Prancis, Australia, Jepang, Jerman, Kanada, Belgia dan Arab Saudi. “Kebanyakan konsumen luar negeri sangat menyukai barang-barang handmade yang dibuat spesial untuk pelanggan dan berbeda dari produk pasaran,” ucap Adit.

Di pasar domestik pun baju Lolita dari Coruscate Unique mendapat antusiasme tak kalah bagus. Bahkan, sering dikenakan penyanyi Vicky Shu dan anggota girlband JKT48.

Zu dan Adit mengaku saat ini cukup kewalahan dalam proses produksi. Maklum, di rumah produksinya mereka hanya mempekerjakan dua penjahit, plus seorang penjahit khusus untuk petticoat. “Semua desain busana kami itu limited, tidak diproduksi massal. Dengan begitu, pelanggan akan lebih menghargai kalau gaun ini hanya dibuat khusus untuk dia,” ucap Zu.

Menurut keduanya, soal bahan baku, pihaknya tidak mengalami kesulitan. Umumnya, semua bahan baku masih tersedia di Indonesia. Adapun untuk kontrol kualitas, mereka membeli dan mengecek ulang sendiri bahan baku pembuatan dress seperti kain, retsleting dan benang. Namun, salah satu kendala yang dirasakan cukup mengganggu adalah masalah pengiriman. Mereka menyebut, biayanya mahal dan memakan waktu lama. ”Shipping ke luar negeri dari Indonesia lumayan lama dan mahal. Kebanyakan pelanggan luar kami dari AS dan Kanada, butuh waktu 5-10 hari untuk ke sana, belum termasuk proses di Bea Cukai dan semacamnya,” ungkap Adit. “Jika ada pilihan shipping yang lebih mudah dan murah, pasti akan sangat membantu kami dan pebisnis lain,” tambahnya.

Sejak akhir 2010, terutama setelah Adit bergabung, produk yang dibesut Coruscate Unique bukan hanya baju Lolita, tetapi juga sepatu dan tas yang unik dengan cirikhas pita. Kebetulan, kakek Adit seorang pengusaha sepatu. “Untuk melengkapinya, kami juga membuat sepatu Lolita bekerja sama dengan kakek Adit yang kebetulan produsen sepatu,” kata Zu. Sepatu yang dibuat seperti model Mary Jane dengan banyak pita dan aksesori lainnya. “Ke depan, kami akan produksi dress Lolita dari kain batik kontemporer dengan warna pastel. Kami sudah ketemu dengan produsen batiknya dan mulai memproduksi beberapa sampledress tetapi belum di-launching,” ungkap Zu soal proyek terbarunya. Ia mengaku ingin produknya dikenal sebagai produk Made in Indonesia karena limited, homemade dan dikesankan berharga.

Wulan Ayu Pamungkas, mahasiswi Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya yang merupakan penggemar busana Lolita, mengakui kualitas Coruscate Unique cukup bagus. Karena itu, ia menjadi pelanggan setianya. “Saya mengetahui Coruscate dari Internet. Awalnya, saya iseng-iseng mencari produsen baju Lolita karena saya menyukainya. Pertama kali memesan, saya membeli satu dress. Lalu untuk yang kedua kalinya, saya memesan empat baju,” ungkap Wulan. “Sejauh ini semuanya bagus. Saya berharap Coruscate bisa terus lancar memasarkan produknya di tingkat internasional,” katanya.(*)

A.Mohammad BS & Indah Pertiwi/Riset: Dian Solihati

The post Peruntungan Sejoli Zu dan Adit di Bisnis Busana Lolita appeared first on Majalah SWA Online.


Kiat Wong Bersaudara Melejitkan Arjuna

$
0
0
Raymond Siswara Wong & Ronald Siswara Wong

Raymond Siswara Wong & Ronald Siswara Wong

Tak punya pengalaman kerja di sebuah bidang tak berarti akan gagal ketika menekuni bisnis di dalamnya. Dengan kemauan belajar berbalut kesungguhan, semua ketidaktahuan bisa diatasi. Setidaknya itulah pelajaran yang dipetik Raymond Siswara Wong (26 tahun) dan kakaknya, Ronald Siswara Wong (30 tahun). Kakak-beradik ini tengah berkibar di bisnis ritel elektronik lewat Arjuna Elektronik. Diawali pada 2011, saat ini Arjuna Elektronik telah memiliki dua toko modern utama dan 11 kios, yang tersebar di Jakarta dan Tangerang, mempekerjakan 50 karyawan.

Raymond dan Ronald memang tak punya pengalaman kerja di industri elektronik. Sebelum pulang kampung ke Indonesia tahun 2011, Raymond bekerja di Sydney di bidang periklanan, sementara Ronald bekerja di bank, sebagai programmer. “Kami bosen. Semua serba teratur dan santai. Kami rindu hiruk-pikuk Jakarta dengan segala kepadatan, kemacetan dan peluangnya. Di Jakarta, hidup terasa lebih hidup,” Raymond menjelaskan alasan kepulangannya.

Benar saja. Pulang ke Jakarta, mereka langsung mengendus peluang bisnis. Salah satu perusahaan leasing yang awalnya membiayai sepeda motor tengah masuk ke ceruk baru: membiayai produk-produk elektronik. Jadilah Raymond dan Ronald memberanikan diri menyambar peluang itu meski nol pengalaman. Mereka besar di lingkungan otomotif karena sang ayah berbisnis di bidang dealership motor.

Mereka lalu mempelajari pasarnya, khususnya perilaku konsumen elektronik, dan mencari pemasok elektronik. “Kami cari celah yang berbeda dari pemain elektronik lain,” ujar Ronald.

Namun, merintis bisnis tidaklah segampang mengedipkan mata. Konsumen lebih terbiasa kredit motor ketimbang kredit barang elektronik. Juga, dalam mencari pemasok elektronik. Mereka tidak percaya dua bersaudara ini bisa menjalankan bisnis tersebut. Terlebih, Raymond saat itu masih 23 tahun.

Meski demikian, keduanya tak patah arang. Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai. Karena tawaran ke berbagai pemasok elektronik ditolak, akhirnya keduanya memutuskan pergi ke Glodok, mencari pusat grosir elektronik yang memberikan harga miring. Di sana mereka pun kulakan televisi dan barang elektronik lainnya untuk dijual di toko yang mereka dirikan, Arjuna Eletronik.

Kendati tertatih-tatih, bisnis Arjuna Elektonik bergulir. Kedua pemuda ini pun menjadi terbiasa pergi kulakan ke toko grosir di Glodok yang mau memberikan harga miring.

Lantaran saking seringnya datang ke toko, seorang agen produk LG kemudian melihat dan menghubungi mereka. Tiada dinyana, sang agen memberikan kesempatan kepada Arjuna Eletronik untuk menjual produk LG. Setelah itu, wuzz… bisnis bergulir makin cepat. “Sejak produk LG terdisplai di toko kami, satu per satu produk elektronik lainnya berdatangan menawarkan produknya. Dulu kami cari-cari agen elektronik, sekarang kami yang mereka cari,” ungkap Raymond antusias.

Ronald menimpali, sejak awal pihaknya hanya menggunakan modal sendiri, tidak ada uang dari investor. “Kami berusaha bertahan dan berkembang dari perputaran uang kami sendiri,” ujarnya. Modal awal Arjuna Elektronik — di luar sewa properti — mencapai Rp 1 miliar dan kemudian seiring berjalannya waktu modal ditambah lagi Rp 1 miliar.

Lewat tiga tahun, Arjuna Elektronik kini berjalan gagah. Omset pe rbulannya bisa mencapai Rp 2,5 miliar. Apa strateginya?

Dari sisi segmentasi pasar, Wong brothers ini tahu di mana mesti mengeksplorasi peluang. Mereka terus mengepakkan jaringan Arjuna Elektronik dengan membidik kalangan menengah-bawah yang ingin membeli produk dengan cara nontunai. Toko mereka selalu berada di daerah-daerah padat permukiman.

Dari sisi promosi, mereka piawai memanfaatkan era digital, terutama teknik search engine optimization (SEO). Bila konsumen mengetik “toko elektronik” di Google, Arjuna Elektronik kerap berada di atas, berdampingan dengan Hartono Elektronik atau Electronic City. Pokoknya, “Kami mengombinasikan konsep tradisional dan modern. Kami juga memanfaatkan jaringan Internet atau dunia online sebagai bagian strategi digital advertising,” kata Raymond.

Kemudian, selain dengan bunga rendah, Arjuna Elektronik juga memberikan garansi produk yang dijual orisinal, dan langsung diambil dari pabrik. Sekarang, selain dipercaya kalangan pemasok, Arjuna Elektronik juga sudah dipercaya sejumlah perusahaan leasing seperti FIF Spektra, Adira Kredit dan Kredit Plus. “Obsesi kami, ingin menjadikan brand Arjuna Elektronik sebagai ritel yang tersebar di seluruh Indonesia,” ujar Raymond bersemangat.

Ambisi penuh semangat ini dulunya tak terbayang. “Sebelumnya, kami benar-benar buta di bidang ini. Memakai barangnya bisa, tetapi tidak kenal produknya. Apalagi, mengenali supplier-nya,” Ronald mengungkapkan.

Apakah ambisi ini kelak terwujud, tentunya masih ditunggu. Yang pasti, Wong bersaudara akan bertempur dengan banyak pemain yang tak mau pasarnya digerogoti.(*)

Sudarmadi dan Syukron Ali

The post Kiat Wong Bersaudara Melejitkan Arjuna appeared first on Majalah SWA Online.

Rizky Diansyah: Dari Bisnis EO hingga Aneka Jasa

$
0
0
Rizky Diansyah

~~

Profesi dokter sepertinya bukan pilihan Rizky Diansyah dalam meniti kariernya. Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti tahun 2000 ini lebih memilih mengembangkan bisnis yang telah dirintisnya sejak masih kuliah. “Kalau menjadi dokter, saya baru bisa mandiri sekitar 10 tahun setelah lulus. Jadi, saya putar haluan untuk melanjutkan usaha,” ungkap Rizky memberikan alasan.

Jiwa bisnis Rizky memang sudah terlihat sejak masih kuliah. Tidak mau membebani orang tua untuk urusan biaya kuliah, Rizky pun mencari penghasilan sendiri dengan bermain band dan menjadi disk jockey (DJ) di sejumlah kafe. Namun, penghasilan dari ngeband dan nge-DJ belum cukup untuk menutupi biaya kuliahnya.

Lalu, ia mengamati bidang event organizer (EO). Ia melihat ada EO yang ternyata tak punya sendiri sound system, lighting system, dan aneka fasilitas pendukungnya. Jadi, lebih menjual konsep tata acaranya. “Akhirnya, saya fokus untuk bisnis EO, tapi DJ-nya tetap jalan,” kata Rizky, yang pernah memenangi kompetisi DJ tingkat nasional tahun 2004 dan 2006.

Setelah menyelesaikan kuliah, Rizky sempat menjadi music director (pengarah musik) di sebuah fasilitas gym terkemuka di Jakarta. Namun hanya bertahan setahun, Rizky pun kembali menekuni bisnisnya secara lebih serius dengan membuat badan usaha berbentuk CV. Rizky mengklaim bisnis EO-nya terus berkembang dengan menangani sejumlah event. Pada 2009, ia pun membentuk PT Diansyah Dinamika Warna (DDW). Bahkan, pada 2013, pria kelahiran Surabaya 8 April 1982 ini merekrut seorang konsultan guna menata DDW menjadi agensi komunikasi terpadu. Kini, didukung 12 karyawan DDW bukan sekadar menawarkan jasa EO, tetapi juga melayani jasa media placement, pembuatan desain grafis, annual report perusahaan, dan sebagainya.

Sejumlah perusahaan dan event besar pernah ditangani DDW. Klien DDW sendiri antara lain BNI, BCA, Grup Bakrie, Pertamina, Plaza Indonesia, Unilever, Piaggio Indonesia, Standard Chartered Bank, Grand Indonesia Shopping Mall, dan Suku Dinas Pariwisata Jakarta Pusat. Pergelaran Abang dan None Jakarta dalam dua tahun terakhir juga ditanganinya. DDW menangani pula proyek dari BSI dan IMI dalam menyelenggarakan acara Speedy Motorsport yang merupakan kompetisi drift pertama di Indonesia. “Saya menerapkan strategi menyasar klien menengah. Tidak semua klien saya perusahaan besar. Selain itu, saya aktif di Hipmi, yang anggotanya banyak UKM. Di situ saya menawarkan jasa DDW,” ungkap Rizky. “Di bisnis ini tantangannya adalah kami mesti terus update, baik kreativitas maupun ide,” tambahnya.

Tak berhenti di situ. Pria yang pada 2014 mendapat penghargaan Asia Pacific Enterpreneurship Awards dari Enterprise Asia ini, sejak 2013 mengembangkan usaha baru. Di bawah bendera PT Dinamika Satria Tama, Rizky juga menawarkan layanan penyaluran tenaga sekuriti, menyediakan jasa riset intelijen pasar, riset pasar dan manajemen isu. Selain itu, bekerja sama dengan seorang rekan di Hipmi, Rizky mendirikan PT Kantor Pintar Kreasindo, yang menyediakan jasa kantor virtual. “Bisnis itu dinamis. DDW sudah bisa otopilot. Saya melihat ada peluang untuk melakukan diversifikasi bisnis. Tetapi itu bisa diintegrasikan. Misal, untuk jasa riset, jika sudah masuk profiling, bisa juga ditawarkan jasa aktivasi mereknya lewat DDW,” papar penggemar grup band Deep Purple dan Led Zeppelin itu. “Ke depan, saya ingin DDW ini bisa menjadi agensi komunikasi asli Indonesia yang punya tempat untuk perusahaan multinasional dan antarnegara,” tambahnya dengan raut muka serius.

Kiprah dan sepak terjang Rizky dalam mengembangkan bisnis mendapat acungan jempol pengamat bisnis Handito Hadi Joewono. Bahkan, Handito menilai wajar, Rizky pun tergoda mengembangkan bisnis lain di luar jasa agensi komunikasi. “Kalau perusahaan sudah bisa jalan, memang harus tumbuh. Bisa saja melalui pengembangan pasar, produk atau pengembangan bisnis. Tidak apa-apa, asalkan sumber dayanya ada,” ujar Handito. “Tetapi, walaupun sudah otopilot, bisnis itu tidak bisa dibiarkan jalan sendiri. Apa pun kondisinya tetap butuh dirawat dan diruwat oleh pemiliknya, kalau tidak begitu bisa stagnan atau mati,” tambahnya mengingatkan.

Menurut Handito, sejalan dengan adanya MEA 2015, bisnis jasa ini memiliki prospek menarik, sekaligus tantangan yang cukup besar. Untuk itu, Rizky harus sudah siap masuk ke pasar ASEAN. “Apa yang harus dilakukan? Ya meningkatkan daya saing organik grup. Juga, bisa aliansi dengan teman-teman dari negara ASEAN lainnya. Bukan dengan semangat mengundang mereka masuk, tetapi mengembagkan jaringan kita ke luar negeri,” saran Handito.

Arie Liliyah & A. Mohammad B.S.

Riset: Rizky Faisal

The post Rizky Diansyah: Dari Bisnis EO hingga Aneka Jasa appeared first on Majalah SWA Online.

Gebrakan Mellyun dan Dita di Pasar Ritel Fashion

$
0
0
Mellyun Xing dan Dita Addlecoat

Mellyun Xing dan Dita Addlecoat

Fashionable dengan rancangan desainer kondang dan harga terjangkau. Juga, bisa dipakai setiap hari alias ready to wear. Itulah konsep yang diusung duo desainer Mellyun Xing dan Dita Addlecoat. Lewat merek Monday to Sunday, dua desainer yang masih berusia di bawah 30 tahun ini ingin mendobrak anggapan bahwa fashion di Indonesia identik dengan pakaian pesta yang mahal. “Kami ingin mengubah asumsi sebuah fashion hasil karya desainer itu barang mahal, menjadi sesuatu yang dapat digunakan oleh semua orang. Orang-orang biasa bisa memakai baju desainer, tetapi harganya affordable,” ungkap Dita.

Menurut Dita, Monday to Sunday dibesut karena pasar Indonesia untuk busana ready to wear hasil rancangan desainer bisa dihitung dengan jari. “Karena itu, kami menciptakan brand fashion ready to wear yang ada sentuhan desainer,” tambahnya. Terlebih, mereka sendiri pada dasarnya menyukai rancangan yang dapat digunakan kapan saja dan di mana saja. Dengan konsep ready to wear ini, menurut Mellyun, rancangan Monday to Sunday bisa dipakai untuk acara formal ataupun semiformal karena garis desainnya lebih playful. “Jadi, nama Monday to Sunday itu cocok untuk merepresentasikan desain kami dalam sebuah brand. Merepresentasikan sesuatu yang lumayan praktis tetapi tetap gaya,” Mellyun menjelaskan.

Desain Monday to Sunday, dalam pandangan K. Nina Adelia, memang bagus. “Desainnya semua sudah bagus dan wearable,” kata pengamat fashion yang bekerja sebagai Direktur Pengelola Trinaya Media ini. Di tangan Mellyun dan Dita, busana kasual menjadi lebih menarik dengan permainan cutting seperti detail serut, layer dan draping. Jangan heran, dibesut pada 2009, label ini sudah meramaikan koleksi busana di berbagai department store. Membidik pasar menengah- atas dengan rentang usia 17-40 tahun, Monday to Sunday hadir di Project One Kemang, Lotte Shopping Avenue, Metro Gandaria City dan Plaza Senayan, Debenhams Kemang Village, Goods Dept Pacific Place dan Pondok Indah, Alun-Alun Grand Indonesia, Ore Surabaya, Widely Project dan Happy Go Lucky Bandung.

Sebelum masuk ke gerai-gerai fashion papan atas tersebut, mereka melakukan debut Monday to Sunday melalui Brightspot di East Mall, Grand Indonesia. Setelah itu, mereka ditawari mengisi sebuah booth di Level One – masih di Grand Indonesia – bersama beberapa desainer ready to wear lainnya. Seiring dengan kehadiran Monday to Sunday di mal-mal, merek ini juga diganjar penghargaan dari Nylon, sebagai salah satu pionir Local Brand 2013. Sebelumnya, Monday to Sunday mendapatkan award dari InStyle dan nominasi best local label dari CLEO Indonesia.

Pasar yang antusias menggelitik Mellyun dan Dita segera mengepakkan sayap. Apalagi, mereka melihat kebutuhan busana ready to wear besutan desainer masih sedikit. Berangkat dari keinginan rancangannya bisa digunakan siapa saja, mereka kemudian memilih pasar ritel. Mengantongi pendidikan desain – Mellyun lulusan Raffles Design Institute (Singapura); Dita pernah sekolah di Esmod Jakarta dan kemudian melanjutkan ke Singapura – dan pengalaman Mellyun sebagai fashion illustrator di Singapura dan latar belakang Dita sebagai head of production di sebuah perusahaan garmen internasional, menjadi modal mereka mengembangkan Monday to Sunday.

Kelebihan Monday to Sunday, menurut Dita, selain rancangannya, juga bahannya dan tentu saja harganya yang terjangkau. “Harga yang kami banderol masih bersaing dengan yang lain. Harga yang kami patok berada di tengah, karena kami selalu menyesuaikan harga agar para pembeli bisa membeli rancangan kami,” tuturnya. Dengan mematok harga Rp 199 ribu-1,2 juta, imbuh dia, Monday to Sunday lebih banyak dilirik para profesional muda. Ia menilai, saat ini pasar sudah sangat menghargai dan antusias terhadap produk lokal.

Tak hanya pasar lokal, menurut Mellyun, pihaknya juga memiliki pembeli dari mancanegara yang kemudian menjualnya kembali melalui situs, sebut saja monoko.co.jp dan gigot, sebuah konsep store dari Jepang, serta Yoga Appareal asal Jepang. Monday to Sunday juga dipasarkan melalui www.mondaytosundaystore.net dan market place www.bobobobo.com. Bahkan, dalam waktu dekat, Monday to Sunday akan dipasarkan lewat berrybenka.

Meski pasar luar negeri sudah terbuka, saat ini Monday to Sunday fokus menggarap pasar lokal. “Kami ingin memajukan merek desainer lokal di Indonesia,” kata Dita. Ini sejalan dengan ekspektasi mereka yang ingin menghadirkan desain ritel untuk kalangan menengah dengan sentuhan desainer. “Kami ingin menjadi pemimpin untuk merek ritel desainer lokal,” tambahnya.

Obsesi lainnya adalah memiliki flagship store. “Supaya identitas branding lebih kuat. Apalagi di mal traffic-nya lebih banyak, sehingga untuk bisnis lebih baik dan untuk segala bentuk branding lebih mudah didapat. Kami masih menunggu antrean untuk masuk di mal yang kami inginkan,” kata Mellyun. Dengan memiliki flagship store, menurut Dita, pihaknya bisa bereksperimen dengan strategi pemasaran sendiri. “Jika tidak di toko sendiri, kami harus memiliki kesepakatan dengan yang lain untuk mengaplikasikan strategi marketing kami,” ungkap Dita. Nantinya, imbuh dia, pihaknya juga akan menyasar pasar anak-anak.

Ke depan, menurut Nina Adelia, Monday to Sunday akan memperhatikan distribusi produknya. “Kekurangan dari para desainer baru saat ini hanya dari segi pendistribusian barangnya dan keberadaan si barang itu sendiri,” katanya.

Nina juga melihat dari sisi branding Monday to Sunday masih kurang karena tidak memiliki butik sendiri. “Dari segi harganya sudah masuk akal dan desainnya juga sudah cukup kreatif. Hanya saja saya tekankan, sebuah brand yang mengandalkan online saja kurang untuk image-nya dan kurang prestisiusnya, karena saat ini Monday to Sunday hanya memiliki satu store pribadinya di Jakarta, di Colony Kemang, dan lainnya hanya ada di beberapa department store. Prospek bisnis seperti Monday to Sunday ini saya kira bagus sekali,” paparnya.(*)

Henni T. Soelaeman dan Istihana

The post Gebrakan Mellyun dan Dita di Pasar Ritel Fashion appeared first on Majalah SWA Online.

Sejoli Orbitkan Tas Kulit

$
0
0
Anwar Syafrani dan Gina Adityalugina

Anwar Syafrani dan Gina Adityalugina

Mengamati kebiasaan keseharian sang ayah, rupanya bisa menjadi inspirasi bisnis. Terkadang dengan melihat kebiasaan orang yang ada di rumah, bisa memancing ide untuk memulai bisnis tertentu yang memang dibutuhkan dalam kehidupan nyata. Hal itu pula dialami pasangan muda, Anwar Syafrani dan Gina Adityalugina, yang kini mengorbitkan bisnis tas kulit, dengan merek Gammara. Ide bisnis produksi tas kulit ini dimulai karena Gina sering mengamati ayahnya yang biasa menggunakan tas kulit yang ternyata bagus dan tahan lama. Bahkan Gina pun sering meminjam tas ayahnya.

Dari titik tersebut pasangan yang tinggal di Bandung ini terpikir untuk berbisnis tak kulit karena melihat ada pasarnya. Mereka memulainya dengan iseng, dengan membeli tas kulit custom tanpa merek yang sudah jadi, lalu Gina bersama suaminya, Anwar, menjual tas-tas kulit tersebut. Ternyata sambutan kawan-kawannya sangat bagus, sehingga mereka berkesimpulan bahwa tas kulit memiliki banyak peminat.

Pasangan ini lalu aktif berjualan tas kulit meski tanpa merek dengan cara membeli tas kulit jadi dari pihak lain. Tepatnyasejak 2010. Baru setahun berselang, mereka akhirnya memutuskan mencari tempat untuk memproduksi sendiri, dan sejak itu pula dipakailah merek Gammara. “Gammara itu bahasa Makassar, artinya bagus, kata Gina.

Pada tahun pertama, pasangan ini banyak belajar tentang proses, pasar dan bahan baku kulit. “Awalnya kami hanya tahu kulit itu ya hanya kulit saja. Belum tahu bagaimana kulit yang bagus, karakter masing-masing jenis kulit, kualitas benang, cara menjahit, sistem penyamakan, dan sebagainya. Sama-sama kulit asli, harganya bisa jauh berbeda karena kualitasnya juga berbeda,” papar Anwar. Hingga saat ini, bahan baku kulit yang dipakai Gammara 90% dari kulit sapi, sisanya kulit kerbau dan kulit domba. Adapun bahan baku kulit dibeli dari Surabaya, Tangerang dan Jakarta, sedangkan sebagian dari pemasok Australia dan Italia.

Dari sisi pemasaran, produk tas kulit Gammara punya positioning lebih kasual, menggarap pasar orang tua ataupun anak muda. Dari sisi harga, dua sejoli ini menawarkan 30%-40% lebih murah dari produk tas kulit branded. Rentang harga produknyaRp 600 ribu2,25 juta. “Harga kami dibawah branded karena biaya advertising mereka lebih tinggi. Dari bahan baku dan kualitas kulit, sama bagusnya,” kata Gina meyakinkan. Untuk mengenalkan produknya, Gina dan Anwar aktif mengikuti pameran. Misalnya ikut pameran yang digalang Disperindag Kota Bandung, lalu Inacraft, Krafina, Indonesian Fashion Week, Gelar Sepatu Fashion, serta biasa mengikuti program bazar yang digalang anak muda seperti Trademark.

Saat ini pasar Gammara sudah masuk ke kota besar seperti Jakarta, Bandung, Jawa Tengah, Surabaya, Kalimantan, Pontianak, Pekanbaru, Makassar, Lombok, dan bahkan sudah menembus ke luar negeri, seperti

Norwegia, Hungaria, Prancis dan Australia. Pembeli Eropa merupakan end user atau pembeli individu, bukan perusahaan ritel. “Banyak perusahaan ritel yang menawari kami sebagai pemasok. Bahkan seorang pemilik merek top dunia ada yang minta produksi disini. Tapi kami belum layani karena mintanya kapasitas bulanan 500 tas, dan berani ambil kontrak dua tahun. Kami putuskan belum kesana, kembangkan pasar sendiri dulu,” Gina menuturkan.

Bermula dari modal Rp 1 juta, kini Gammara bisa menghabiskan 1.000 feet bahan baku kulit tiap bulannya. Pemesanan berkisar 100-200 tas per bulan dan kebanyakan pembeli tas pria. “Sekarang kami lagi coba bikin produk second line yang harganya tidak sampai Rp 1 juta. Rencananya juga mau buka gerai sendiri, langsung bersandingan dengan merek terkenal agar ada komparasi. Para pengelola mal online juga sudah mulai aktif menghubungi Gina agar bisa menjualkan barangnya,” Anwar memaparkan. Sambutan pasar tampaknya memacu sejoli ini untuk semakin agresif melebarkan pasarnya.

Ferdi Julias Chandra dan Sudarmadi

Riset: Hana Bilqisthi

The post Sejoli Orbitkan Tas Kulit appeared first on Majalah SWA Online.

Ananto Wibisono Mantap Menjadi Entrepreneur

$
0
0

Sempat wara-wiri di perusahaan-perusahaan yang berbasis e-commerce, Ananto Wibisono kini memilih untuk mendirikan usahanya sendiri. Dengan mengusung bendera Sepulsa, pria kelahiran 8 Mei 1981 ini rela melepaskan karier profesionalnya.

Ananto Wibisono, Founder of Sepulsa

Walau harus meniti dari nol, lulusan dari bidang Teknologi Informasi jurusan e-commerce Sekolah Tinggi Teknik Surabaya ini, yakin Sepulsa dapat maju ke depan. Market pulsa online Indonesia yang sangat besar dan belum adanya pemain lain dalam sektor ini, mampu meyakinkan Founder Sepulsa ini untuk tetap melaju pada jalur yang diambilnya.

Berikut pemaparan lengkap Ananto, pada reporter SWA Online, Destiwati Sitanggang.

Bagaimana kisahnya, akhirnya Anda memutuskan mendirikan usaha start-up?

Sebenarnya saya memiliki passion yang sangat tinggi di bidang e-commerce dan online di Indonesia. Kebetulan sebelum-sebelumnya saya selalu bekerja pada orang. Pertama itu saya bekerja di Reebonz, perusahaan e-commerce asal Singapura. Memang saya orangnya cukup betahan dan kebetulan tempatnya cukup nyaman, makanya saya cukup lama di sana, sekitar 6 tahun.

Lalu, karena saya ingin merasakan khusus pasar Indonesia, maka saya keluar dan bergabung di Groupon Indonesia. Pada tahun 2014, saya ditetapkan sebagai Kepala Bidang Teknologi di Groupon Indonesia. Tanggung jawab saya adalah mengimplementasikan beragam teknologi baru untuk Groupon.

Ketika  di Groupon, saya menemukan beberapa hal yang tidak bisa saya lakukan di Groupon, tetapi bisa saya lakukan sendiri. Oleh karena itulah mengapa saya dan teman-teman memutuskan untuk memulai Sepulsa.

Lalu mengapa memilih jalur sebagai entrepreneur dari pada tetap di jalur profesional?

Sebenarnya menjadi seorang entrepreneur itu  lebih mudah untuk mengekspresikan diri. Saya melihat bahwa meskipun kita berada di posisi yang tinggi di jalur profesional, kita harus tetap mendapatkan komentar dari orang lain.

Selain itu, saya percaya, untuk pasar Indonesia, orang yang paling mengenal pasar Indonesia itu adalah orang Indonesia itu sendiri. Tidak jarang, ketika kita di jalur profesional, orang yang menjadi decision maker justru orang-orang yang tidak mengerti pasar Indonesia. Nah, dari situ saya berpikir, seharusnya tidak seperti ini. Itulah mengapa akhirnya saya memulai Sepulsa. Do my own things.

Berapa lama persiapan merintis Sepulsa?

Mungkin tidak terlalu lama,  sekitar 1,5 bulan, sebelum kami launching.

Kalau boleh tahu, kapan keluar dari Groupon?

Februari tahun ini.

Jadi, selepas dari Groupon Anda langsung men-develop Sepulsa ?

Ketika di waktu senggang,  saya sudah memulai develop dan mempersiapkan case-casenya. Sehingga ketika saya keluar dari Groupon, semua sudah ready, tinggal di-combine, lalu berjalan.

Lantas, apa alasan Anda memilih bidang IT ini sebagai lahan bisnis?

Sebenarnya karena memang passion saya di IT. Mengapa IT? Pertama, karena memang skill saya di bidang tersebut. Kedua memang passion. Jadi passion saya di IT ini belum kelar untuk dihabiskan.

Optimisme apa yang meyakinkan memilih jalur entrepreneur? Ini kan masih gambling kepastian ke depannya?

Benar sekali. Sebenarnya, kalau benar sekali yakin untuk menjadi entreprenuer itu, tidak juga. Selalu ada hal-hal yang membuat saya berpikir, bisa tidak ya. Tapi dari sekian banyak ide dan akhirnya memilih Sepulsa. Market Sepulsa inilah yang membuat saya yakin bahwa ini akan sukses.

Alasan pemilihan bidang pulsa?

Karena marketnya ada dan kami melihat belum ada layanan isi pulsa yang benar-benar, jadi satu paket yang OK, selalu ada kekurangan. Oleh karena itu, kami saya fokus sekali sekali pada teknologi, saya yakin tim Sepulsa juga orang yang berkompeten di bidang teknologi. Jadi, kami yakin dapat memberikan solusi yang paling baik.

Setelah Sepulsa berjalan dua bulan, pengalaman apa yang Anda rasakan sebagai entrepreneur?

Sebenarnya isi ulang pulsa tidak semudah itu, di belakangnya ada banyak hal yang harus dioptimasi. Awalnya saya berpikir, ah isi ulang pulsa cuma segini doang, tidak perlu banyak optimasi, ternyata saya salah. Banyak hal-hal teknikal yang baru diketahui ketika kita benar-benar terjun ke dalamnya. Tapi, hal tersebut justru menjadi sumber ide untuk memberikan inovasi.

Tapi saya katakan, entrepreneur is not for everyone. Jika kita benar-benar tidak memiliki passion di sana, jika kita tidak benar-benar suka melakukan apa yang dikerjakan, better don’t do that. Karena itu, akan banyak menguras energi. Ketika kita merasa capai dan segala macam, yang membuat saya bertahan adalah passion. Itu yang membuat saya akan maju terus ke depannya.

Sepulsa bisa dikatakan pionir, apa tantangan yang Anda temui?

Tentunya mensinergikan beberapa servis menjadi satu paket yang bagus. Misalnya isi ulang pulsa, ternyata isi ulang pulsa itu masih banyak hal yang sangat tradisional sekali dari mulai operator sampai ke pendistribusiannya. Jadi, yang namanya servis ini tidak selamanya bisa bagus. Contoh, kita ingin top up itu, bisa kapan saja, tetapi yang penyedia layanan top up it tidak selamanya 24 jam. Itu tantangan bagi kami, untuk dapat memberikan layanan yang 24 jam.

Lantas, apa yang Anda lakukan?

Kami meningkatkan performance,produktivitas dan memberikan rasa nyaman kepada pelanggan. (EVA)

The post Ananto Wibisono Mantap Menjadi Entrepreneur appeared first on Majalah SWA Online.

Dennis Adhiswara: Layaria Beroperasi seperti Komunitas

$
0
0

Dunia seni peran yang sempat ditekuni dan melambungkannya hingga memiliki nama besar di kancah perfilman Indonesia ditinggalkan Dennis Adhiswara. Aktor yang memperkuat film Ada Apa dengan Cinta dan Jomblo ini, tahun 2012 resmi membesut Layaria, jejaring multikanal YouTube pertama di Indonesia. Ia bergerak sebagai wadah bagi para kreator video lokal untuk bersama-sama berkreasi, membangun, menciptakan atmosfer bisnis, dan mendistribusikan karya lewat YouTube.

Dennis Adhiswara: Layaria Beroperasi seperti Komunitas

Dennis Adhiswara: Layaria Beroperasi seperti Komunitas

Sebagai CEO and Headmaster Layaria, Dennis bersama ke-12 rekan kerjanya, mengenalkan Layaria ke beberapa kota di Indonesia. Alhasil, lebih dari 70 partner kini bergabung dan bersama-sama mengembangkan Layaria, tersebar di 14 kota di Indonesia: Balikpapan, Samarinda, Tenggarong, Pontianak, Pangkalanbun dan kota lainnya. “Kami tidak menjadikan uang sebagai tujuan akhir. Kami hanya ingin bergerak, berkarya sesuai passion, lalu men-share passion kami. Kami juga mengajak mereka untuk sama-sama berkarya. Mungkin spirit itulah yang dilihat oleh YouTube, sehingga kami pun bekerja sama dan Layaria resmi menjadi premium partnership,” tutur Dennis.

Menurut Dennis, fokus Layaria ialah video online. Layaria membangun, mendidik, memproduksi, dan mempromosikan video online dari para kreatornya. Kerjanya seperti apa? Bayangkan, ini seperti recording label. Bedanya kalau recording label itu bekerja sama dengan para musisi, dan hasil akhirnya berupa musik. “Nah, kami bekerja sama dengan video maker, bukan musisi, yang hasil akhirnya video online. Apa pun platformnya. Bisa YouTube, bisa Instagram,” tutur Dennis.

Ia suka menciptakan sesuatu terutama di bidang video dan film. Yang membuatnya senang membuat video online adalah gambar dan suara lebih cepat ditangkap, dan lebih lama berada dalam benak atau diingat. “Ada beberapa klien dari Layaria, antara lain, Indosat, Telkomsel, XL, Samsung, dan Lenovo. Saat ini kami mengerjakan proyek Telkomsel Loop. Kami juga ngerjain teman-teman start-up. Kreator videonya banyak, mulai dari yang masih baru, sampai yang sudah lama bertahun-tahun,” Dennis menjabarkan.

Untuk memperkenalkan Layaria, Dennis keliling dari kota ke kota. Saat memulai bisnis video online, bisnis ini sedang subur-suburnya karena baru muncul. Semua orang pasti ingin bikin video, jadi ada umpan balik baik dari mereka. “Kami juga memberi fasilitas kepada teman-teman yang jadi partner kami berupa pendidikan. Makanya, kami ada di tiga kota. Jakarta, Bandung dan Surabaya,” ia menambahkan.

Ke depan, Dennis berharap Layaria bisa seperti Disney. Menurutnya, Disney itu merupakan sekumpulan orang yang bekerja di perusahaan dan mereka memiliki visi yang sama untuk mewujudkan mimpi. “Spiritnya di situ. Dan itu semangat di Layaria juga,” Dennis menggarisbawahi. Ia berharap, para mitranya bisa mewujudkan mimpi mereka lewat media video online, walaupun mereka punya pekerjaan utama yang mungkin berbeda. Dennis mengilustrasikan, ada orang yang bekerja di pasar, passion dia sulap. “Ya sudah, silakan bikin sulap, tapi rekam di video dan ditayangkan secara rutin di YouTube. Atau di Instagram. Main jobnya tetap, enggak ditinggalin,” tuturnya.

Jadi, dia harus tetap berada pada pekerjaan utamanya, karena dia punya keluarga dan sudah punya penghasilan tetap di pasar. Dennis melihat passion yang begitu penting itu sayang kalau disia-siakan. Kalau disia-siakan, akan ada umur tertentu di mana passion itu hilang. “Buat saya, orang itu dinyatakan mati saat potensinya hilang. Makanya ada pepatah yang bilang, banyak orang mati umur 25 tahun tapi jasadnya dikubur di usia 75 tahun. Saya enggak mau itu terjadi pada diri saya,” ungkap Dennis.

Karena itulah, Dennis mendirikan Layaria. “Ini perusahaan, tapi bentuknya seperti komunitas. Dan, semangat kami start-up terus,” ia menandaskan. Layaria adalah perusahaan, tetapi Denis dan para mitranya bisa berkarya dan bersenang-senang terus. “Kami boleh jadi mengerjakan main job kami dari hari Senin sampai Jumat, jam 7 pagi sampai jam lima sore. Tapi setelah jam dan hari di luar itu, kami jadi diri kami sendiri,” ungkap Dennis.

Salah satu mitra Layaria adalah Pemkot Surabaya, Jawa Timur. Menurut Don Rozano, mantan Staf Ahli Wali Kota Surabaya yang kini jadi konsultan bisnis, Pemkot Surabaya sudah banyak membuat proyek bersama Layaria, antara lain, sharing dengan pelaku UMKM Surabaya untuk memanfaatkan media online sebagai alternatif promisi dan pemasaran dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. “Dalam event yang diikuti sekitar 600 pelaku UMKM yang mayoritas ibu-ibu, Dennis sangat piawai berkomunikasi dengan bahasa yang dimengerti disertai contoh-contoh yang memikat,” tutur Don.

Kegiatan lainnya adalah sharing dengan calon pelaku bisnis perfilman dan miniworkshop online video maker dengan sekitar 650 pelajar SMA/SMK se-Surabaya, dan Co Working Space and Techno Start-Up, Start Surabaya. “Pemkot berkolaborasi dengan Layaria dalam menggagas dan membangun industri kreatif di Surabaya yang mampu bersaing dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015,” Don menambahkan. Ia terkesan dengan cara kerja Dennis yang mampu menyampaikan materi secara ringan dan memotivasi peserta untuk berkarya.

Didin Abidin Masud & Lia Amelia Martin

Riset: Hana Bilqisthi

The post Dennis Adhiswara: Layaria Beroperasi seperti Komunitas appeared first on Majalah SWA Online.

Mandy Madeline P. Hartono Menjadi “Ibu” Para Start-up

$
0
0

Ada yang berubah dari Purwadhika Nusantara. Institusi pendidikan yang dibesut pada 1987 oleh Purwa Hartono ini bergeser fokus haluan. Berganti “baju” menjadi Purwadhika IT Entrepreneur School, fokus lembaga ini adalah mempertajam konsep pendidikan di bidang enjiniring software dengan mengawinkan sertifikasi Microsoft dan kewirausahaan dalam kurikulum pendidikannya. Tujuannya untuk melahirkan tenaga kerja di bidang teknologi informasi (TI) yang siap pakai. Lembaga pelopor pendidikan berbasis cloud computing di Indonesia ini membagi beberapa konsentrasi pendidikan: cloud computing for business, cloud computing for game, cloud computing for mobile, dan cloud computing for robot.

Mandy Madeline P. Hartono

Mandy Purwo Hartono Marketing Manager Purwadhika IT intrepreneur School

Ada program pendidikan satu tahun yang dinamakan IT Startup in Software Engineering yang fokus di teknologi cloud, mobile, dan IoT computing dengan tujuan akhir para peserta akan terjun langsung dalam proyek riil dan membangun perusahaan sendiri. Tak hanya itu, para peserta juga dilengkapi sertifikasi dari Microsoft yaitu MCSD di bidang Programming and Developing ASP.NET yang diakui dunia sehingga para lulusan program ini menjadi tenaga ahli yang dapat bersaing di tingkat global. “Benefit program ini adalah di akhir program, semua peserta akan memiliki their own start-up dan terjun ke proyek riil, yaitu membuat aplikasi software untuk B2B ataupun B2C. Dan tentunya mereka akan memiliki sertifikasi dari Microsoft,” papar Mandy Madeline P. Hartono, anak sulung Purwa Hartono.

Adalah Mandy yang memoles wajah Purwadhika seperti saat ini. Dengan menyasar peserta program minimal lulusan SMA, mahasiswa dan profesional yang sudah bekerja, program ini menyediakan tiga pilihan jadwal untuk mengakomodasi jadwal aktivitas para pesertanya yang berbeda-beda. “Pertemuannya hanya dua kali seminggu, tetapi materinya memang padat dan cukup berat. Para peserta juga tetap bisa menjalani aktivitas utama mereka,” tutur kelahiran Jakarta 15 Januari 1988 ini.

Diakuinya, terobosan yang dilakukan sejak tahun lalu tersebut berangkat dari keinginan untuk memanfaatkan peluang dan potensi aplikasi software yang berkembang pesat seiring semakin tingginya penjualan mobile device yaitu smartphone. “Kini hampir setiap orang, apalagi masyarakat kota, pasti memiliki setidaknya satu device smartphone yang mereka bawa ke mana pun untuk mencari informasi, main game, ataupun get connected dengan media sosial,” paparnya.

Mandy menambahkan, jutaan aplikasi software bisa diunduh dengan begitu mudah di berbagai application store, seperti App Store, Play Store dan Windows Store. Namun, ia menyayangkan, aplikasi software dari Indonesia masih terbilang sangat kurang dibanding pasar asing. Aplikasi yang terkenal seperti Facebook, Twitter, Line, Candy Crush, Instagram dan Path adalah buatan luar negeri, dan Indonesia menjadi salah satu negara yang penduduknya pengguna terbesar aplikasi tersebut. “Sayang sekali kalau kita hanya menjadi negara konsumen dan tidak menjadi negara produsen. Padahal, kesempatan yang kita miliki sama. Seharusnya kita juga bisa menjadi negara pembuat aplikasi software yang terkenal di pasar asing,” ungkap putri satu-satunya dari empat bersaudara ini.

Untuk melahirkan tenaga ahli berkualitas yang mampu membuat aplikasi software berkualitas, menurut dia, pendidikan – baik formal maupun nonformal – berperan sangat besar. Dan, kurikulumnya tak bisa lagi mengacu pada teori saja. Apalagi di bidang teknologi yang begitu dinamis, pendidikannya pun harus dinamis mengikuti perkembangan yang ada. “Pendidikan yang mengacu pada kewirausahaan dan praktik langsung akan mempunyai keunggulan tersendiri,” ungkapnya. Dengan pendidikan yang mengarah ke dunia kewirausahaan, tambahnya, bukan saja berdampak pada peningkatan jumlah wirausaha, tetapi juga lapangan pekerjaan.

Obsesi itulah yang membawa langkah Mandy ke Purwadhika, bergabung dengan sang ayah, pada 2011. “Ini pilihan saya. Karena saya juga punya passion yang sama dengan ayah saya di bidang pendidikan teknologi informasi,” tutur dara pehobi bermain musik, menyanyi, serta melahap buku tentang teknologi dan pemasaran ini. Bersama sang ayah, ia lantas fokus melahirkan start-up TI melalui program pendidikan yang ditawarkan Purwadhika. “Saya mencoba sedemikian rupa agar memberikan pelajaran yang tidak hanya bicara soal teori, tetapi para siswa digembleng langsung untuk mengerjakan proyek riil dan memiliki real income bahkan sewaktu masih dalam proses belajar,” ungkapnya.

Melalui program IT Startup in Software Engineering with Microsoft Certification ini, ambisinya adalah melahirkan wirausaha aplikasi software dari Indonesia yang dapat dibanggakan dunia, seperti slogannya We Build IT Startup. Program ini memiliki durasi 10 bulan belajar, dua bulan ujian Microsoft Certification, dan 6 bulan berikutnya membentuk perusahaan start-up sendiri.

Menurut dia, respons masyarakat terhadap program satu tahun ini sangat positif. “Ternyata banyak yang memang berniat menjadi wirausaha TI. Kebanyakan dari mereka ingin membuat produk aplikasi baik mobile maupun web,” ujar Mandy yang menempati pos Direktur Pemasaran. Selain menggenjot program satu tahun untuk start-up, ia juga tengah menggeber kursus singkat satu hari untuk siswa SMP dan SMA dalam pembuatan aplikasi game. “Kami buka setiap akhir pekan dan ternyata peminatnya lumayan banyak.”

Saat ini Purwadhika IT Entrepreneur School telah memiliki 7 start-up dengan portofolio klien seperti CIMB Niaga, Puyo Dessert, Sour Sally, Tony Moly dan klien besar lainnya. Start-up ini masih fokus pada produk B2B. Menurutnya, omset start-up tersebut berkisar Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar. “Saya yakin, ke depan akan lebih banyak lagi start-up yang didirikan melalui Purwadhika IT Entrepreneur School,” katanya. Targetnya, setahun ke depan bisa melahirkan 10 start-up. “Produk start-up yang kami kerjakan adalah aplikasi mobile game, digital sales kit dan software untuk kebutuhan bisnis,” katanya.

Saya berencana membuat start-up incubation ini tidak hanya berpusat di satu lokasi,” ungkapnya. Saat ini kampus Purwadhika baru ada satu di Alam Sutera, Serpong. Mandy berencana segera membuka cabang, tidak hanya di Jakarta tetapi juga merambah luar kota. “Saya berharap start-up dari Purwadhika juga akan banyak melahirkan program aplikasi yang nantinya mendapatkan pendanaan dari investor,” ucapnya.

 

Henni T. Soelaeman

The post Mandy Madeline P. Hartono Menjadi “Ibu” Para Start-up appeared first on Majalah SWA Online.


Duet Rendy-Aditya Besarkan Conclave

$
0
0

Konsep kantor sekarang dengan 10-15 tahun lalu sudah berubah banyak. Dulu kantor hanya sebuah ruang kerja, yang dimiliki satu usaha tertentu, di satu tempat saja. Kini dengan kemajuan teknologi dan era 2.0, membuat orang bisa menggunakan laptop dan sambungan internet, lalu “berkantor” dimana saja. Bisa di kafe atau ruang kerja bersama. Mobilitas bekerja yang makin tinggi membuat orang membutuhkan tempat kerja yang nyaman, tertutama mereka yang memang tidak memiliki ruang kantor sendiri seperti freelancer, profesional, pebisnis start-up, copy writer, dan sebagainya. Co-working space adalah salah satu yang menjadi pilihan mereka untuk bisa menikmati kerja di tempat yang tentu saja suasananya nyaman dan harga sewa tempat yang lebih sesuai dengan kondisi mereka.

ki-ka: Rendy Latief, CEO Conclave; Aditya Hadiputra, CFO dan Bradhika Ayodya, Manajer Pemasaran

ki-ka: Rendy Latief, CEO Conclave; Aditya Hadiputra, CFO dan Bradhika Ayodya, Manajer Pemasaran

Co-working space kini sedang marak terutama di kota-kota besar. Beberapa yang sudah berdiri di Jakarta adalah Comma ID, WorkOut, Jakarta Digital Valley, Kejora, Biline Space, Tier Space, dan sebagainya. Dan masing-masing tentu menawarkan perbedaan sendiri-sendiri. Adalah Conclave, co-working space yang baru memperkenalkan diri meski perusahaan ini sudah berdiri sejak 2013.

“Kami membuka ini karena melihat kebutuhan tempat kerja yang nyaman dengan fasilitas yang menunjang makin tinggi saat ini. Apalagi saat ini harga sewa tempat dan lahan makin mahal,” ujar Rendy Latief, CEO Conclave yang juga salah satu pendirinya. Tidak banyak menurutnya tempat kerja yang memungkinkan orang bisa bekerja di sana 24 jam, beberapa ruang kantor di gedung-gedung, AC sudah dimatikan ketika sudah larut malam. Akhirnya sebagian dari mereka memilih bekerja di kafe, yang tentu saja suasananya tidak nyaman dan agak bising.

Rendy dan Aditya Hadiputra, pendiri lain yang juga Chief Finance Officer (CFO) Conclave—total ada 4 pendiri–melihat makin besar dibutuhkannya ruang kerja bersama yang nyaman dengan fasilitas mendukung yang juga bisa digunakan 24 jam dan tentu saja aman di era 2.0 ini. Mengambil lokasi pertama di Jalan Wijaya 1, Jakarta Selatan, Conclave menawarkan kenyamanan lebih yang tidak ditawarkan co-working space yang sudah ada selama ini.

Menurut Rendy, lebih banyak co-working space makin baik, karena menyediakan tempat bekerja yang lebih nyaman dapat menunjang berkembangnya ide-ide kreatif bisnis serta kolaborasi bisnis lebih subur. “Kami murni sebagai co-working space, bukan sebagai incubator atau CSR sebuah perusahaan. Di Conclave bisa jadi wadah bagi para start up business bekerja serta bertemu orang baru yang tentu bisa menumbuhkan ide bisnis baru,” jelas lulusan SBM ITB yang sebelumnya 5 tahun bekerja sebagai professional di berbagai perusahaan.

Ditambahkan Aditya, mungkin berbagai co-working space juga menyediakan fasilitas menunjang lain. Tapi yang menarik di Conclave orang bisa bekerja di sini 24 jam. “Di sini juga ada empat venture capital dari Singapura, Sillicon Valley, Jepang, dan Indonesia, yang menjadi klien kami dan menggunakan tempat ini, tentu saja ini menarik bagi para start up jika bisa dilirik mereka kalau bertemu di sini,” tutur Aditya. Conclave menurutnya membentuk ekosistem yang mendukung untuk bisnis start up, bukan saja menyediakan tempat bekerja saja.

Karena yang datang ke Conclave latar belakangnya berbeda, membuat mereka menemukan solusi-solusi dari bisnisnya dari mereka yang ne. Seperti bagaimana menghitung pajak bisa didapat mungkin dari start up lain yang sudah menggunakan, bagaimana strategi bisnis bisa dijalankan, sharing ide dan sebagainya. “Beberapa bisnis startup sudah rutin datang ke sini,” tutur Aditya. Salah satu contoh yang menarik disebut Rendy, Fabelio.com adalah bisnis startup yang terbentuk di Conclave karena personil-personilnya kerap ketemu di sini. Fabelio.com adalah bisnis startup yang fokusnya ecommerce furniture. Juga ada Idesabi.com, yang terbentuk karena sering saling bertemu di Conclave.

Rendy memperhatikan, lebih banyak co-working space yang ada saat ini menawarkan agar para bisnis startup harus menjadi bagian incubator mereka dulu sebelum menggunakan ruang kerja bersama mereka. Sedang di Conclave tidak, siapapun bisa bekerja di Conclave, bisnis startup apapun, apakah itu repacking makanan, F&B, jual beli kelontong, jual beli mobil, dan sebagainya.

Empat lantai gedung Conclave menawarkan berbagai fasilitas yang sangat menunjang bekerja dengan lebih menyenangkan. Antaranya ruang kerja bersama yang bisa menampung hingga lebih dari 100 orang, meeting room, presentation room, auditorium yang bisa menampung 125 orang, perpustakaan, entertainment room untuk relaksasi saat penat bekerja datang, smooking room, shower room bagi yang ingin mandi sebelum pulang ke rumah, kafe Mikoro (menyediakan mie, kopi dan rokok), juga workshop bagi yang membutuhkan ruang buat bekerja bebas (art, wood working, metal working dan sebagainya) serta tentunya Wifi yang kenceng (didukung 4 provider internet guna jaga-jaga jika salah satu internet down).

Rendy dan kawan-kawan menyebut sekitar Rp 5 miliar investasi yang dikeluarkan untuk membangun Conclave. Lahannya sendiri masih sewa selama 5 tahun dan akan diperpanjang untuk 10 tahun. Bagi yang ingin menggunakan ruang kerja di Conclave dikenakan biaya Rp 50 ribu/jam, Rp 200 ribu/24 jam, Rp 1 juta/minggu, Rp 20 juta/tahun. Dan beberapa skema rate sewa yang fleksibel dengan top up untuk memudahkan pelanggan yang menggunakan Conclave (www.cnclv.com). Hingga kini ada 50 member tetap Conclave. Serta masih banyak yang tidak rutin seperti mahasiswa, pekerja lepas, pekerja seni dan sebagainya yang datang harian. Beberapa yang sudah menjadi member tetap Conclave adalah JobForwardd, Local.co.id. Fabelio, Fenox Venture Capital, Monk’s Hill Ventures, dan sebagainya. Sejak Desember 2014 hingga kini ada 200 pengguna baru tiap bulannya.

“Kami akan membuka Conclave di September tahun ini di Seminyak, Bali, lahannya sudah ada,” imbuh Rendy. Lalu ke kota-kota lain seperti Surabaya dan Yogja, serta satu lagi di Jakarta. Setelah itu pergi ke Sumatera, Kalimantan Timur, juga akan membuka di Singapura. Dengan adanya Conclave di beberapa tempat, mereka yang memiliki kartu membership Conclave, bisa menggunakannya di lokasi berbeda.

Sayed Muhammad, pendiri statrt up Local.co.id, salah satu yang menjadi pengguna pertama dan hingga kini menjadi klien tetap Conclave, melihat co-working space seperti ini sangat dibutuhkan. Dulu ketika sebagai freelance, ia sangat sering mencari tempat semacam ini, sebuah co-working space yang bisa mempertemukan banyak orang yang tentu bisa memunculkan ide-ide bisnis baru, bukan saja tempat kerja biasa. Conclave menurutnya telah membuatnya menemukan orang-orang baru, bisnis baru dan project-project baru. Sayed kini memiliki 15 orang karyawan, yang focus bisnisnya mendukung produk dan merek lokal, terutama yang terkait bisnis kreatif untuk pemasarannya. “Saya bahkan membuat bisnis bareng dengan Sayed, karena ketemu dia disini,” tutup Rendy. (EVA)

The post Duet Rendy-Aditya Besarkan Conclave appeared first on Majalah SWA Online.

Agus Wibisono, Menjajal Peluang Asuransi Online

$
0
0
Agus Wibisono

Agus Wibisono Founder Asuransi88.Com

Bingung memilih perusahaan asuransi mana yang layak, terjangkau dan sesuai dengan kebutuhan? Atau ingin mengecek kondisi polis, informasi seputar klaim, konsultasi, dan tata cara pengajuan klaim? Tak perlu ribet, klik saja Asuransi88.com. Asuransi online ini menyediakan informasi secara lengkap seputar asuransi bagi nasabah atau calon nasabah, mulai dari jumlah premi, jenis layanan, hingga jaminan yang akan didapat dan tidak didapat dalam produk asuransi dari berbagai perusahaan asuransi di Indonesia. Melalui portal ini, pengguna bisa mendapatkan daftar produk asuransi dari yang termurah sampai yang termahal, meliputi asuransi kendaraan, asuransi rumah, asuransi perjalanan, asuransi jiwa, sampai asuransi kesehatan.

Berbekal keahlian di bidang teknologi informasi dan pengalaman berkarier di dunia asuransi selama lebih dari sedasawarsa, Agus Wibisono tergelitik membesut asuransi online. Menggandeng beberapa temannya yang juga mempunyai pengalaman di dunia asuransi, pada 2014 ia membesut Asuransi88. Asuransi online ini dia hadirkan dengan visi membantu nasabah dalam mencari produk asuransi yang tepat dari sekian banyak perusahaan penyedia produk asuransi. “Awalnya saya sendiri yang mengerjakan konsep dan desainnya, sedangkan sistem di belakangnya dibantu beberapa programmer,” ungkap lulusan sebuah universitas di Semarang ini.

Di mata pria kelahiran Kendal, Jawa Tengah, 14 Agustus 1975 ini, tak ada bisnis yang tidak bisa dikaitkan dengan teknologi. Agus mengembangkan bisnis asuransi online layaknya portal tiket pesawat atau hotel. Setelah mengembangkan sistem bisnisnya, ternyata beberapa perusahaan asuransi seperti Sinarmas, ACA dan SequisLife tertarik bermitra. Baru berjalan setahun, Asuransi88.com telah menggandeng l5 perusahaan asuransi. “Kami fokuskan pada asuransi yang umum saja seperti asuransi jiwa yang meliputi kesehatan, kecelakaan, pendidikan, asuransi jiwa unitlink, serta asuransi umum yaitu kendaraan, bangunan, perusahaan, dan perjalanan,” papar CEO Asuransi88 ini. Ke depan, ia menargetkan bisa menggandeng lebih banyak mitra dari perusahaan asuransi.

Portal Asuransi88.com, menurut dia, lebih tepat dikatakan sebagai gerbang nasabah yang ingin mencari informasi seputar produk asuransi. “Kami menanyakan beberapa pertanyaan kepada calon nasabah sehingga kami bisa mengetahui apa sih kebutuhan mereka. Dari situ, kami sudah menyiapkan algoritma yang disesuaikan. Misalnya, jika jawabannya A, kemungkinan produk B yang cocok, dan seterusnya,” paparnya.

Cara kerja Asuransi88 adalah menghimpun data dari para calon nasabah dengan beberapa pertanyaan. Setelah mengisi requirement tersebut, muncul sejumlah produk asuransi yang mungkin sesuai dengan kebutuhan calon nasabah, setelah itu muncul sejumlah produk dengan fitur yang tersedia. Misalnya, apabila calon nasabah memilih asuransi kesehatan, sesudah melalui proses input data, muncul produk asuransi kesehatan seperti AXA atau Sinarmas dengan fitur seperti ada santunan dukanya atau tidak, ada ICU-nya atau tidak, dan seterusnya. “Setelah itu apply secara online,” katanya.

Agus mengamati, selama ini masyarakat Indonesia umumnya menempuh proses yang terlalu lama untuk menentukan produk asuransi yang akan dibeli. Calon nasabah juga harus membandingkan satu produk dengan produk lainnya. Ia tak menampik beberapa perusahaan asuransi sudah membuka proses pendaftaran secara online, hanya saja prosedur lain masih menunggu. Selain lamanya proses registrasi, proses klaim untuk mendapatkan uang ganti rugi juga memerlukan waktu lama dengan tahapan yang rumit. Belum lagi, nasabah harus bolak-balik ke kantor perusahaan asuransi terkait untuk memberikan prosedur yang diminta dalam proses pengajuan klaim.

Dalam pandangannya, produk asuransi adalah intangible atau tidak nyata. Karena itu, masih perlu edukasi kepada masyarakat luas. Pasalnya, sejauh ini baru kalangan menengah-atas yang aware benefit asuransi, baik jiwa maupun kerugian. “Oportunitasnya, dari tahun ke tahun, kelas menengah-atas selalu tumbuh sehingga perlu diimbangi dengan tool yang memadai,” ujarnya. Terkait asuransi online, ia menilai masyarakat dewasa ini kian melek teknologi. “Masyarakat yang ingin mendapatkan informasi secara cepat, khususnya asuransi, dan bisa diakses dari berbagai tempat, juga menjadi oportunitas bisnis ini,” ungkapnya.

Yuono, mitra kerja Asuransi88 dari sebuah perusahaan asuransi, melihat potensi pertumbuhan pasar asuransi, baik jiwa maupun kerugian, makin besar dari tahun ke tahun. “Hal ini dipicu pertumbuhan tingkat pendidikan masyarakat dan pendapatan daerah yang dulunya sebatas masyarakat perkotaan. Potensi bisnis asuransi online juga besar seiring meningkatnya pengguna Internet. Itu sebuah kemudahan yang sangat bagus,” ujarnya. Kemudahan inilah yang membuat pihaknya tertarik bekerja sama dengan Asuransi88.

Diakui Yuono, pertumbuhan penjualan premi lewat saluran online belum signifikan, tetapi ke depan bakal memicu masyarakat aware terhadap asuransi. Namun, imbuh dia, untuk asuransi jiwa, tidak bisa sebatas pendekatan informasi secara online, melainkan perlu interaksi intensif antara seller dan calon nasabah. “Bagaimana cara mereka menjelaskannya, itu berpengaruh untuk mengarahkan pemahaman mereka tentang benefit asuransi jiwa. Jadi, online hanya sebagai pintu masuknya. Untuk follow up-nya, tetap lewat direct selling.”

Bagaimana model bisnis Asuransi88 sendiri? Agus menuturkan, pihaknya melakukan monetisasi dengan membangun sistem. Data dari setiap perusahaan asuransi, yakni berupa produk premi dari berbagai asuransi (seperti Allianz, Zurich, Prudential, Lippo Insurance, AXA dan Manulife) dikumpulkan, kemudian di-list berdasarkan harganya. Apabila premi terjual dari portal ini, Asuransi88 mendapatkan komisi dari perusahaan asuransi. “Jadi, tidak ada margin yang diambil,” kata Agus. Ia menegaskan, pihaknya sama sekali tidak melakukan upping rate dari setiap produk asuransi yang diambil dari perusahaan asuransi. “Kami memonetisasi itu berdasarkan komisi dari setiap transaksi atau referensi nasabah lewat portal Asuransi88.com,” imbuhnya.

Diakuinya, sampai saat ini frekuensi transaksi yang terjadi dalam sebulan masih dalam tahap pengembangan jumlah transaksi. “Targetnya sih dalam waktu dekat ini bisa mencapai 2.000 transaksi,” ujarnya. Sementara pertumbuhannya diharapkan bisa di atas 50% setiap tahun. Karena itu, untuk meningkatkan awareness Asuransi88, selain menggeber aktivitas melalui above the line, ia juga aktif menyasar beberapa saluran distribusi di jagat maya seperti Facebook, Twitter, Google SEO dan YouTube.

Tantangan Asuransi88 lebih pada belum terbiasanya masyarakat dengan fasilitas online. “Lebih tepatnya, sistem asuransi online itu sendiri,” kata Agus. Produk asuransi adalah intangible, sehingga perlu ada proses edukasi dari tim sales atau agen asuransi untuk tetap meyakinkan konsumen tentang benefit produk asuransi dan harga yang perlu dibayarkan. “Dari partner kami sendiri, mereka tidak mengoperasikan teknologi digital dalam hal seperti ePolis, jadi sebagian masih dilakukan secara manual,” tuturnya.

Terkait investasi, Agus enggan mengutarakan besarannya. “Yang pasti, awalnya saya masih menggunakan uang pribadi untuk itu. Namun sekarang dapat sokongan dari Global Entrepreunership Program Indonesia (GEPI),” ucapnya.

Sekadar info, GEPI didirikan pada Januari 2011 oleh 13 pemimpin bisnis terkemuka di Indonesia. GEPI merupakan bagian dari inisiatif global, yaitu Global Entrepreneurship Program yang dimulai oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan mantan Menlu AS Hillary Clinton. Sejak saat itu, program ini menjadi bagian inti Departemen Luar Negeri AS, dengan tujuan mengembangkan kewirausahaan sebagai pilar utama pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang.

Henni T. Soelaeman dan Fardil Khalidi

The post Agus Wibisono, Menjajal Peluang Asuransi Online appeared first on Majalah SWA Online.

Adplus, Berkongsi Agar Makin Berprestasi

$
0
0

Kerja keras Yazid Faizin dan Pandu Wirawan membesarkan PT Adplus Digital Solusindo, perusahaan Internet advertising berbasis web dan mobile, tak sia-sia. Maret lalu, 51% sahamnya diakuisisi Yello Mobile, perusahaan periklanan digital dari Korea Selatan. Ini menjadi pencapaian tersendiri bagi Adplus karena telah memikat perusahaan global.

Yazid Faizin, CEO Grup Adplus

Yazid Faizin, CEO Grup Adplus

Yello Mobile menggandeng Adplus karena tertarik masuk ke pasar digital Indonesia. “Setelah ketemu, kami merasa ada kemiripan visi, sehingga kami memutuskan bekerja sama,” ujar Yazid, CEO Grup Adplus, di kantor Adplus, Jl Kemang Timur 90, Jakarta.

Dengan kolaborasi ini, Adplus pun makin agresif. Seperti saat ini, Adplus sudah meluncurkan produk Wisebirds serta akan membawa teknologi dari Kor-Sel ke Indonesia dan ASEAN. “Teknologi yang akan kami bawa namanya Recobell, sebuah teknologi onsite recommendation, yang akan memberikan rekomendasi untuk bisnis e-commerce,” ujar lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila Jakarta itu.

Wisebirds merupakan salah satu brand Yello Mobile yang merupakan mitra pemasaran Facebook yang telah sukses menjalankan kampanye pemasaran digital di 150 negara. Melalui kerja sama strategis itu, Adplus mengincar segmen Games Apps, e-commerce, dan para pemilik merek. Bahkan, ke depan Adplus juga berencana menyasar pasar usaha kecil dan menengah (UKM) yang kini menjadi salah satu segmen yang sangat menjanjikan di negeri ini.

Saat ini Adplus memiliki empat unit bisnis utama. Pertama, Smart, platform re-marketing yang fokus pada iklan berbasis ROI, yaitu mencakup cost per click, cost per visit, cost per lead, dan cost per sale. Kedua, Hi-Impact, platform iklan yang dibuat untuk menciptakan engagement yang tinggi. Ketiga, Glitz Media, Adnetwork premium berbentuk media yang ditargetkan untuk segmen perempuan. Keempat, Adplus Social Advertising, yang fokus pada periklanan di media sosial. “Semua ini merupakan produk inovasi milik kami,” ungkap Yazid.

Sejatinya, sebelum memutuskan menjadi entrepreneur, Yazid pernah bekerja di Internet service provider, Indonet, selama dua tahun. Lalu, pindah ke Admax online advertising, sebagai manajer pengembangan media selama dua tahun. “Perusahaan inilah yang memberi saya ilmu tentang online advertising sebelum saya membuka Adplus,” katanya mengenang. Di Admax pulalah Yazid bertemu Pandu Wirawan – saat itu juga karyawan Admax- yang menjadi mitranya mendirikan Adplus hingga saat ini.

Yazid tertarik merintis bisnis sendiri di bidang periklanan online karena bisnis ini berkembang sangat pesat. Dengan berkembangnya media sosial dan ponsel pintar, orang semakin mudah menikmati media di Internet yang awalnya hanya bisa dinikmati lewat televisi, koran dan majalah. “Faktor-faktor itulah yang membuat kami memutuskan membangun Adplus,” ujar Yazid yang kini memiliki klien, antara lain, Kratingdaeng, Telkomsel, Indosat, Mizone, Aqua, Manulife dan Asuransi Axa Mandiri.

Menurut Yazid, Adplus membantu klien mengelola website-nya untuk mendapatkan revenue tambahan. Bisnis Adplus bisa dibilang mirip Google Adsense, idblognetwork, atau perusahan sejenis lainnya. “Bedanya dengan Google, kami hanya membantu lokal publishers, sedangkan Google bekerja sama dengan website internasional ,” ujarnya. “Target kami tahun ini menggarap klien para pemilik UKM,” tambahnya.

Dengan 106 karyawan, Yazid optimistis Adplus akan semakin berkembang. “Setiap tahun setidaknya tumbuh 30%-50%,” katanya berharap. Dia berobsesi menguasai pasar Indonesia di bidang periklanan digital. Setelah sukses di Indonesia, Adplus juga akan fokus membesut bisnisnya ke tingkat regional.(*)

Dede Suryadi dan Yazid Faizin

Riset: Gustyanita Pratiwi

The post Adplus, Berkongsi Agar Makin Berprestasi appeared first on Majalah SWA Online.

Bisnis Perangkat Gaming Sang Gamer

$
0
0

Ketangkasan dan hobi Rolly Edward memainkan aneka game komputer sejak belia rupanya terbawa ke dunia bisnis. Selulus kuliah dan bekerja di toko distributor alat elektronik, dia dengan sigap menangkap peluang bisnis notebook gaming atau laptop khusus game berharga kompetitif. Di bawah bendera PT Xenom Indonesia, pria 30 tahun ini membesut laptop gaming bermerek Xenom. Aneka varian laptop untuk memainkan game kelas berat pun dirilis dengan harga mencapai puluhan juta rupiah per unit.

Rolly Edward

Persentuhan Rolly dengan dunia bisnis sejatinya sudah sejak kuliah di Jurusan Teknologi Informasi STTI NIIT I-Tech, Cipete, Jakarta Selatan. Saat itu, ia bahkan sudah mendirikan perusahaan sendiri dengan nama PT Solid Computing. Bidang yang digarap mencakup pembuatan situs web, database, web server, programming, merakit dan reparasi komputer, hingga pengelolaan perawatan komputer perusahaan. Bahkan, Solid kala itu sudah memiliki 6 pelanggan korporat yang meminta perawatan berkala komputer mereka.

Namun, usai kuliah ia memilih menjadi karyawan di Pemmz, distributor sekaligus toko komputer dan notebook. Kebetulan, perusahaan itu juga menjual aneka komputer dan laptop gaming untuk memainkan beragam game kelas berat. Ternyata, belakangan Pemmz menjadi kampus kedua baginya. Rolly, yang kala itu menjabat Pengembangan Riset dan Teknis Pemmz, menemukan, para gamer yang kebanyakan anak muda sering kesulitan menemukan perangkat gaming yang sesuai dengan kocek mereka. “Di sini masih mahal, tidak terjangkau, padahal penggemar sangat potensial,” tuturnya kepada SWA di kantor merangkap showroom-nya, Ruko Cempaka Mas Blok I/5, Jl. Letjen Suprapto, Jak-Pus.

Sejak itu, ia memutuskan mendalami perangkat gaming khususnya laptop dengan lebih serius. Di sela waktu luang dan liburan, ia meriset langsung berbagai peralatan pendukung untuk mewujudkan visinya: menghadirkan laptop gaming mumpuni berharga ramah. Ia bahkan sampai pergi ke Taiwan untuk mencari berbagai vendor komponen laptop yang sesuai dengan kebutuhan dan bisa diandalkan.

Dia juga meriset berbagai merek laptop tenar yang menelurkan laptop gaming, seperti Dell yang membesut Alienware, Asus yang merilis Republic of Gamers, MSI dengan MSI Gaming, dan sebagainya. Di titik itu, Rolly menemukan satu insight berharga, laptop gaming juga diminati para pegiat industri kreatif seperti animator, desainer grafis dan fotografer yang memerlukan komputer jinjing berspesifikasi tinggi. Maka, ia pun melebarkan sasarannya. “Mesin untuk menjalankan video game itu paling berat, jadi bisa digunakan untuk pekerjaan lain yang tinggi kualifikasinya,” ujarnya.

Tahun 2009, Rolly mulai mencari jalan mewujudkan impiannya. Ia melobi sejumlah investor untuk diajak bekerja sama. Diakuinya, langkah itu tak mudah. Apalagi, sejak awal ia blak-blakan menyebut bisnisnya baru bisa menuai untung di tahun ketiga. “Saya ingin angel investor yang mau menanam modal sejak awal paham bahwa butuh banyak biaya, yang benar-benar percaya saya bisa memajukan bisnis ini selama tiga tahun, baru ada pembagian keuntungan,” ia menjelaskan. Setelah tiga tahun berjibaku dari satu lobi ke lobi lainnya, dia menemukan empat orang investor lokal yang bersedia mendukungnya.

Namun, sebagai uji coba awal, ia ditantang keempat investor itu untuk membuat sejumlah unit lebih dulu guna mengetes pasar. Lapak jualan tak jauh-jauh dicarinya. Ia mendekati Pemmz, kantor lamanya yang berlokasi di Jl. Tanjung Duren Raya, Jak-Bar, untuk memajang produknya. Ternyata berhasil, laptop yang awalnya diberi nama Xenom Style Note itu terjual hingga 10 unit per bulan.

Maka, pada 12 September 2013, laptop Xenom resmi diluncurkan dengan lima seri sekaligus, yaitu Pegasus, Siren, Shiva, Phoeni dan Hercules. Harganya mulai dari Rp 7 juta hingga Rp 20 juta lebih per unit. Salah satu keunikan laptop Xenom adalah penggunanya bisa mengganti komponennya seperti prosesor, VGA, hard disk dengan yang lebih canggih sesuai dengan kebutuhan dan kemajuan teknologi. Dengan begitu, Xenom menjadi laptop gaming lokal pertama yang dapat di-custom.

Seluruh form factor Xenom diproduksi di Taiwan, termasuk kerangka laptop, motherboard dan panel LCD. Di luar itu, memori, prosesor, front panel, hard disk, SSD, GPU, diperoleh dari para mitra distributor resmi di dalam negeri.

Untuk memasarkan produknya, Rolly memilih fokus di media sosial seperti Twitter, Facebook, YouTube, dan pemasaran digital. Salah satunya melalui YouTube dengan akun Xenom Kingdom. Di sana, ia kerap membuat video ulasan penggunaan laptopnya kala dipakai bermain game seperti Grand Theft Auto V, serta memuat update produk terbarunya.

Rolly juga bekerja sama dengan Intel Indonesia untuk berbagai kegiatan edukasi produknya, seperti pameran. “Kami bekerja sama dengan Intel sejak awal berdiri, dan Intel Indonesia berterima kasih juga pada kami, akhirnya ada mesin high-end di Indonesia yang bisa di-support mereka,” tuturnya bangga.

Selain itu, dia menggelar seminar dan pameran di berbagai kota di Indonesia seperti Malang, Surabaya dan Yogyakarta untuk mengenalkan produknya. Ia juga mempromosikan ketersediaan produk dan jaminan pascajual Xenom melalui dealer dan pusat pelayanan Xenom di 15 kota besar Indonesia seperti Bandung, Banjarmasin, Bekasi, Denpasar, Jakarta, Makassar, dan lainnya. Xenom dijual pula di beberapa lapak online seperti Bhinneka.com, BliBli.com, Paziashop.com dan Lazada.com.

Berkat kegigihannya, tahun lalu Xenom mampu terjual hingga 300 unit lebih. Adapun pertumbuhan penjualannya mencapai 25% per tahun. Ke depan, Rolly menargetkan pertumbuhan 30% lebih. “Saya ingin menjadikan Xenom merek kebanggaan Indonesia untuk laptop khusus ini,” ujar pengagum Steve Jobs itu.

Edhy Raharjo, General Manager Pemmz, menuturkan, pihaknya yakin Xenom akan terus berkembang. Pasalnya, Xenom dengan jelas menyasar ceruk pasar tertentu dengan kualitas produk yang bisa diandalkan. “Defect ratio-nya kecil dan dukungan pascajual tidak sebatas kerusakan hardware, tapi juga membantu setting yang optimal untuk kebutuhan main game. Selain itu kalibrasi displai untuk kalangan desain grafis dipenuhi. Dari sisi harga pun kompetitif dengan produk luar,” ungkap Edhy.

BOKS:

Nama: Rolly Edward
Lahir: Jakarta, 1985
Bisnis: Produsen laptop gaming PT Xenom Indonesia

Prestasi:
= Membesut laptop gaming customizable lokal pertama.
= Terjual hingga 300 unit lebih tahun 2014.
= Distribusi hingga 15 kota besar di Indonesia seperti Bandung, Banjarmasin, Bekasi, Denpasar, Jakarta, Makassar, dll.
= Xenom juga dijual di beberapa lapak
online seperti Bhinneka.com, BliBli.com, Paziashop.com dan Lazada.com.

Herning Banirestu dan Eddy Dwinanto Iskandar

Riset: Gustyanita Pratiwi

The post Bisnis Perangkat Gaming Sang Gamer appeared first on Majalah SWA Online.

Dua Sekawan Ciptakan Manikan

$
0
0

Pertumbuhan pasar fashion yang luar biasa di Indonesia rupanya juga menarik minat dua sekawan, Parinatra Candrarka Nugraha (Prika) dan Bagus Galih Hastosa (Galih) untuk mencoba peruntungan di dalamnya. Diam-diam dua pemuda asal Gianyar Bali ini tengah tancap gas mengorbitkan merek tas wanita, Manikan – dalam bahasa Bali, manik berarti permata. Tas besutan mereka cukup unik karena menggunakan jenis bahan kain tenun asli Bali yang populer dengan sebutan endek.

“Tenun ikat Bali biasanya hanya dipakai saat upacara keagamaan. Padahal motifnya sangat bagus dan unik. Dari situ, kami terpikir memaksimalkan potensi kain ini menjadi sesuatu yang bisa dipakai sehari-hari,” ujar Prika yang tamatan S-2 Jurusan MBA in Creative and Cultural Entrepreneurship Institut Teknologi Bandung. Mereka pun sepakat mengusung konsep modern etnik menggunakan tenun ikat dari desa mereka, Gianyar (Bali).

Parinatra Candrarka Nugraha &  Bagus Galih Hastosa

Manikan memulai debut tahun 2012. Awalnya Prika dan Galih justru meluncurkan tas sleeve laptop berbahan kain endek. Namun, tidak adanya standar ukuran laptop di pasar menyebabkan mereka kesulitan membuat tas yang ukurannya pas hingga sering menerima komplain. “Ukuran 10 inci merek A belum tentu sama dengan 10 inci merek B,” ungkap Galih. Akhirnya diputuskan mengakhiri produksi sleeve laptop dan beralih fokus memproduksi tas wanita.

Keduanya pun berbagi tugas. Prika bertanggung jawab pada aspek produksi, operasional dan keuangan. Sementara Galih fokus di bidang pemasaran dan pengembangan produk. Untuk memodali bisnis, di awal mereka patungan dari uang tabungan dan hadiah berbagai lomba kewirausahaan di Bali. “Seiring perkembangan usaha, kami juga meminjam dari bank,” tambah Galih yang masih lajang. Untuk produksi tas, mereka bekerja sama dengan beberapa perajin tas di Bandung, karena biaya produksi di Kota Kembang itu lebih murah dan bisa langsung dikontrol. Kebetulan, saat memulai usaha, Prika tengah kuliah di Bandung.

Menyasar pasar anak muda, pemasaran Manikan mengandalkan media sosial dan bekerja sama dengan fashion blogger. Selain itu juga aktif mengikuti acara promosi seperti di Indonesia Fashion Week, Local Fest, Gogirl Looks, Bandung Trademark & Lookats, dan Jogja Fashion Week. Untuk berjualan, Manikan menggandeng beberapa reseller online seperti Zalora, Localbrand.co.id, Berry Benka & 8wood, serta reseller partner di Malaysia dan Australia.

Sejauh ini perkembangan Manikan cukup mengesankan kedua pendirinya. Bila saat awal produksi hanya 20 tas per bulan, kini bisa 100150 tas per bulan. Harga tas Manikan yang bercorak modern etnik ini berkisar Rp 175-450 ribu. “Kami menargetkan anak muda, makanya kami buat harga yang terjangkau dan mudah perawatannya,” ungkap Prika. Hingga kini sudah lebih dari 400 model tas yang diproduksi. Mulai dari tote bag, clutch, sling bag, tas ransel, hingga dompet yang dikombinasikan dengan tenun ikat, kanvas dan kulit imitasi.

Kedua pemuda ini yakin potensi bisnis kreatif dengan label kain tradisional sangat besar. “Permintaan sangat tinggi. Produksi tas kami saat ini belum bisa memenuhi semua permintaan. Makanya, kami sering produksi ulang model yang populer,” ujar Galih seraya menyebut margin bisnisnya 40%.

 

Silawati dan Sudarmadi

The post Dua Sekawan Ciptakan Manikan appeared first on Majalah SWA Online.

Drama, Debut Bisnis Mantan Artis Cilik

$
0
0

Lewat acara press presentation pada 10 Juni lalu, kiprah Dena Rachman sebagai seorang wirausaha (entrepreneur) pun dimulai. Inilah babak baru seorang mantan artis cilik yang memilih jalur bisnis sebagai karier masa depannya. Mengusung merek Drama, akronim dari nama Dena Rachman, ia mengentak panggung fashion Tanah Air dengan koleksi sepatu unik yang memiliki struktur pyramid heels berwarna krom emas setinggi 11 cm. “Ini menjadi signature heels dari brand tersebut,” kata kelahiran 30 Agustus 1987 ini.

Dena Rachman

Dengan tajuk “3.0”, Drama meluncurkan koleksi perdana Spring/Summer 2015 dengan garis desain klasik tetapi ada sentuhan modern. Koleksi ini terdiri dari tiga bentuk pointy dan tiga bentuk round-toe dalam ragam pumps, mary jane, t-strap-ankle boots dan strappy sandals. Dengan bahan kulit asli, Drama mempersembahkan tampilan warna klasik seperti hitam, krem, cokelat, putih, merah marsala, dan emas. Dibanderol pada kisaran US$ 165-185, Dena ingin Drama memiliki branding yang kuat sebelum membuka toko. Rencananya, Drama akan dipamerkan juga dalam ajang Jakarta Fashion Week (JFW).

Saya melihat ada peluang di bisnis sepatu,” kata Dena perihal ketertarikannya terjun di bisnis sepatu. Menggandeng rekannya, Anggie Kinanti Akbar, ia pun memberanikan diri ikut meramaikan pasar sepatu lokal. “Saya dan Anggie sepakat membuat bisnis sepatu ini. Sejauh ini saya menjadi creative director, sedangkan rekan saya lebih ke sales, marketing dan finance. Untuk bagian produksi, kami merekrut secara outsource,” paparnya.

Dalam pandangannya, masih sedikit wirausaha di Indonesia yang membuat sepatu, khususnya yang memiliki hak tinggi (high heels). Pasar masih didominasi fashion di kategori pakaian dan aksesori. Karena itu, usai menyelesaikan pendidikan S-2 Administrasi Bisnis di University of Bologna, Italia, dengan konsentrasi pada fashion & luxury goods, ia mantap melangkahkan kaki sebagai wirausaha. Terlebih, ia mengaku penggila sepatu dan sempat bekerja untuk salah satu merek sepatu desainer Italia.

Sejak awal, Dena memang memiliki impian menjadi wirausaha. Saat mengambil kuliah S-1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, ia memilih Jurusan Komunikasi. “Saya sudah banyak belajar mengenai marketing communication,” ujar Dena yang sempat bekerja di sebuah agensi komunikasi pemasaran. Karena ingin fokus di bisnis, ia pun terbang ke Italia untuk mengambil program S-2. “Selesai kuliah bisnis, keinginan saya untuk membuka usaha semakin besar, apalagi saya sudah mendapat ilmu, pengalaman dan cukup modal. Akhirnya, saya memberanikan diri untuk langsung membuka bisnis produk sepatu,” katanya.

Ide untuk produk sepatu high heels dengan struktur piramida yang menjadi keunikan Drama sejatinya sudah muncul pada 2013. Menurutnya, dari ide itu tercetus hingga produk siap diluncurkan butuh waktu 1,5 tahun. “Selama itu saya trial and error, mencari dan melakukan tes seperti bentuk kaki, bentuk sepatu, branding, logo, dan pengaturan manajemen lainnya sampai Juni lalu Drama diluncurkan,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, Drama menggambarkan karakter perempuan yang cantik, seksi, elegan, tetapi berani. Selain itu, ia ingin setiap sepatu menggambarkan personal story pemakainya dan sesuai dengan karakter mereka. Karena itu, tidak cuma klasik dan feminin, tetapi juga punya karakter yang menarik. Sepatu ini memiliki keunikan pada bagian heels, yakni ada struktur piramida berwarna krom emas setinggi 11 cm. “Drama itu saya anggap bayi sehingga saya ingin benar-benar fokus mengurusnya,” katanya. Saat ini Drama ada di kategori produk sepatu wanita, khususnya heels, dengan menyasar target usia 15-40 tahun. Untuk jenis core, Drama menyasar usia 20-30 tahun.

Saat ini, Dena memilih memasarkan Drama melalui online di Zalora dan department store Galeries Lafayette untuk yang offline. Klien pertamanya adalah awak media. Setelah konferensi pers untuk session Spring/Summer ini, langsung ada beberapa dept. store yang ingin menjadi stockist. “Tetapi, saya masih belum menerima. Karena masih ada perbaikan di awal, selain karena memang Drama masih dibuat untuk eksklusivitas. Ada juga yang memberi masukan untuk membuat heels yang tidak terlalu tinggi untuk mereka, sehingga itu menjadi masukan untuk saya, agar session berikutnya bisa membuat heels yang ditujukan untuk perempuan yang sulit memakai heels 11 cm,” katanya menjelaskan.

Upaya penetrasi dan perluasan wilayah pemasaran masih sebatas memanfaatkan media sosial dan strategi getok tular. Dena tak ingin terlalu menggenjot penjualan sehingga produknya banyak tersebar di pasaran. Strategi yang dipilihnya adalah membuat produk limited edition. Sebut saja, Drama session Spring/Summer dikeluarkan dalam jumlah terbatas hanya 220 pasang. Adapun untuk session Fall/Winter pada Oktober mendatang akan diluncurkan kurang-lebih 400 pasang berbarengan dengan JFW. “Limited edition ini membuat pembeli penasaran seperti apa sepatu Drama yang akan dikeluarkan session kedua nanti,“ katanya. Ia menambahkan, untuk Drama session 1 Spring/Summer ia menggunakan kulit sapi asli. “Untuk session kedua saya ingin Drama menggunakan satin, leather printing, dll. Selain itu, dengan heels yang bisa customized,” imbuhnya.

Selama ini, tantangan yang menghadangnya lebih pada keterbatasan bahan-bahan yang dipakai. Di Indonesia, bahan sepatu yang baik tidak terlalu banyak. Tak pelak, ia harus order secara khusus ke luar, salah satunya ke China. Dengan modal puluhan juta rupiah, ia optimistis bisnisnya bisa bergulir. Targetnya, ingin membukukan penjualan mencapai 100% pada setiap session. “Karena itu, saya tidak membuat stok banyak. Saya juga terus melakukan brand awareness dan membangun image di konsumen bahwa sepatu yang comfort itu Drama,” imbuhnya. Sayang, Dena enggan membagi soal omset yang berhasil dihimpunnya sampai saat ini. “Session perdana penjualan belum ditutup, sehingga belum terekap benar datanya,” demikian dalihnya.

Dalam pandangan Dr. Wasiaturrahma Gafmi, pengamat bisnis dari Universitas Airlangga, Surabaya, bisnis sepatu saat ini justru persaingannya sangat ketat. Berbagai merek dan model sesuai dengan tren makin banyak. “Peluang yang harus dilihat adalah sesuai dengan pangsa pasarnya. Buatlah sesuai dengan kelasnya. Kalau memang mau menangkap pasar menengah- atas, tentunya produk yang dihasilkan harus berkualitas, nyaman dipakai dan harga disesuaikan dengan bahan bakunya,” ungkapnya.

Wasiaturrahma melihat strategi bisnis yang dijalankan Dena dengan membuat limited edition cukup bagus meski mengandung risiko. “Kemungkinan bisa cepat laku, dan juga bisa sebaliknya tidak ada peminat,” katanya. Menurutnya, yang paling bagus adalah membuat strategi yang berbeda dari produk dan merek lain. “Harus melihat peluang pasar yang ada. Buatlah sepatu yang nyaman dipakai dari semua model sepanjang waktu. Misalnya untuk ke kantor, pesta dan kasual yang tidak menyiksa kaki,” demikian sarannya.(*)

Henni T. Soelaeman dan Tiffany Diahnisa

The post Drama, Debut Bisnis Mantan Artis Cilik appeared first on Majalah SWA Online.

Menangguk Untung dari Aksesori Gawai

$
0
0

Jeli melihat peluang pasar dan menentukan positioning bisnis. Itulah yang tampaknya membuat bisnis Stephanie Astri Suryani berkembang pesat. Banyak orang mungkin melihat bisnis ritel aksesori gawai (gadget) sudah begitu menjamur. Namun bagi Astri, tidak demikian. “Kebanyakan outlet aksesori handphone hanya jual fungsi. Belum ada yang menekankan pada brand dan kualitas. Padahal, ada lho orang-orang yang berani bayar lebih mahal demi aksesori handphone berkualitas,” ujar Astri menegaskan. Hal itulah yang melecutnya mendirikan Urban Life pada Juli 2012, bersama dua mitra bisnisnya.

Stephanie Astri Suryani

Perempuan kelahiran Jakarta 22 September 1988 ini mendirikan Urban Life – di bawah naungan PT Urban Retail International — sebagai toko yang lebih mengedepankan beragam aksesori gaya hidup, seperti gawai, audio, dan aksesori travel. Diam-diam Astri sudah punya 12 toko yang umumnya berada di mal prestisius seperti Mal Summarecon Serpong, Mal Lippo Kemang, Mal Puri Indah, Kota Kasablanka, Mal Summarecon Bekasi, Grand Indonesia, Lotte Shopping Avenue, Pacific Place, dan Mal AEON BSD. “Banyak item yang kami jual. Mulai dari aksesori HP seperti casing, power bank, dan kabel charging, hingga audio seperti headphone, headset, dan multimedia speakers. Kami juga ada produk-produk travel seperti tas laptop, kaca mata, jam tangan, dan dompet,” papar Astri.

Dari sisi diferensiasi, tampaknya Urban Life memang mengambil positioning sebagai gerai yang lebih premium. “Kami menjual kenyamanan dan experience pelanggan,” kata Astri. Pihaknya hanya menyediakan produk branded berkualitas dan berstandar internasional. “Brand-brand yang dijual di Urban Life biasanya sudah dikenal oleh pencinta teknologi. Itu merek yang sudah biasa mendapatkan international design award, seperti Reddot Design Award,” tambahnya.

Gerainya menarget anak muda pencinta gawai dan teknologi yang menyukai produk-produk gaya hidup. “Kami, misalnya, menjual jam Daniel Wellington (DW) dan dompet Bellroy, dua merek yang saat sedang dicari oleh anak muda,” ujar Astri seraya menjelaskan daftar merek yang ia jual, yaitu Bose, JBL, Jays, LifeProof, Ozaki, Moshi, Aprolink, Ozaki, Capdase, Marshall, Beats, Urban Ears, Jay bird, Plantronics, hingga B&O. Harga produk Urban Life sangat beragam, dari item kecil seperti screen guard yang hanya Rp 99.000 hingga speaker yang berlabel puluhan juta rupiah.

Maikhal termasuk pelanggan Urban Life. “Saya beli case iPhone, iPad, earphone dan dompet di sana,” katanya. Menurut Maikhal, pelayanan di Urban Life cukup memuaskan. “Barang- barang di store mereka mostly beda antara store satu dan store yang lain,” katanya.

Sejauh ini Astri tidak agresif dalam berpromosi. “Kami lebih banyak berkomunikasi melalui social media atau newsletter. Bagi para member, kami memberikan info melalui newsletter jika ada produk-produk baru dan promo,” katanya. Pihaknya menggaet ikon muda sebagai endorser, seperti Nadine Chandrawinata. Selain itu, juga mengembangkan pola keanggotaan — saat ini sudah memiliki 5.000-an anggota. Konsumen yang bertransaksi minimal Rp 500.000 sudah bisa menjadi anggota.

Melihat perkembangannya sekarang, Astri cukup gembira karena sambutan pasar sesuai dengan ekspektasinya. Dari ke-12 tokonya, bila digabungkan, per bulan minimal bisa meraih omset Rp 3 miliar. Karyawannya pun kini bertambah banyak, sudah mencapai 80-an orang (50 di lapangan dan 30 di kantor). Tahun ini Astri berencana membuka 3-5 toko lagi di Jakarta. “Ke depannya kami ingin ekspansi ke Medan, Semarang, Surabaya dan Yogyakarta karena di luar Jakarta saat ini baru ada di Bali,” ungkapnya optimistis.(*)

Sudarmadi & Maria Hudaibyah Azzahra


The post Menangguk Untung dari Aksesori Gawai appeared first on Majalah SWA Online.


Kiat Anggit Membesut JakPat

$
0
0

Umumnya, pelaksanaan survei, jajak pendapat atau riset pasar sangat menyita waktu dan menyedot biaya operasional. Komponen biaya survei konvensional, di antaranya honor petugas survei agar bisa menyambangi responden satu per satu atau membayar honor bagi penyedia jasa surveinya. Itu pun hasil survei tidak bisa cepat lantaran harus diolah lebih dulu dengan cara manual. Bagi perusahaan yang menuntut kecepatan dan akurasi survei, bisa jadi cara ini tidak efektif dan efisien. Apalagi saat ini eranya digital, semuanya harus serba cepat dan tepat.

Maria Regina Anggit Tut Pinilih

Maria Regina Anggit Tut Pinilih, CEO Gongsin International Transindo

Aplikasi JakPat (Jajak Pendapat) memberikan pilihan sebagai jalan keluar bagi perusahaan yang ingin mendapatkan hasil survei dengan cepat, akurat, dan biayanya 10 kali lebih murah dibanding survei konvensional. JakPat adalah aplikasi yang dikembangkan PT Gongsin International Transindo (GIT), perusahaan startup digital dari Yogyakarta. “JakPat adalah platform untuk melakukan survei di mobile phone yang langsung menghubungkan klien dengan responden,” kata Maria Regina Anggit Tut Pinilih, CEO GIT.

Anggit, demikian sapaannya, mengamati kesuksesan survei dan riset pemasaran online berbasis telepon pintar di negara maju. Karena itu, dia mengembangkan JakPat untuk merespons pertumbuhan pengguna smartphone dan potensi bisnis survei mobile di Indonesia. Anggit menginisiasi pengembangan aplikasi JakPat sejak Maret 2014. Dia menggelontorkan modal hingga Rp 100 juta rupiah. Dua bulan kemudian, perusahaannya merilis JakPat berbasis Android, tepatnya pada 20 Juni 2014. Sebulan setelah itu, aplikasi untuk IOS (Apple Store) dilansir ke pasar.

Lajang kelahiran 22 Agustus 1986 ini, menempuh berbagai tahapan uji coba demi meraih kepercayaan konsumen atau responden. Sejak pertengahan tahun lalu, ia sudah mengumpulkan responden sembari mengembangkan fungsi dashboard (tampilan visual) untuk kliennya, kemudian aplikasi ini diluncurkan pada November 2014. Lalu, Anggit memberikan layanan cuma-cuma untuk menjaring minat konsumen. “Awalnya, kami cukup kesulitan meyakinkan klien. Tetapi kami bisa membuktikan nilai yang diperoleh klien setelah membuat survei melalui JakPat,” ia menuturkan.

Menurut Anggit, nilai tambah yang diberikan JakPat adalah kecepatan survei dan akurasi dibanding metode tradisional. “Rekor tercepat kami, survei untuk 5 ribu responden bisa diselesaikan dalam empat jam,” alumni Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada ini menjelaskan. JakPat mengklaim rata-rata bisa menjaring 100 responden dalam 10 menit dari jumlah total sebanyak seribu responden. Jika dihitung-hitung, survei untuk seribu responden itu akan selesai dalam tiga jam.

Metode survei online ala JakPat ini sesuai dengan standar survei. Ketika klien melakukan survei, JakPat menyediakan responden dari gudang datanya. “Setiap individu bisa mendaftar sebagai responden untuk survei dan mendapatkan poin yang bisa ditukar reward,” ia menambahkan. Inilah apresiasi JakPat kepada responden dengan menyediakan berbagai hadiah, seperti uang tunai, pulsa telepon, voucer belanja dan hadiah lainnya. Responden akan beroleh poin tambahan apabila rajin memverifikasi datanya atau mengajak temannya sebagai responden. Jenis hadiahnya bergantung pada bobot poin responden. Sejauh ini, Anggit berhasil menjaring 53 ribu responden yang tersebar di 300 kota. Sebanyak 70% dari jumlah total respondennya itu berdomisili di Pulau Jawa. Mayoritas responden berusia 17-35 tahun, sisanya berumur 36-59 tahun.

Tiap responden wajib mengunduh JakPat yang tersedia gratis di Google Play atau App Store. Berikutnya, responden harus mencantumkan biodatanya sebelum mengisi survei. Anggit rutin memantau dan mengecek ulang sistem pendaftaran responden, verifikasi identitas responden, target responden, validasi jawaban hingga sistem penampilan data real time demi menjamin validitas responden. Itulah yang menjadi salah satu kunci sukses Anggit mendulang kepercayaan dari para pelanggannya.

JakPat pun mendapatkan sambutan positif dari korporasi. “Klien pertama JakPat di Januari 2015 yang membayar jasa pengumpulan data,” ujar Anggit. Klien JakPat, menurutnya, bermacam-macam, yakni perusahaan yang berbisnis di sektor consumer goods, ritel, agensi periklanan dan pemasaran, konsultan, perusahaan startup dan perusahaan modal ventura. Perusahaan itu, antara lain, Nutrifood, Garuda Food, Accenture, McKinsey&Company, JKT 48, Dentsu, Iris Worldwide, Mirum Agency, dan Indomaret. “Kini, klien JakPat sekitar 50 perusahaan,” katanya.

Salah satu klien yang sudah merasa puas atas survei online ala JakPat ini adalah PT Nego Hotel International. Budi Patiran, CEO Nego Hotel International, mengatakan, pihaknya menggunakan aplikasi JakPat berdasarkan rekomendasi kolega bisnisnya dua bulan lalu. Budi menelusuri kompetensi dan rekam jejak JakPat dari berbagai sumber sebelum menghelat surveinya. “Kami telah menyelesaikan dua kali survei dengan JakPat. Persiapan survei sehari saja, dan kami meraih apa yang kami inginkan, bahkan hasilnya lebih dari target,” tutur Budi.

Setiap klien ditangani apik oleh Anggit. Dia memberikan kemudahan kepada kliennya untuk membuat kuesioner, infografis atau simple analyzed XLS report. Klien yang ingin membuat survei bisa mengakses jakpat.net/signup. “Klien tinggal create survei,” Anggit menandaskan. Pada proses ini, staf pemasaran JakPat akan membantu klien hingga surveinya rampung. Budi bercerita, saat membuat survei, Anggit dan Account Manager JakPat bekerja keras membantu surveinya. “Saya tidak menyangka diberi harga diskon,” kata Budi. Adapun tarif layanan survei JakPat bergantung pada jumlah pertanyaan dan responden yang dibidik pelanggannya. Tarifnya berkisar Rp 5-15 ribu per responden.

Vicky Rachman & Raden Dibi Irnawan

Riset: Hana Bilqisthi

The post Kiat Anggit Membesut JakPat appeared first on Majalah SWA Online.

Resep Ghalib Kembangkan Solite Studio dari Madura

$
0
0

Sebelum tahun 2013, mungkin tidak akan ada yang menyangka bahwa Pulau Madura memiliki sejumlah anak muda kreatif yang mampu membuat permainan digital. Namun, sejak tim Solite Studio berhasil memenangi ajang kompetisi internasional, nampaknya pandangan tersebut mulai luntur.

Asadullohil Ghalib Kubat

Asadullohil Ghalib Kubat (kiri)

Ya, tim Solite Studio merupakan sebuah tim yang telah berhasil membanggakan Indonesia. Kumpulan empat anak muda dari Universitas Trunojoyo itu berhasil menyabet juara dua di kompetisi Microsoft Imagine yang diadakan di Rusia dua tahun silam.

Lewat permainan edukasi matematika bernama Save the Hamster, Solite Studio sukses membawa pulang hadiah sebesar US$ 10 ribu. Para anak muda asli Madura itu berhasil menyingkirkan 87 pelajar dari 71 negara lainnya.

Nama Asadullohil Ghalib Kubat, atau yang akrab dipanggil Ghalib, jadi suksesor utama di tim tersebut. Sebagai ketua tim, pria berusia 24 tahun itu dibantu oleh tiga temannya, Miftah Alfian Syah, Tony Wijaya, dan Muhammad Bagus Muslim.

Meski awalnya hanya sekumpulan tim pemenang lomba, sekarang Solite Studio berubah. Nama Solite Studio kini telah menjelma jadi perusahaan startup teknologi informasi pertama di pulau penghasil garam tersebut. “Kami mendirikan perusahaan ini dari hasil hadiah di ajang kompetisi di Microsoft,” Ghalib menjelaskan.

Dipilihnya lokasi Madura lantaran biaya sewa perkantoran yang lebih murah dibanding kota besar. Ia juga menceritakan, Solite tak terkendala akses pasar meski jauh dari kota besar. “Asal sudah terkoneksi Internet, semua bisa jadi mudah,” ujarnya.


Walau belum besar layaknya perusahaan sejenis, seperti Agate Studio ataupun Toge Production, eksistensi Solite Studio tidak bisa dipandang sebelah mata. Perusahaan ini terbukti mampu melakukan monetisasi bisnisnya dengan apik, meski hanya dengan 6 karyawan.

Tercatat hanya butuh 1,5 tahun sejak berdiri Oktober 2013 hingga Desember 2014, Solite Studio mampu balik modal dan mencatatkan omset hingga Rp 500 juta. Perusahaan ini juga telah menelurkan lima produk permainan lain, selain Save The Hamster yang kini telah diunduh 1 juta kali di perangkat Windows phone.

Secara umum, Ghalib menambahkan, pendapatan Solite Studio terbagi menjadi dua sumber. Pertama, berasal dari game berbayar. Dan, kedua, bersumber dari permainan yang sengaja didesain khusus untuk keperluan kerja sama dengan mitra strategis. Dalam waktu dekat misalnya, Solite hendak meluncurkan game edukasi bernama Buku Interaktif, hasil kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelumnya, Solite juga pernah berkerja sama dengan beberapa perusahaan seperti Speedup dan Intel Indonesia. “Rencananya kami juga ingin merambah kerja sama dengan industri perbankan,” ujarnya.

Ghalib mengungkapkan, pencapaian Solite Studio tak terlepas dari cara perusahaan melakukan pemasaran produknya. Hingga saat ini Solite aktif memberikan berbagai program menarik di laman penggemarnya, seperti pemberian voucer. “Setiap minggu kami melakukan pemberian voucer Rp 4 juta dari Intel,” ia menambahkan.

Ia tak segan pula menggaji karyawan dengan harga yang pantas agar tidak terjadi turnover. Harapannya, tim yang ada saat ini bisa bekerja semakin solid tanpa harus selalu beradaptasi dengan pergantian orang-orang baru. “Gaji mereka sama seperti di kota-kota besar, kisarannya Rp 3 sampai Rp 5 juta,” ujarnya.

Ke depan, berbagai rencana telah disiapkan Ghalib. Tak hanya ingin membuat inovasi dalam produksi permainan baru, Solite Studio berencana pula merambah dunia properti intelektual lewat pembuatan karakter yang unik dan menarik. “Kami ingin terus berinovasi dan memberikan sesuatu yang dapat digunakan untuk orang lain,” ungkap Ghalib.

Ia berujar, pengetahuan dirinya tentang kepemimpinan ia pelajari secara otodidak. Lahir dari keluarga yang terbilang pas-pasan telah mengajarkan dirinya untuk lebih solutif dalam menghadapi berbagai tantangan. Di jenjang perkuliahan misalnya, ia telah bisa membiayai biaya perkuliahannya sendiri. Ia aktif mengajar sebagai asisten dosen di hampir semua mata kuliah di Universitas Trunojoyo, dan aktif membuka les privat pemrograman untuk kalangan mahasiswa dan siswa SMK.

Pengamat teknologi informasi Heru Sutadi mengapresiasi langkah Solite Studio untuk mengepakkan bisnis dari Madura, tanah kelahiran Ghalib. Walau begitu, ia menyarankan agar Ghalib tidak alergi melakukan penetrasi di kota besar dengan pembukaan cabang. “Sebab pusat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi banyak di Jakarta,” Heru menegaskan.

Ia pun menggarisbawahi pentingnya pembagian peran dan kewajiban yang jelas antara para pendiri. Banyak kasus perusahaan startup yang justru mati karena situasi yang tidak kondusif antara pendirinya. “Ini perlu diikat dalam perjanjian, termasuk hak dan kewajiban masing-masing,” ujarnya.

Ananda Putri & Syukron Ali

Riset: Hana Bilqisthi

BOKS:

Nama: Asadullohil Ghalib Kubat

Tempat/tangal lahir: Bangkalan, 22 Februari 1991

Jabatan: CEO Solite Studio

Penghargaan:

= Mobile Game Dev War 4 2012 – Rookie Games of the

Year

= Mobile Game Dev War 4 2012 – Best Education

Games

= Mobile Game Dev War 4 Fulltouch – Best Education

Games

= Lumia Apps Olympiad 2012 – Gold Medal

= Imagine Cup 2013 Indonesia – 1st Winner Games

Competition

= Imagine Cup 2013 Indonesia – Indonesian National

Winner

= International Imagine Cup 2013 Russia – 1st Runner

Up

= APICTA Award 2013 Hong Kong – Finalist

Portofolio Produk Permainan

1. Save The Hamster

2. Count The Bunnies

3. Cody’s App Academy

4. Milky Baby

5. Original

6. Underground

The post Resep Ghalib Kembangkan Solite Studio dari Madura appeared first on Majalah SWA Online.

Boncengan Motor Ala Novi

$
0
0

Bagi Novi Riyan Sari, peluang bisnis bisa datang dari mana saja. Bahkan, dari kebutuhan pribadi pun bisa menggelinding menjadi bisnis yang menjanjikan. Awalnya, Novi, begitu panggilan akrab perempuan berusia 30 tahun ini, menciptakan boncengan motor untuk kebutuhan dirinya yang setiap hari mengantar dan menjemput buah hatinya ke sekolah dengan sepeda motor. Boncengan belakang yang ia buat sendiri itu tidak cuma aman tetapi juga nyaman, sehingga saat perjalanan pulang sekolah atau berkendara cukup jauh, anaknya bisa terlelap dengan aman di belakang. Pasalnya, Novi membuat boncengan motor yang dilengkapi dengan sabuk pengaman, sandaran punggung dan pembatas kiri-kanan yang tinggi agar bisa menopang badan dan kepala anak, serta dibungkus dengan busa tebal berlapis bahan semikulit.

Novi Riyan Sari

Novi Riyan Sari, pemilik bisnis boncengan motor berlabel Safety Boncengan Motor

Tak dinyana, hasil kreasinya itu memincut teman-temannya sesama kaum ibu yang juga mengantar jemput anaknya. Novi, yang sejak lulus kuliah tertarik menekuni bisnis, tergerak pula untuk serius menekuni bisnis pembuatan boncengan motor. Ia melihat pasar terbuka lebar di depannya. Menurutnya, produk boncengan motor amat dibutuhkan para orang tua, khususnya ibu yang kerap melakukan mobilitas dengan putra-putri balitanya menggunakan sepeda motor. Memang, tidak aman juga memboncengkan seorang balita sendirian yang lantas mengantuk di tengah jalan. “Sayangnya, penyedia alat bantu yang aman seperti ini masih jarang di pasaran. Rata-rata orang tua masih mengalami kesulitan mencari alat bantu bonceng anak yang aman dan tidak merepotkan,” ungkap Novi menjelaskan ketertarikannya merintis bisnis boncengan motor.

Sejak 2013, sarjana ekonomi lulusan Universitas Negeri Yogyakarta ini pun serius menekuni bisnis boncengan motor yang diberi label Safety. Bahkan, agar kreasinya tidak dicuri orang, ia langsung mendaftarkan hak paten Safety Boncengan Motor ke Dinas HAKI. Dengan modal Rp 5 juta yang diambil dari tabungan pribadinya, Novi optimistis produk boncengan motor yang menyasar target pasar para orang tua yang memiliki anak usia di bawah 10 tahun itu bisa diterima pasar. “Orang tua yang dimaksud adalah orang tua yang tidak memiliki kendaraan roda empat, para bunda yang belum bisa mengendarai mobil, dan orang tua yang tidak ingin terjebak macet di jalanan,” paparnya.

Menyadari tak memiliki keahlian di bidang desain industri, pengelasan dan pembuatan jok, Novi pun menggandeng dua mitra kerja. “Mereka full bekerja untuk bagian produksi. Seorang partner memproduksi rangka boncengan dan partner lainnya yang memasang joknya,” katanya. Ada dua jenis boncengan motor yang ia tawarkan: dipasang di belakang dan dipasang di depan. Bentuknya berupa kursi yang bisa dibongkar pasang dan mudah cara pasangnya. Relatif lebih aman dipakai karena terdapat sandaran punggung dan sampingan kanan-kiri yang berfungsi sebagai penopang badan dan kepala anak ketika mereka tertidur. Selain itu, terdapat sabuk pengaman yang juga berfungsi sebagai penopang badan anak. Cara pasangnya pun mudah dan tidak merusak bodi motor, karena desainnya menyesuaikan dengan jenis motor pemakai. “Tidak repot ketika isi bensin, tinggal angkat jok. Tidak repot juga ketika ingin berboncengan dengan dua orang dewasa, tinggal melepas sampingan kanan-kirinya,” ia menjelaskan.

Untuk memasarkan produk Safety Boncengan Motor, Novi menjalankan strategi pemasaran dengan dua sistem: online dan offline. Sistem online untuk menjangkau pasar yang lebih luas melalui situs web www.boncenganmotor.com dan www.jualboncenganmotor.wordpress.com, serta melalui media sosial seperti Facebook, Line, WhatsApp dan BlackBerry Messenger. Juga melalui penyedia situs lapak online Tokopedia dan Bukalapak. Adapun pemasaran offline, untuk menjangkau pasar lokal khususnya, melalui sebar brosur di sekolah TK yang ada di wilayah Yogyakarta. “Juga penawaran kerja sama reseller bagi mereka yang ingin menjualkan produk kami ke pasar untuk pemasaran yang lebih luas ke seluruh Indonesia,” ungkapnya.

Saat mendapat pesanan pertama dari luar kota, Novi sangat surprised. “Langsung disurvei oleh ayah pemesan. Beliau hanya bisa melihat contoh produknya di motor yang sedang saya pasangi boncengan tersebut. Saat itu saya belum membuka toko offline, jadi pesanan saya buat by order,” katanya.

Maria Ulfa (33 tahun), ibu rumah tangga yang merupakan salah satu konsumen setia Safety Boncengan Motor, mengaku sudah membeli tiga kali boncengan motor Safety. Ibu dua anak ini melihat dari Internet. “Boncengan motor ini bisa memberikan kenyamanan bagi anak-anak yang dibonceng oleh orang tuanya saat berpergian dalam jarak dekat ataupun jauh,” kata Maria yang setiap ganti motor dipastikan membeli boncengan motor. “Boncengan motornya disesuaikan dengan jenis motor,” imbuhnya.

Novi juga terus berinovasi untuk menghasilkan produk baru atau tambahan modifikasi untuk fungsi tambahan dari fungsi utama. “Supaya penjualan tidak stagnan,” katanya. Inovasi tak hanya menyentuh sisi produk, tetapi juga pelayanan penjualan dengan jaminan garansi yang dapat meningkatkan kepercayaan pasar terhadap produk dan toko.

Setelah cukup mapan dengan produk boncengan belakang, belum lama ini Novi melakukan inovasi dengan cara memodifikasi model utama, yaitu dengan menambah breket pada bagian belakang sandaran punggung. Dengan adanya breket tambahan, bertambah pula fungsinya, yakni breket bisa dipakai sebagai tempat untuk memasang boks motor. Selain itu, ia berinovasi pula dengan membuat penutup dada yang bisa dipasang di seatbelt boncengan belakang. “Kami juga berinovasi dengan menambah jenis produk baru, yaitu boncengan depan yang baru jalan 6 bulan ini,” paparnya.

Dengan menjalankan prinsip saling berbagi rezeki dan kepercayaan, penjualan berkisar 100-150 unit per bulan. Dibanderol Rp 410-425 ribu untuk boncengan belakang dan Rp 250-300 ribu boncengan depan, omsetnya diperkirakan Rp 40-60 juta per bulan. Dengan jumlah karyawan lima orang ditambah tiga tim produksi, ia menargetkan ke depan memiliki pabrik produksi dengan mesin yang lebih canggih dan peningkatan penjualan dengan membuka keagenan di seluruh wilayah Indonesia. “Untuk memperluas wilayah pemasaran, kami melakukan strategi dengan penawaran program reseller dan dropship bagi mereka yang tertarik memasarkan produk kami,” tuturnya.

Jumlah produksi yang masih terbatas menjadi kendala yang dihadapinya selama ini. Padahal, permintaannya cukup besar. “Juga ketidakseragaman ukuran produk yang dihasilkan menjadi kendala karena masih skala rumahan,” katanya. Karena itu, imbuh dia, target untuk memiliki pabrik bukanlah target yang muluk.

Toh, kendala itu tak membuat Novi patah semangat. Jatuh bangun dalam berbisnis sudah dilakoninya sebelum memutuskan menekuni bisnis boncengan motor. Kiprahnya sebagai wirausaha diawali dengan mengelola usaha sang ibu sembari menjalankan bisnis MLM. Tahun 2010, ia ikut sang suami yang dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya ke Negeri Sakura. Menemani suaminya yang mengambil studi master, ia melihat peluang memasarkan hijab. “Ketika itu saya agak kesulitan mendapatkan hijab, padahal jumlah Muslim di Jepang cukup banyak,” katanya.

Berbekal modal yang tidak seberapa, Novi membeli lusinan jilbab dari Indonesia yang kemudian dijualnya secara online di sebuah domain situs web dengan alamat www.HijabJapan.com. Setahun di Jepang, kembali ke Tanah Air, ia kembali mengelola usaha ibunya. Pada saat bersamaan, ia mulai merintis usaha bersama suaminya, mulai dari waralaba makanan sampai usaha online. Sampai pada 2013, ia mencetuskan ide membuat produk alat bantu boncengan anak di motor berkat pengalaman repotnya memboncengkan anak balitanya di motor.

Bagi Maria Ulfa, ide bisnis boncengan motor yang digulirkan Novi sangat menarik. Hanya saja, ke depan, ia menyarankan supaya terus berinovasi dan mengembangkan produknya lebih luas. “Awal saya membeli sandaran untuk anak itu tidak terlalu tinggi, sehingga untuk anak yang badannya lebih besar jadi kurang nyaman. Terakhir saya beli, sandarannya sudah tinggi sehingga bisa untuk anak saya yang besar juga. Jadi, kalau bisa disesuaikan dengan kondisi anaknya, saat ini kan banyak anak-anak yang gendut,” saran Maria.

Henni T. Soelaeman dan Sri Niken Handayani

The post Boncengan Motor Ala Novi appeared first on Majalah SWA Online.

Sale Stock Tekad Mendobrak Status Quo Bisnis Fashion

$
0
0
Ariza Novianti & Lingga Madu

Buy one get one free. Great Sale Up to 70%. Beli 2 dapat 3. Midnight SaleDiskon hingga 95% + Gratis Voucher Rp100.000. Late Night Super SaleDiskon 70% + 20% Expired. Berbagai diskon menggiurkan tersebut terpampang di hampir semua department store menjelang Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru. Bahkan, satu dept. store besar kerap memberikan diskon gila-gilaan hampir di setiap akhir pekan yang dipromosikan di media-media besar Ibu Kota.

Ariza Novianti & Lingga Madu

Ariza Novianti & Lingga Madu, Founder & CEO of Sale Stock Indonesia

Diskon besar-besaran yang ditawarkan pusat perbelanjaan jelas menjadi magnet bagi konsumen untuk belanja. Apalagi, buat para perempuan yang senang belanja seperti Ninin. Ibu tiga putra ini mengaku senang berbelanja saat pusat pebelanjaan mengadakan diskon besar-besaran. “Saya bisa kalap,” ujarnya sembari tertawa. Ia memanfaatkan diskon besar-besaran itu dengan membeli banyak baju untuk keluarganya.

Begitu juga Dini Nizar. Ia selalu memanfaatkan diskon besar-besaran untuk belanja berbagai keperluan, terutama aneka fashion. “Saya bisa borong pakaian branded yang kalau tidak diskon harganya minta ampun mahal sekali,” ungkapnya. Tak mengherankan, perempuan yang masih lajang ini memuaskan dahaga akan pakaian branded di mal-mal papan atas yang menggelar diskon. “Saya tak pernah melewatkan midnight sale. Barang-barangnya bagus dan harganya terjangkau kantong saya,” ucap Dini sambil tertawa.

Siapa sih yang tidak suka diskon? Apalagi, untuk produk branded. Namun, tidak bagi Lingga Madu. Ia justru prihatin dan marah. “Promosi lewat diskon memang lumrah. Tetapi kalau sudah banting-banting harga, wah saya bingung kok begini ya cara berjualan,” kata Lingga. Keprihatinan melihat fenomena diskon besar-besaran yang menjadi trik peritel modern untuk menggaet konsumen ini menggelitiknya untuk mencari tahu harga riil produk yang didiskon itu. “Tak mungkin kan jual rugi. Pasti tetap ada untung meski sudah diobral habis,” katanya.

Bersama sang istri, Ariza Novianti, ia pun bergerilya mencari tahu harga produk fashion tersebut. Mereka berkeliling ke berbagai konveksi, mulai dari skala UKM sampai konveksi besar, bahkan pabrik yang mengerjakan pesanan merek-merek terkenal. Dari gerilya ini, Lingga lalu memutuskan melakukan gebrakan. “Saya pikir harus do something,” ujarnya.

Menurutnya, fashion harus bisa menyentuh dan dinikmati semua orang. Ingin berkontribusi pada industri fashion Indonesia, ia kemudian membesut Sale Stock Indonesia pada ujung 2014. “Saya ingin menawarkan harga fashion yang murah sehingga semua perempuan Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, merasakan dan bisa menikmati fashion yang sama. Wanita-wanita di Papua pun bisa seperti sosialita di Jakarta,” kata Lingga, lulusan S-1 Informatika dan Multi Media, Univesitas Kristen Duta Wacana, dan MBA dari Universitas Gadjah Mada (UGM), keduanya di Yogyakarta.

Lewat Sale Stock, Lingga terobsesi menyediakan baju berkualitas tinggi dan terjangkau untuk semua perempuan Indonesia. Jangan heran, Sale Stock mengusung slogan citra: Baju cantik, kualitas mal, harga jujur. “Sale Stock bisa memberikan lebih dari separuh harga dengan barang yang sama yang dijual di mal,” ungkapnya. Misalnya, sebuah dress di mal dibanderol Rp 300 ribu, di Sale Stock dijual hanya Rp 100-an ribu. Kok bisa?

Kami mengambil margin tipis,” tutur Lingga. “Misi kami mendobrak status quo dunia fashion. Sale Stock menggunakan prinsip cost-leadership untuk menyediakan baju berkualitas dengan harga jujur dan bebas biaya pengiriman untuk semua wanita di Indonesia,” papar kelahiran 29 Januari 1982 ini. Pengiriman sampai Papua pun tetap tanpa biaya dengan harga yang sama seperti yang berlaku untuk konsumen Jakarta dan kota-kota lainnya. “Kami fokus menyediakan baju berkualitas tinggi dan terjangkau untuk semua orang Indonesia dengan pelayanan dan teknologi yang baik,” Lingga menandaskan.

Hanya dalam tempo setahun, Sale Stock telah menjadi bagian dari salah satu tech startup di bidang fashion mobile commerce dengan perkembangan luar biasa. Saat ini Sale Stock telah mencapai engagement rate lebih dari 50% melalui Facebook dan mendapatkan 10.000 positive reviews dari pelanggan. Ya, ratusan item produk fashion bisa diintip di www.salestock.co.id. Harganya fantastis.

Produknya sangat variatif, up to date, dan tentu harganya sesuai dengan kantong anak SMA. Juga, mudah mengaksesnya,” ungkap fashion blogger Anggraeni Vetty. Menurutnya, untuk tampil chic dan stylish tidak membutuhkan bujet besar. “Dengan kreativitas memadu-padankan pakaian, siapa pun dapat tampil cantik,” ungkap Vetty saat acara Sale Stock 1st Anniversary Gala Dinner di sebuah hotel di kawasan Jakarta Selatan.

Diakui Lingga, pertumbuhan Sale Stock memang luar biasa. “Kenaikannya 100 kali lipat,” katanya tanpa bersedia menyebut angka pastinya. Awalnya, ia hanya dibantu lima karyawan. Bahkan, dengan modal minim, ia dan istrinya terjun langsung mengepak barang-barang pesanan kemudian mengirimkannya lewat jasa kurir. Saat ini, karyawan Sale Stock lebih dari 300 orang. Sale Stock yang setahun lalu dijalankan dari garasi rumah Lingga, kini memiliki enam kantor yang tersebar di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Singapura, serta satu gudang. Ia juga memiliki lebih dari 50 mitra bisnis yang terdiri dari para pemasok dan konveksi, baik kelas UKM maupun garmen besar. Sayang, Lingga tidak mau menyebutkan siapa saja mitra bisnisnya. “Tidak enaklah,” demikian dalihnya.

Yang pasti, menurut dia, Sale Stock kini menjadi rumah berkarya tak hanya bagi orang di Indonesia, tetapi juga orang-orang dari Jerman, AS, dan masih banyak lagi. “Mereka pernah bekerja di perusahaan teknologi besar seperti Facebook, Yahoo, Apple dan Sony,” ujarnya. Salah satunya, Stanislaus MC Tandelilin. Lulusan UGM ini memilih meninggalkan kariernya yang cemerlang di sebuah bank swasta papan atas. “Saya merasa terpanggil untuk ikut serta mendobrak status quo fashion,” ucap co-founder sekaligus Chief Operational Officer Sale Stock itu. Sekarang Sale Stock juga diperkuat oleh Ivan Samuel Heydemans dan Listiarso Wastuargo.

Didukung tim yang solid, tutur Lingga, Sale Stock fokus sebagai sebuah startup mobile-commerce yang menerapkan prinsip cost-leadership dan memanfaatkan kekuatan media sosial. “Sale Stock menghilangkan perantara, memotong biaya overhead, dan fokus berjualan secara online. Kami meminimalkan biaya dan menyimpan semua keuntungan ini untuk pelanggan kami. Dengan prinsip ini, kami dapat menawarkan harga jujur,” ungkapnya. Hal senada diakui Yurika, mahasiswi jurusan komunikasi sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. “Kualitasnya bagus dan harganya murah meriah,” ujarnya.

Ariza menuturkan, cikal bakal Sale Stock dimulai ketika ia melahirkan anak pertama, Soraya, pada September 2013. “Ketika itu, berat badan saya naik dari 45 kg ke 70 kg lebih dan hampir semua baju yang ada di lemari saya menjadi tidak muat. Alhasil, saya punya satu lemari penuh baju yang tidak bisa dipakai,” paparnya. Kemudian ia mencoba “cuci gudang”. Mulai dari situs-situs gratisan seperti TokoBagus, Berniaga, Bukalapak, Kaskus, hingga grup barang bekas (pre-loved) di Facebook.

Lingga lantas mengusulkan untuk membuka Fans Page Sale Stock di Facebook. Tak hanya baju-bajunya, ia juga menjual produk fashion yang ia beli di mal saat diskon besar-besaran, untuk dijual di Facebook Page. Termasuk, gendongan bayi, kain batik, baju cowok, celana bayi dan sabun. Lingga yang waktu itu tengah merentas karier sebagai Direktur di Surya Center for Financial Literacy, Surya University, ikut membantu. “Ternyata, justru produk fashion yang laku. Akhirnya, fokus di situ,” tutur Ariza, kelahiran 2 Agustus 1985.

Pada Mei 2014, Ariza dibantu Lingga memutuskan hanya fokus di bisnis fashion online dengan meluncurkan Sale Stock Tangerang. “Kami bekerja di malam hari setelah jam kantor dan Sabtu-Minggu. Lelah rasanya, tetapi entah kenapa sangat menyenangkan. Selalu ada alasan untuk bangun di pagi hari, mengecek pesanan di handphone saya,” cerita Ariza. Dari 1-3 paket/hari kemudian bisa mengirimkan 30-40 paket/hari. Mereka juga kemudain membuka lapangan pekerjaan bagi delapan karyawan.

Seiring dengan perkembangan Sale Stock Tangerang, mereka kemudian meninggalkan posisi mapan dan karier cemerlang di perusahaan. September tahun lalu, Lingga dan Ariza memutuskan fokus dan full time membangun Sale Stock Tengerang yang kemudian diubah menjadi Sale Stock Indonesia. “Ini menunjukkan komitmen kami untuk melayani permintaan pelanggan di seluruh Indonesia,” katanya. Harapan mereka, Sale Stock bisa menjadi pemain nomor satu di niche fast fashion: baju cantik, kualitas butik, dan harga pabrik.(*)

Henni T. Soelaeman

The post Sale Stock Tekad Mendobrak Status Quo Bisnis Fashion appeared first on Majalah SWA Online.

Sang Dokter yang Cari Duit dari Cuci Sepatu

$
0
0
Tirta Mandira Hudi

Aktivitas mencuci sepatu yang oleh banyak orang dianggap kegiatan sepele ternyata bisa dipoles menjadi bisnis menggiurkan. Dengan kreativitasnya, Tirta Mandira Hudi berhasil membesut bisnis cuci dan rawat sepatu Shoes and Care (SAC), serta membuka cabang dan kemitraan di berbagai kota besar di Indonesia. Hebatnya lagi, semua itu dilakukan sambil kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tirta Mandira Hudi

Tirta Mandira Hudi, pemilik usaha bisnis cuci dan rawat sepatu Shoes and Care

Anak muda kelahiran Surakarta, 30 Juli 1991, yang lulus FK UGM pada 2015 itu, mengawali bisnisnya secara tak sengaja. Ceritanya, pria yang hobi mengoleksi sepatu itu membeli sebuah cairan pembersih sepatu premium bermerek Jason Mark, langsung dari luar negeri, seharga Rp 400 ribu per botol. Belakangan, dia merasa harga sebesar itu plus ongkos kirimnya terlalu mahal. Tirta pun menawarkan kepada teman-temannya sesama kolektor sepatu untuk menggunakan produk pembersih itu. Syaratnya: mereka bersedia menanggung sebagian harga belinya. Gayung bersambut, teman-temannya bersedia patungan menggunakan produk pembersih itu.

Saat itu, terbersit di pikiran Tirta untuk mengomersialkan jasanya tersebut. Namun, ia tengah disibukkan praktik di berbagai rumah sakit sebagai syarat kelulusannya. Alhasil, dia memendam dulu niat bisnisnya. Beberapa waktu kemudian, ide berbisnis poles sepatu kembali bersinar di benak Tirta, tepatnya saat Gunung Kelud meletus. Ketika itu, seluruh sepatunya di tempat kos dan sepatu mahasiswa penghuni kos lainnya, terbungkus debu vulkanik yang cukup tebal. Nah, saat Tirta mencuci sepatu-sepatunya, teman-teman yang lain justru turut menitip cuci sepatu mereka ke dirinya. “Dari situlah tercetus ide membuka jasa perawatan sepatu tetapi dengan harga terjangkau dan terbuka untuk semua jenis bahan sepatu,” ungkapnya kepada SWA di salah satu gerai SAC di Jl. Mendawai 1, Jakarta Selatan.

Soal tempat, dia tak ambil pusing. Berhubung masih coba-coba, ia menawarkan jasanya dari emperan kosnya. Sambil jalan, ia membuat akun Instagram dan Twitter Shoes and Care di @shoesandcare. Ternyata netizen merespons antusias unggahan foto-foto SAC. Sejak itu, para pelanggan terutama yang bertempat tinggal di sekitar kosnya, ramai berdatangan.

Melihat animo pelanggan yang meningkat, Tirta memutuskan membuka toko perdananya yang berlokasi di Alun-alun Kidul Yogyakarta. Modal sebesar Rp 25 juta dia gelontorkan sebagai biaya sewa tempat, desain interior dan operasional toko. Pembukaan tokonya pada September 2014 ternyata bertepatan dengan momen ulang tahun Yogyakarta. Akal kreatif Tirta pun kembali berputar. Ia lantas memanfaatkan momentum istimewa itu untuk mempromosikan jasanya. “Saya buat promo, Jogja Free Wash. Saya sebenarnya gambling saja, kalau laku ya syukur, kalau tidak ya anggap aja pelajaran memulai usaha,” ucapnya enteng.

Pertaruhannya berbuah manis. Malah, jauh melampaui harapannya. Tak kurang dari 1.200 orang mengantre di depan tokonya membentuk barisan sepanjang 200 meter. Sejak itu, SAC meraih popularitas. Tak cuma ketenaran, melainkan juga pemahaman atas batas kapasitas pelayanannya. Sebab, dengan dibantu tiga orang saat itu, Tirta hanya mampu menangani 600 pasang sepatu dalam tempo tiga jam. Berangkat dari situ, Tirta kemudian membuka toko kedua yang masih berlokasi di Yogyakarta.

Berhubung Tirta turut memasarkan jasanya melalui kanal digital, pelanggannya berdatangan dari luar kota Yogyakarta seperti Jakarta, bahkan dari luar negeri yakni Singapura dan Australia. Antusiasme para pelanggan ternyata tercium oleh rekan-rekannya, sesama wirausaha muda Yogyakarta. Tira kemudian “dikompori” mereka untuk langsung merambah DKI. Namun, sebagai wirausaha pemula, ia mengaku sangat berhati-hati. “Saya pengusaha daerah, kalau ke Jakarta tidak total maka akan hancur usaha ini. Berbeda dari usaha atau merek yang dari Jakarta masuk ke daerah, sepertinya lebih mudah diterima,” ia menjelaskan.

Hanya saja, setelah menemukan tim yang cocok, ia baru berani membuka toko di Jakarta pada Maret lalu, berlokasi di Jl. Mendawai. Belakangan, dia juga kian gencar memasarkan jasanya melalui media sosial dan situs webnya di www.shoesandcare.com. Caranya, dengan mengunggah video proses pencucian dan perawatan sepatu pelanggannya ke berbagai kanal digital. Langkah ini sempat memicu kekhawatiran teman-temannya. Pasalnya, dengan cara itu, otomatis rahasia dapur SAC terbuka lebar. “Tetapi, sebagai pecinta sepatu, saya tentu ingin tahu sepatu kesayangan saya diapain saja selama perawatan? Dikasih chemical apa? Seperti itu,” ungkapnya. Karena itu, imbuhnya, justru pelanggannya akan kian loyal jika ditampilkan videonya.

Malah, kini SAC bertindak lebih jauh lagi untuk merawat kepercayaan pelanggan. Caranya, menggelar sambungan telepon video langsung ke ruang cucinya agar pelanggan yang penasaran bisa melihat langsung proses pengerjaannya. “Mereka juga bisa datang langsung ke toko, terbuka. Nampaknya sih berantakan ya, tetapi justru ini yang memikat trust-nya pelanggan,” ujar Tirta blak-blakan.

Bukan hanya kepercayaan pelanggan yang meningkat, sejumlah orang pun berminat menjadi investor. Karena itu, dia lantas membuka konsep kemitraan SAC. Kini, toko mitra SAC sudah terdapat di Jl. Panglima Polim (Jakarta), Bintaro (Tangerang), Solo dan Medan. Dengan harga jasa Rp 30-150 ribu, satu gerai SAC bisa meraup omset Rp 30-60 juta per bulan.

Bisnis Tirta kini nampaknya mulai agak merambah ke hulu. Pasalnya, berkat bantuan temannya, dia mampu meracik sendiri separuh dari produk pembersihnya yang kemudian diberi merek Androws. “Khusus Androws, saya sebagai investor, teman saya yang menjalankan. Nah, gara-gara Androws ini juga kami akhirnya diundang ikut event pameran Jasa Cuci se-Asia Tenggara di Singapura. Kalau di event tersebut kami sukses, kami akan buka di Singapura,” ujar Tirta, sekaligus membocorkan rencana bisnisnya ke depan.

Uniknya, meski mengaku akan serius membesarkan bisnisnya, ia enggan meninggalkan dunia medis yang masih dijalaninya hingga kini. “Tompi saja bisa, kenapa saya tidak? Hehehe…..” Tirta berencana menjadikan bisnisnya sebagai tambang uang utamanya. “Profesi dokter saya rasa kurang tepat kalau diniatkan untuk mencari uang. Dokter itu pekerjaan humanis, sedangkan bisnis benar-benar cari profit.”

Eddy Dwinanto Iskandar

Reportase: Arie Liliyah

The post Sang Dokter yang Cari Duit dari Cuci Sepatu appeared first on Majalah SWA Online.

Viewing all 151 articles
Browse latest View live