Quantcast
Channel: SWA.co.id – Berita bisnis terkini, Diaspora Indonesia, Business Champions, dilengkapi dengan strategi dan praktek bisnis, manajemen, pemasaran, entrepreneur, teknologi informasi, keuangan, investasi, GCG, CSR, profil dan gaya hidup eksekutif.
Viewing all 151 articles
Browse latest View live

Tiga Dara Mengupas Bisnis Buah Lembaran

$
0
0
Ade Permata Surya & Nur Sofia Wardani Yahya

Pertemuan di sebuah proyek antarkampus mengantarkan tiga dara ini memasuki dunia bisnis makanan yang unik: fruit strips atau buah lembaran. Camilan sehat yang diberi nama Frutaday dan memiliki daya tahan berbulan-bulan itu meraup omset puluhan juta rupiah per bulan.

Ade Permata Surya & Nur Sofia Wardani Yahya

Ade Permata Surya & Nur Sofia Wardani Yahya

Adalah Ade Permata Surya (24 tahun), Nur Sofia Wardani Yahya (26 tahun) dan Niki Tsuraya Yaumi (25 tahun) yang membesut Frutaday di bawah payung Hearty Foodie. Ketiganya memiliki kepedulian yang sama, yakni makanan sehat.

Setelah pertemuan pertama di ajang proyek antarkampus itu, ketiganya lalu berkumpul kembali setelah Niki kelar menempuh pendidikan S-2 di Inggris. Saat itu, Niki memaparkan pengamatannya saat kuliah di Inggris, yakni munculnya tren makanan sehat tanpa pewarna dan pengawet buatan, bahkan tanpa bahan-bahan pemicu alergi seperti gluten.

Kebetulan, latar belakang keilmuan tiga kawan baru itu menunjang. Ade lulusan S-1 Ilmu Gizi Universitas Indonesia, Sofia yang akrab disapa Opi lulusan Ilmu Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor, dan Niki lulusan S-2 Inovasi dan Kewirausahaan dari University of Warwick, Inggris. “Nah, kami lalu berpikir bagaimana kalau kami juga memproduksi yang serupa, karena teman saya, Opi, jago dalam hal teknologi pangan, saya sendiri punya ilmu gizi,” ujar Ade yang ditemani Opi saat wawancara dengan SWA di kampus Universitas Mercu Buana, Meruya, Jakarta Barat.

Mereka sadar, bisnis makanan camilan sehat yang akan mereka geluti tidak bisa bersaing dalam harga dengan produk makanan massal. Karena itu, mereka menyasar segmen menengah-atas. “Kelas menengah-atas memiliki kesadaran akan makanan sehat dan bersedia membayar sedikit lebih mahal untuk mendapatkan manfaat sehat dari makanan yang dibeli,” tutur Ade.

Berhubung produk serupa terdapat di luar negeri, trio yang menggelontorkan masing-masing Rp 10 juta sebagai modal awal itu mulai mem-benchmark aneka camilan sehat dari luar negeri. Caranya mudah, mereka cukup berkeliling ke berbagai supermarket papan atas seperti The Food Hall, Kemchicks dan Ranch Market. Upaya tersebut membuahkan temuan, bahwa camilan olahan sehat umumnya terdiri dari oat, kacang almond dan buah-buahan.

Jadi, sebenarnya yang kami buat pertama itu adalah produk olahan almond, oat dan cokelat, yang kami beri nama Mister Timber. Ini adalah cokelat stik dengan campuran almond dan oat, karena sekarang sedang tren makanan ringan berbentuk stik-stik ala-ala Jepang gitu kan,” papar Ade mengenang kreasi pertama mereka pada 2014 itu.

Sukses berjalan setahun, kreasi kedua pun digulirkan pada Maret 2015. Kali ini buah-buahan mereka pilih sebagai bahan utamanya. Setelah meriset, ketiganya memutuskan menjual buah olahan dalam bentuk lembaran tipis dan kecil dengan merek Frutaday. “Aslinya namanya fruit leather karena bentuknya lembaran tipis. Tetapi, di Indonesia penjelasan namanya kami ganti jadi fruit strips karena khawatir akan salah persepsi, bisa dikira makanan dari kulit buah hehehe,” kata Ade menjelaskan.

Opi sebagai lulusan teknologi pangan kebagian tugas mengolah buah tersebut. Proses menemukan racikan yang pas ternyata tidak mudah. Awalnya, buah-buahan yang terlebih dulu dihaluskan dengan blender itu kerap tidak mencapai rasa dan bentuk yang diinginkan. Setelah mencoba enam bulan, racikan yang pas berhasil ditemukan. “Prinsip dasarnya adalah pure buah yang dihaluskan dengan blender. Lalu di-spread di atas wadah khusus, lalu dioven. Itu saja,” ujar Opi.

Pengaturan suhu menjadi kunci keberhasilannya. Pasalnya, dalam satu lembar Frutaday terdapat dua jenis buah. Contohnya, Frutaday stroberi terdiri dari buah stroberi dan pisang. “Stroberi pada suhu 50 derajat sudah gosong, sedangkan pisang pada suhu tersebut teksturnya belum kering yang bagus. Jadi, kami terus mencoba untuk mendapatkan suhu yang pas bagi kedua komponen tersebut,” kata Opi.

Tantangan kedua untuk mendapatkan rasa yang tepat ada pada pilihan buahnya yang harus memiliki warna dan rasa yang tepat. Karena tidak mau repot menyortir, mereka akhirnya menggunakan pemasok buah khusus. “Stroberi kami mengambil dari pemasok di Bandung, pisang dari Bogor, dan mangga dari Cirebon,” ujar Opi.

Buah lokal dipilih karena alasan khusus. Pasalnya, mereka sekaligus berniat menjadikan Frutaday sebagai produk buah tangan bagi wisatawan asing. “Wisatawan asing lebih suka buah-buahan tropis,” kata Opi. Sekali siklus produksi menghabiskan 400 kg pisang, dan masing-masing 100 kg mangga dan stroberi. Agar tak mudah rusak, bahan-bahan itu disimpan dalam freezer khusus. Namun, ada buah tertentu seperti pisang yang harus langsung dipakai karena tak bisa disimpan lama dalam freezer.

Dengan bahan sebanyak itu, dalam sebulan Hearty Foodie bisa menghasilkan 1.200 boks Frutaday dan 2.000 boks Mister Timber yang berwarna-warni. Pasar yang dipilih menjadikan pemasarannya sangat spesifik. Hearty Foodie lebih memilih menyalurkan langsung produknya melalui toko oleh-oleh Opalindo dan KMB di Bandara Soekarno-Hatta. “Ada juga penjualan online, tetapi 60% penjualan melalui offline,” ujar Opi

Meski awalnya cukup sulit memasarkan produknya, setelah Hearty Foodie tercatat sebagai produk binaan UMKM Jakarta Barat, akhirnya justru jalannya dipermudah. “Pembina kami itulah yang aktif mendaftarkan kami ke pameran hingga ke Smesco. Dari sana, kami kemudian masuk ke Seven Eleven, sudah ada di tiga gerai Seven Eleven. Lalu sekarang kami akan masuk ke Food Hall dan Kemchicks yang di Pacific Place,” tutur Opi gembira.

Menurut Opi, meski dibantu pemda setempat, salah satu kunci diterimanya Frutaday di berbagai supermarket menengah-atas terletak pada kemasannya. “Kemasan meski lebih mahal, kami pilih yang food grade dan desainnya juga terlihat berkelas. Kami bersyukur ada teman desain grafis yang bersedia mendesain dengan harga pertemanan dan hasilnya bagus.”

Kini, omset Frutaday mencapai Rp 90 juta per bulan dengan bantuan enam karyawan. Selanjutnya, mereka berencana menambah varian produknya. “Sekarang kan baru mangga dan stroberi, nanti kami mau eksplor buah-buah tropis lainnya seperti nanas. Kami juga mau bikin flowerstrip, dari bunga kembang sepatu yang banyak di Indonesia, sekarang sedang jadi makanan tren di luar negeri,” Opi memaparkan ambisi mereka selanjutnya.

Krismayu Noviani, Kepala Bagian Layanan Bisnis Retail LLP-KUKM, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Smesco), menyebutkan, pihaknya menerima Frutaday karena produk camilan tersebut telah dilengkapi izin keamanan pangan. Selain itu, keunikan Frutaday dan kepraktisannya juga membuat Smesco terpikat membantu pemasarannya. “Umumnya buah dan produk hayati lainnya kalau diolah dengan kurang tepat, kandungan gizi alaminya akan rusak dan berkurang.Tetapi Frutaday mampu menjaga kandungan gizi alaminya. Selain itu, praktis, bisa dimakan kapan saja, di mana saja,” ungkap Krismayu.

Karena itu, pihaknya bergerak lebih lanjut dengan membawa Frutaday memasuki ritel modern. “Jadi, selain kami kasih tempat di Gedung Smesco, kami juga bukakan pasar di ritel modern, sehingga distribusinya lebih luas,” ujar Krismayu.

Krismayu menyarankan agar Frutaday terus mempertahankan mutunya serta menambah varian buahnya. “Terutama buah-buah asli Indonesia. Karena, buah-buahan itu kan balik lagi soal kesukaan orang. Dengan memperluas varian, konsumen jadi punya banyak pilihan.”(*)

 

Eddy Dwinanto Iskandar, Reportase: Arie Liliyah
Riset: Muhammad Rizki

The post Tiga Dara Mengupas Bisnis Buah Lembaran appeared first on Majalah SWA Online.


Inisiasi Kreavi.com Dorong Kreator Lokal

$
0
0
Kumpul Kreavi (Doc Kreavi.com)

Dibentuk pada tahun 2012, Kreavi.com memulai jejak idenya. Komunitas ini melihat masalah bahwa tidak mudah untuk menemukan kreator visual. Langkah pertama pun dilakukan. Tiga orang pendirinya yang dipimpin oleh Johana Kusnadi sebagai Community Leader, membuat platform online.

Selanjutnya untuk mengumpulkan para user, Kreavi mengadakan mengadakan meet up, yaitu Kumpul Kreavi. Sejak 3 tahun lalu, kegiatan ini sudah diadakan sebanyak 25 kali di 7 kota besar di Indonesia. Rata-rata 250-350 kreator visual lokal dalams etiap kali pertemuan.

Kendala mereka temui di awal berdiri, yaitu bagaimana mengakuisisi user dan mereka mau memasukan portfolio terbaiknya. “Kami mensosialisasikan visi misi Kreavi lewat roadshow. Dan karena waktu itu kami hanya bertiga, yaitu leader, desainer, dan programmer, kami dibantu oleh teman-teman dari ekspertis bidang kreatif yang mendukung mimpi kami,” ujar Johana Kusnadi, Community Leader Kreavi.

Sebagai komunitas yang bertugas sebagai kurator, Krevi.com terbuka untuk menerima karya yang masuk. Syarat yang diberikan pun cukup mudah, hanya melewati proses sign up, melengkapi profil dengan deskripsi serta meng-upload karya terbaik para user. Sedangkan untuk tema karya bebas. Terbukti saat ini sudah lebih dari 32.000 karya dari seluruh Indonesia yang mereka terima.

Kumpul Kreavi (Doc Kreavi.com)

Kumpul Kreavi (Doc Kreavi.com)

Menurutnya untuk dapat menghasilkan karya yang semakin baik, seseorang harus terus dimotivasi melalui kompetisi. “Ketika mereka menang kontes, mereka mendapatkan eksplosure yang luas dan banyak opportunity,” ungkapnya. Kompetisi pertama diadakan dari tahun 2012, respon peserta sangat baik. Saat itu komunitas mengadakan kompetisi membuat desain kartu ucapan tahun baru. Hasil penjualan disumbangkan kepada sebuah sekolah untuk anak-anak kurang mampu di daerah Tanah Abang, Jakarta.

Kompetisi lainnya bertajuk Re-Draw-a-Mascot. Setelah sukses mengadakan kompetisi kreatif tingkat nasional seperti mewadahi perancangan ulang logo Daerah Istimewa Yogyakarta serta maskot kota Surabaya, Kreavi.com kembali memberikan tempat kreativitas bagi anak muda. Kontes merancang ulang maskot Asian Games 2018 ini dibuat karena maskot official yang di-announce kepada publik kurang mendapatkan sambutan yang baik dari publik dan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) terbuka untuk menerima masukan.

Meskipun kompetisi ini independen dan tidak terafiliasi dengan lembaga pemerintahan seperti Kemenpora dan Badan Ekonomi Kreatif, Re-Draw-a-Mascot memiliki standar penyaringan yang tinggi. Semua karya yang masuk akan disaring oleh 17 juri yang merupakan para pelaku industri dari berbagai bidang.

Mereka terdiri dari kalangan ilustrator dan desainer, akademisi, jurnalis dan media, hingga agensi kreatif. Beberapa di antaranya adalah Andi Martin (CEO Kratoon.com), Andi Sururi, (Managing Editor Detikcom), Bima Said (Managing Editor Asia Pacific Goal.com), Budi Setyarso (Redaktur Eksekutif Majalah Tempo), Dennis Adishwara (CEO Layaria), Dimas Novriandi (Business Development Head Mirum), Faza Meonk (CEO Pionicon), Bryan Lie, (Creative Director Glitch Network), dan Wicak Hidayat (Vice Managing Editor Nextren).

Kemudian pada Popcon Asia 2015 lalu, Kreavi.com mengadakan Portfolio Review, dimana memfasilitasi job hunter dan perusahaan yang mencari talent berkualitas agar dapat bertemu langsung di Festival Pop Culture terbesar di Indonesia ini. “Dan tentu saja bukan tak mungkin kita mengadakan hal serupa di waktu kedepannya. Perkembangannya sangat baik. Temuan menariknya adalah melihat langsung bahwa desain dapat memberikan dampak nyata dalam masyarakat,” tambah perempuan yang hobi menggambar ini.

Doc Kreavi.com

Doc Kreavi.com

Pengaruh positif ini dirasakan oleh start up lain. Ia menceritakan pernah ada teman yang memiliki studio komik di Jogja yang mengatakan bahwa mereka ingin menutup studio tersebut. Tetapi tiba-tiba mereka mendapatkan pekerjaan dari klien yang menghubungi melalui Kreavi.com. Lalu karena itu mereka jadi lebih semangat. “Cerita sepeti ini tidak hanya satu, tetapi sudah sangat sering saya dengar,” katanya.

Industri kreatif memang semakin berada dipuncaknya. Ditandai dengan mulai banyak muncul start up baru yang digawangi anak-anak muda, hingga komunitas-komunitas yang memfasilitasi hasil karya seni para kreator. Sebagian besar dari mereka tidak berjalan sendiri, tetapi bekerja sama dan membantu pemerintah daerah untuk menggaet kreator lokal dan mengembangkan industri kreatif di daerah tersebut.

Melalui gerakan Tatarupa, Kreavi.com bekerjasama dengan Tri Rismaharini, Walikota Surabaya, dan pahlawan ekonomi yang menaungi lebih dari 2.000 UKM di Surabaya. Ia dan tim menata ulang kembali rupa produk UKM. Mereka me-kurasi pada desainer lokal yang mau berkontribusi dan diketemukan dengan produk-produk UKM lokal.

“Ketika melihat apa yang kami lakukan memiliki dampak nyata, rasanya tidak mungkin berhenti dan berusaha membuat dampak yang lebih besar lagi. Karena cara memajukan industri kreatif adalah membentuk ekosistem yang sehat,” tutupnya dengan lugas. (EVA)

The post Inisiasi Kreavi.com Dorong Kreator Lokal appeared first on Majalah SWA Online.

Jurus Dua Kaki Inas Luthfi dkk. di Bisnis Game

$
0
0

Internet memang telah menghilangkan sekat-sekat negara. Namun, hanya orang kreatif yang mampu memanfaatkan momentum ini. Salah satunya Inas Luthfi, anak muda dari Bandung yang sukses merebut proyek game dari berbagai perusahaan multinasional di mancanegara. Alhasil, perusahaan yang dibesutnya, PT Nightspade Multi Kreasi, mampu meraup omset miliaran rupiah per tahun.

Nightspade Multi Kreasi

Team Nightspade Multi Kreasi

Pemuda 26 tahun asli Solo, Jawa Tengah itu sejak kecil memang hobi bermain game di perangkat Playstation miliknya. Sewaktu masih SMP, ia mulai menjajal membuat program game sendiri menggunakan program Quick Basic. Namun, barulah ketika kuliah di Jurusan Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung, ia mulai serius mengomersialkan keahliannya dalam pembuatan aneka program komputer, termasuk program game untuk perangkat bergerak seperti tablet dan ponsel pintar.

Persinggungan Inas dengan dunia bisnis diawali dari sebuah tugas kuliah pemrograman berorientasi objek yang digarapnya bersama 6 teman satu jurusan pada 2008. Saat itu, ketujuh anak muda itu sepakat membuat game. Tak dinyana, tugas yang membuahkan nilai A itu juga memenangi lomba Digital Media Festival di Jurusan Desain Komunikasi Visual ITB pada 2009. Kebetulan, salah seorang pejabat Departemen Komunikasi dan Informatika turut menjadi juri lomba tersebut. Semakin kebetulan lagi, pejabat itu tengah membuat program percontohan inkubasi bisnis di departemennya. Inas dkk. yang menjuarai lomba itu langsung saja ditawari menjadi peserta program bertajuk Inkubator Inovasi Telematika Bandung periode 2009-2011.

Sejak itulah Inas dkk. kian serius menekuni bisnis yang awalnya dinamakan Night Club Coder, nama yang dipilih karena mereka sering mengerjakan pemrograman di malam hari selepas jam kuliah. Namun, dalam perjalanannya, setelah lulus, hanya lima orang yang bertahan meneruskan usaha mereka, yakni Inas sendiri yang kini menjabat sebagai CEO sekaligus Chief Technology Officer, Dody Dharma menjabat Chief Operating Officer, Garibaldy W. Mukti sebagai Chief Marketing Officer, Teddy Pandu Wirawan sebagai Chief Financial Officer, dan Andina Tarina yang menduduki kursi Komisaris. Tahun 2010 menjadi titik metamorfosis bisnis dengan membentuk badan hukum sekaligus mengubah namanya menjadi PT Nightspade Multi Kreasi. Fokus bisnis dipertajam, dari palugada (apa lu mau gua ada) ke program enterprise resource planning (ERP).

Ketika booming game berbasis iOS dan Android tiba, mereka pun tertarik menunggangi gelombangnya. Belakangan, semangat mereka di bisnis game kian terpacu ketika salah satu game pertama mereka dibeli pengembang game asal Amerika Serikat seharga US$ 8.500. Salah satu game awal Stack The Stuff untuk App Store, Google Play dan Windows juga sukses diunduh hingga 250 ribu dengan mayoritas pengunduh dari AS, Eropa dan Australia.

Karena itu, pada 2011 Nightspade, yang mendapatkan investasi dari East Ventures di tahun yang sama, memutuskan lebih fokus pada pembuatan game dan program untuk platform mobile. Mereka bermain dengan dua kaki sekaligus. Kaki pertama menyasar pemain game langsung (B2C), kaki kedua menargetkan kalangan korporasi (B2B). Pengguna langsung disasar dengan memasukkan game-nya ke App Store, Google Play dan Windows Store. Pendapatan diraih jika pengguna membeli game berbayar atau dari iklan yang tayang di game-nya.

Adapun layanan korporasi atau alih daya ditargetkan melayani sesama perusahaan pengembang game yang berminat dibantu dalam pembuatan konsep game, programming, animasi, musik, dan sebagainya. Atau, perusahaan yang berminat menjadikan game sebagai sarana pemasaran produknya. “Di luar negeri, rata-rata pengembangan game membutuhkan waktu yang lama, sumber daya manusia yang banyak, dan dana yang besar. Nah, kami coba tawarkan para pekerja ahli kami ke perusahaan tersebut dengan harga yang bersaing,” tutur Inas.

Langkah itu rupanya mujarab menggenjot kinerja Nightspade. Model alih daya bahkan menjadi tulang punggung perusahaannya. Hingga kini, banyak studio game dari AS, Jepang dan China menjadi pelanggan Nightspade. Inas mengaku, meski bersaing dalam harga, faktor kualitas tak bisa ditawar. “Orang luar negeri itu, semurah apa pun harganya, kalau kualitasnya jelek, ya tidak akan diambil,” ungkapnya.

Mengandalkan kualitas mumpuni, Nightspade pun kerap memenangi order yang sering kali ditenderkan lebih dulu. “Jadi, kami sebenarnya harus bersaing secara kreatif dengan studio yang sudah jadi langganan mereka. Kami harus bersaing dalam pembuatan konsep game, proposalnya harus bagus, cocok atau nggak dengan bujetnya,” ia menguraikan. Faktor kualitas pula yang membuat Inas fokus ke pasar luar negeri, karena harga yang ditawarkan pihak dalam negeri acap tidak masuk dengan “hitungan” Nightspade. Saat ini, Nightspade bergerak dengan 15 orang kru karyawan tetap, termasuk Inas dan 7 orang tenaga paruh waktu.

Nightspade kerap memenangi order bernilai ratusan ribu US$, jumlah yang disebut Inas masih terbilang kecil di industri game. “Di game, ratusan ribu dolar itu ya relatif menengah-bawah,” ujarnya.

Salah satu jurus Inas agar terus menghasilkan karya terbaik adalah dengan merasa bodoh. Maksudnya, selalu haus terhadap pengetahuan baru. Dengan begitu, Inas dan timnya mampu terus menggali peluang di berbagai lini. Nightspade menargetkan dapat menghasilkan hingga 6 game per kuartal. “Jadi, kami mencoba strategi kuantitas, game kecil-kecil tapi jumlahnya banyak dan fun untuk dimainkan,” tuturnya.

Beberapa game yang pernah dibesutnya selain Stack The Stuff, yakni Mad Warrior, Don Gravity, Taby The Little Mouse, Air Heroes, Nuclear Outrun dan Animal Pirates. Sementara perusahaan yang pernah menjadi kliennya adalah Intel India, Mig33, Chupa Chups, serta perusahaan dari AS, Jepang, China dan Singapura.

Tak cuma itu. Kinerja Inas dkk. yang moncer di mancanegara rupanya menarik perhatian banyak pihak hingga mengganjarnya dengan berbagai anugerah seperti APICTA 2011, Sparx Up 2011, INAICTA 2011 dan 2013, juara satu Indigo Apprentice Award 2015. Teranyar, mereka sukses merebut juara dua dunia Intel RealSense App Challenge 2015. “Sekarang sudah lima tahun kami berjalan dan sampai sekarang pun kami tetap berusaha membuat game yang menyenangkan untuk dimainkan, cocok untuk pasarnya dan menghasilkan keuntungan supaya kami bisa terus membuat game lagi,” tutur Inas, semringah.

Adam Ardisasmita, CEO dan Co-Founder Arsanesia, pengembang game yang berciri budaya khas Indonesia, menguraikan, jurus dua kaki Nightspade lazim digunakan pengembang game lokal. “Banyak game developer di Indonesia yang menggunakan cara ini karena memang rumus untuk menciptakan game yang sukses tidaklah mudah untuk didapatkan. Perlu experience, trial and error, juga kualitas yang baik. Untuk bisa mendapatkan hal itu, butuh investasi yang tidak sedikit. Supaya game developer bisa running, perlu ada sumber pendanaan, bisa dari investor atau dari model bisnis lain seperti outsourcing,” ungkapnya.

Adam memuji Nightspade sebagai salah satu studio game senior yang memiliki pengalaman yang tinggi, kualitas game yang baik, dan perusahaan yang berkembang secara positif. “Semoga Nightspade bisa terus berkembang memiliki karya yang sukses, dan bisa menjadi motor majunya industri game di Indonesia,” ujarnya penuh harap.

Eddy Dwinanto Iskandar

Reportase: Raden Dibi Irnawan

Riset: Armiadi Murdiansah

The post Jurus Dua Kaki Inas Luthfi dkk. di Bisnis Game appeared first on Majalah SWA Online.

Street Gourmet, Resto Berjalan Besutan Tito Afrianto

$
0
0
Tito Afrianto

Selain menjadi daerah tujuan wisata, Bandung menjadi surganya wisata kuliner yang menawarkan aneka sajian yang menggoyang lidah bagi penikmat kuliner. Kedua hal itu menjadi daya pikat bagi wisatawan yang mengunjungi Bandung. Bagi pengusaha muda, seperti Tito Afrianto, pariwisata dan kuliner adalah kombinasi bisnis yang menjanjikan. Maka, Tito bersama koleganya sejak Desember tahun lalu menggodok konsep bisnis yang mengemas pariwisata dan kuliner dalam satu paket.

Tito AfriantoBisnisnya itu diberi nama Street Gourmet. Tito merupakan salah satu pendiri dan pemilik saham mayoritas di perusahaan yang mengelola Street Gourmet, yakni PT Trinity. Street Gourmet dibesut Tito bersama 6 rekannya, di antaranya dua pemain sepak bola nasional, yaitu Tony Sucipto (Persib Bandung) dan Airlangga Sucipto (Semen Padang). “Saya membuat bisnis ini karena melihat potensi bisnis kuliner, transportasi dan pariwisata di Bandung masih akan berkembang,” ungkapnya.

Tito dkk. membesut Street Gourmet dengan menawarkan paket tur mengelilingi Bandung sekaligus menyantap aneka kuliner Indonesia, Jepang dan Eropa yang dimasak di dalam bus oleh para juru masaknya. “Konsep Street Gourmet ini memang baru untuk kuliner, karena kami lebih menawarkan sensasi baru untuk menikmati keindahan Bandung sambil menikmati hidangan yang kami sajikan di atas bus ini,” dia menjelaskan. Yuswohady, pengamat pemasaran dari Inventure, menilai, bisnis kuliner yang inovatif tumbuh subur dalam beberapa tahun terakhir.

Gagasan Street Gourmet dipetik Tito dari pengalamannya mengarungi bisnis kuliner dan jasa menyewakan bus pariwisata. Ia memiliki beberapa perusahaan, semisal Trinity Promotion & Advertising, MR Komot Cafe & Cake Shop, dan Surya Gemilang Tour & Travel. Kemudian, dia mematangkan konsep dan model bisnisnya, serta mencari berbagai referensi di Internet. Ia menemukan konsep Street Gourmet mirip di Prancis atau Spanyol, seperti yang ditontonnya di YouTube.

Lalu, Tito selama dua bulan menggodok konsepnya tersebut agar semakin matang. Kemudian, ia memberanikan diri untuk memulai bisnis Street Gourmet pada Juni 2015. Ia menggelontorkan dana hingga Rp 1,2 miliar untuk memodali bisnis patungannya itu. Sumber pendanaannya berasal dari keenam rekannya. Dia membelanjakan modalnya untuk berbagai keperluan, semisal membeli bus dan mendandani interior layaknya restoran premium.

Hasilnya adalah bus restoran yang bagian eksteriornya didominasi warna hitam, dan diberi aksen warna keemasan bertuliskan Street Gourmet. Bus itu diklaimnya sebagai bus restoran pertama di Indonesia. Busnya menempuh perjalanan menyusuri daerah wisata dan bersejarah di Bandung. Bus diberangkatkan setiap tiga jam sekali yang dimulai pada pukul 09.00 WIB. “Saat ini, kami masih bertahan dengan satu bus dengan tetap mempertahankan frekuensi perjalanan 4-5 trip per hari, mungkin di satu sisi hal ini untuk menjaga eksklusivitas bisnis Street Gourmet,” ungkap Tito lagi.

Tur wisata kota dan kuliner ini beroperasi setiap hari dengan durasi perjalanan 1,5 sampai 2 jam. Kecepatan rata-rata bus hanya 30 km/jam agar para tamu merasa nyaman menyantap makanan sambil menikmati panorama Bandung. Kapasitas tempat duduknya sebanyak 24 kursi dan dilengkapi fasilitas lainnya, seperti Wi-Fi, pemandu wisata dan mesin pendingin ruangan yang memanjakan para tamu.

Street Gourmet menawarkan dua paket menu. Paket yang pertama dibanderol Rp 300 ribu untuk dua orang, dan paket kedua tarifnya Rp 600 ribu untuk empat orang pengunjung. Menunya terdiri dari menu pembuka, utama dan penutup. Respons konsumen sangat positif. Setiap bulan, bus Street Gourmet rata-rata disesaki 970 orang. Omsetnya, disebutkan Tito, mencapai Rp 7 juta per hari. Apabila dihitung dalam sebulan, pendapatannya sekitar Rp 210 juta. “Kami membidik wisatawan lokal dan asing sebagai target pasar,” ucap Tito. Dia mempekerjakan 15 pegawai yang ditugasi mengoperasikan Street Gourmet.

Yuswohady mengingatkan pengelola Street Gourmet untuk fokus pada konten dan konteks bisnisnya agar bisnisnya terus berkesinambungan. Dalam bisnis kuliner, menurut Yuswohady, kelezatan menunya menjadi konten utama, sedangkan unsur konteksnya adalah berkeliling Bandung dengan bus. Berdasarkan pengamatannya, bisnis yang konteksnya unik tetapi mengabaikan kontennya, rata-rata gulung tikar hanya dalam satu tahun saja. “Jika yang difokuskan pada konteksnya, bisa jadi orang hanya sekadar ingin tahu. Sebaliknya jika konten yang akan ditonjolkan, harus benar-benar memperhatikan rasa dan kualitas makanannya,” ujar Yuswohady.

Maka, Tito meracik berbagai resep bisnis agar laju Street Gourmet semakin menanjak. Resep yang pertama adalah menawarkan pengalaman baru bagi konsumen, serta mempromosikannya melalui Tony dan Airlangga. Yuswohady menambahkan, cara Tito menggandeng pemain sepak bola sebagai tim promosi bisa meningkatkan promosi getok tular (word of mouth) yang dampaknya terasa dalam jangka pendek. “Nah, untuk long-term-nya, Tito harus memperhatikan unsur kontennya,” dia menyarankan.

Ke depan, Tito berencana menambah armada busnya dan membuka cabang di kota lain. Hingga saat ini, Tito fokus mengamati dan mengevaluasi bus yang sudah dioperasikannya itu.

 

Vicky Rachman & Syukron Ali

The post Street Gourmet, Resto Berjalan Besutan Tito Afrianto appeared first on Majalah SWA Online.

Pergulatan Dendy Reynando di Bisnis Kreatif

$
0
0
Mahakarya Inc.

Meski berkuliah di Program D-3 Elektronika Instrumentasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dendy Reynando tak gentar berbisnis di dunia kreatif. Malah, pilihan bisnisnya sukses mengantarkannya menjadi pengusaha manajemen artis, publishing dan rumah produksi di bawah bendera Mahakarya Inc. dengan omset miliaran rupiah per tahun.

Mahakarya Inc.Pertautan pria 31 tahun itu dengan dunia bisnis dimulai saat dirinya berbisnis clothing di semester akhir kuliahnya. Dari situ, dia lantas menggandeng salah satu band anyar di Yogya, Seventeen. “Kebetulan waktu itu gitarisnya pernah beli kaus kami. Dari situ, saya diajak bicara secara intens tentang manajemen band,” tutur Dendy kepada SWA di kantornya, Jalan Tebet Timur, Jakarta Selatan.

Dari pembicaraan itu, Dendy justru yang diajak bergabung ke manajemen band Seventeen. Gayung bersambut. Tahun 2005, Dendy mengangguk setuju. Demi totalitas, Dendy melepas bisnis clothing-nya. Band Seventeen yang berdiri pada 1999 sebenarnya telah merilis album pertama, Bintang Terpilih, di bawah label Universal Music Indonesia. Namun, kemudian Universal global menutup label lokalnya di Indonesia, sehingga otomatis hubungannya dengan Seventeen terputus. “Nah, ketika Universal melepas band ini, saya diminta membantu membuat business plan sebagai bahan untuk mencari investor. Mereka sempat kembali ke Yogya karena kejadian gempa, tetapi saya tetap di Jakarta hingga mendapat investor baru,” katanya.

Bukan tanpa tantangan dia menapaki jalan menjadi manajer artis. Bahkan, orang tuanya sempat meragukan pilihan kariernya. “Bagi orang kampung seperti kami, kerja seperti saya tidak keren, karena semacam pengelola organ tunggal yang dipanggil dari hajatan satu ke hajatan lain. Maklum, kami belum akrab dengan ini,” Dandy mengenang masa lalunya sambil tersenyum.

Kondisi mulai membaik kala band binaannya dengan formasi baru mengeluarkan album anyar, Lelaki Hebat, pada 2008 di bawah label baru MI Tune Music Production. Perusahaan ini milik seorang konsultan pajak yang hobi musik dan memercayakan pengelolaan labelnya kepada Dendy.

Formasi dan label yang baru membawa konsekuensi tak ringan: Seventeen dianggap layaknya pendatang baru. Alhasil, dia harus berjibaku meyakinkan 600 stasiun radio di Indonesia untuk memutar lagunya. “Kami kirim satu per satu CD fisik ke radio-radio. Saya berjuang ke seluruh radio di Indonesia, ada 600 radio, saya telepon satu per satu supaya bisa masuk di playlist,” ujarnya. Upayanya selama 2-3 bulan ini berbuah manis. Masyarakat mulai merespons positif band Seventeen. “Bulan ketiga responsnya naik,” katanya. Band Seventeen pun mulai diminta manggung di berbagai stasiun televisi, juga di berbagai daerah.

Dendy yang meneruskan kuliahnya di S-1 Teknik Industri Universitas Muhammadiyah Jakarta dan MBA IPMI pun kian mantap menggeluti pilihan kariernya. Bahkan, pada 2009 dia memilih berdiri sendiri. “Saya mulai berpikir membuat bisnis sendiri di manajemen artis, record label, pokoknya entertainment business. Maka, saya set up Mahakarya Inc. pada 2009,” paparnya.

Dengan dana seadanya, bahkan kantor yang menumpang di markas band Seventeen, dia mengawali Mahakarya Inc. Dari sana, jalan bisnisnya ternyata terus terbentang lebar. Dendy pun menularkan semangat bisnisnya ke timnya. Salah satunya ke para personel Seventeen yang didorongnya turut berbisnis dengan memproduseri sendiri band-band indie.

Belakangan, bisnis rumah produksi juga dirambah Dendy dengan titel Sarugo Visual Motion. Awalnya, Mahakarya membuatkan video klip untuk band Seventeen pada 2010, selanjutnya untuk band Lila, lalu band-band lain. Bahkan, Nestle pun memercayakan salah satu proyeknya ke Sarugo. Kini, total sudah puluhan video klip yang diproduksi Sarugo. “Ke depan, Sarugo akan saya kembangkan ke program teve dan film. Program teve sedang bicara dengan dua stasiun teve, sedangkan film ada satu skrip yang sedang kami ulas,” kata Dendy, antusias.

Bisnis manajemen artisnya kini menaungi delapan artis dan band, di antaranya Seventeen, Captain Jack, Gilang Dirga, Komo Ricky dan Ilvie Rahmi.

Pengembangan bisnis Mahakarya mengikuti alur kemajuan dunia digital, antara lain kelahiran Departemen Pengembangan Bisnis & Publishing. Bidang itu digarapnya karena para artisnya butuh penanganan di ranah media dan distribusi digital seperti ring back tone, iTune, YouTube, Facebook, Twitter, serta menjalin kerja sama dengan berbagai perusahaan telekomunikasi. “Misal promotion services, kami pernah berhasil memegang media placement beberapa artis,” katanya.

Mahakarya juga pernah membantu media placement buat BPJS Kesehatan. “Karena Mahakarya dekat dengan radio, teve lokal dan media lain, digunakanlah layanan ini untuk sosialisasi tentang BPJS Kesehatan,” ungkapnya.

Saat ini Mahakarya diawaki 15 karyawan tetap dan belasan pekerja paruh waktu. Hebatnya lagi, dua karyawannya kini sedang disekolahkan S-2 di Universitas Bina Nusantara dan Universitas Trisakti. “Saya mau karyawan saya terus belajar. Seperti saya, yang awalnya tidak tahu apa-apa tetapi mau terus belajar,” ujarnya. Bahkan, saat ini dia juga mempekerjakan tiga manajemen artis yang sesungguhnya berbekal nol pengalaman.

Omset Mahakarya tahun ini meningkat tiga kali lipat dari tahun lalu. “Saya tidak bisa sebut angka pasti, setiap tahun gross income naik tiga kali,” ujar Dendy yang menargetkan pencapaian tahun ini Rp 15 miliar.

Dendy bersyukur, berkat usahanya, dia sudah membawa kedua orang tuanya pergi umroh ke Tanah Suci, bahkan mendaftarkan haji buat mereka juga. Pengendara Mitsubishi Pajero Sport ini pun semakin yakin menggeluti bisnisnya. “Saya yakin potensinya sangat besar. Apalagi, industri kreatif disadari pemerintah bisa mendukung banyak hal. Bisnis digital dan media sosial juga makin berkembang. Untuk digital music kami sebelumnya titip distribusi, tetapi mulai tahun ini kami sudah langsung deal dengan operator selulernya, ada 100 lebih konten yang kami distribusikan,” ujar Dendy.

Saat ini Dendy juga sibuk dengan kegiatan sosial. Melalui Mahakarya Foundation yang didirikan pada 2012, dia menyalurkan zakat karyawan dan artis ataupun sumbangan lainnya untuk anak-anak tidak mampu yang berprestasi. Saat ini MF memiliki 20 anak asuh yang tersebar di seluruh Indonesia. Anak asuh pertama yang dibantu biayanya saat ini bahkan ada yang sudah selesai kuliah dan bekerja di Pertamina.

Untuk bisnisnya, Dendy berencana go regional dalam satu dekade ke depan. “Mahakarya punya mimpi bisa merajai pasar Asia untuk 10-15 tahun ke depan dan bisa berkembang seperti Sony, Universal, Warner, SM Ent dan perusahaan multinasional lainnya yang bergerak di industri kreatif,” cetus pria yang berambisi kuliah lagi mengambil gelar MBA di Harvard Business School ini.(*)

Herning Banirestu dan Eddy Dwinanto Iskandar

Riset: M. Khoirul Umam

The post Pergulatan Dendy Reynando di Bisnis Kreatif appeared first on SWA.co.id.

Melejit di Baju Menyusui

$
0
0
Bintan Sholihat

Sebuah upaya yang awalnya bertujuan menyelesaikan problem pribadi, kalau digeluti dan dikembangkan dengan baik, bisa menjadi bisnis yang aduhai. Tengoklah apa yang dialami Bintan Sholihat dan mitra bisnisnya yang dikenalnya sejak kuliah di Institut Teknologi Bandung, Dwi Yulia Nurbani. Sebagai ibu muda, Bintan dan Dwi merasakan betul betapa repotnya menyusui di tempat umum. Terkadang si bayi telanjur menangis minta air susu ibu (ASI), tetapi tentu tak pantas menyusui di muka umum tanpa kain penutup. Karena itulah, dua sekawan ini berinisiatif membuat pakaian yang didesain khusus untuk ibu menyusui agar nyaman memberikan ASI di tempat umum.

Bintan SholihatBintan-Dwi lalu sepakat meluncurkan NyoNya Nursing Wear (NNW). “Awalnya, ide membuat brand baju hamil dan menyusui datang dari kebutuhan pribadi. Pelanggan pertama ya kami sendiri. Tetapi, ternyata banyak ibu lain yang terbantu. Mereka ingin tetap tampil cantik dan stylish saat menyusui,” ungkap Bintan.

Saat mencari konsep dan pemasok bahan, baik Bintan maupun Dwi berpanas-panas ria menyusuri Jalan Otista, Bandung. “Browsing sana-sini untuk desain baju, sambil menahan mual dan pusing yang luar biasa karena sedang hamil muda. Kami hunting bahan,” ujar Bintan mengenang. Setelah konsep digarap dalam tiga bulan, NNW resmi diluncurkan pada Februari 2014.

Produksi NNW dipusatkan di Bandung. Dalam menjalankan bisnis ini, Bintan dan mitranya berbagi modal sama rata, 50:50. “Modal awal kami tidak besar karena kami membelanjakan pos yang esensial saja. Setelah launching, baru kami suntik sedikit demi sedikit, bertahap,” ungkap kelahiran 15 Juli 1987 ini.

Strategi utama untuk menjual NNW adalah kekuatan produk. “Produk kami buat sesempurna mungkin mencakup aspek kenyamanan, estetika dan privasi. Kami berusaha tetap catch up dengan tren fashion terbaru supaya desain baju kami stylish dan fashionable,” kata Bintan. Untuk titik penjualan, mereka mengandalkan kekuatan media online. “Konsep kami memang online dan berjualan melalui website (www.nyonyanursingwear.com) dan Instagram (@nyonya_nursingwear),” ujar Bintan yang sebelumnya bekerja sebagai konsultan di Pricewaterhouse Coopers Indonesia.

Tak mengherankan, sampai saat ini NNW belum punya toko offline. Namun, NNW juga bekerja sama melalui pola konsinyasi dengan beberapa pemilik toko maternity wear di Bandung dan Jabodetabek. Sebut contoh, di Jakarta dengan Hot Momma di Mal Cinere dan Nenen Shop di Plaza Pondok Indah. Sementara di Bandung dengan Moms To Be. Pola konsinyasi juga dikembangkan dengan pengelola toko online www.babyzania.com dan www.hijup.com.

Sejauh ini tanggapan konsumen terhadap NNW sangat baik. “Awalnya kami hanya memproduksi 300 potong baju per bulan, sekarang sudah 10 kali lipatnya,” ungkap Bintan. Pada 2014, sejak awal peluncuran hingga akhir tahun, omset hampir menembus angka Rp 1 milliar. Sementara di 2015 omset rata-rata Rp 200 juta/bulan.

Tania Putri, ibu muda yang juga seorang presenter, adalah konsumen setia NNW. “Saya awalnya tahu dari hastag di Instagram,” katanya. Dia membeli karena selain modelnya lebih fashionable, kualitasnya juga bagus. Sejauh ini dia sudah membeli enam item NNW.

Berbekal kesuksesan NNW, Bintan dan Dwi sejak Ramadan 2015 berani meluncurkan beberapa merek baru: NyoNya Luxe sebagai sub-brand NNW; lalu NyL yang fokus pada baju hamil dan menyusui formal seperti kebaya dan kaftan; serta MamiBelle dengan konsep dan target pasar yang berbeda dengan NNW. “MamiBelle mengangkat tema nursing wear for all, bertujuan menyediakan baju menyusui berkualitas dengan harga terjangkau,” sebut Bintan, peraih gelar master bidang pembangunaan berkelanjuan dari Macquarie University, Sydney.

Yang menarik, belakangan Bintan mengelola bisnisnya dari Seoul, Korea Selatan, karena harus mengikuti suami yang sedang bertugas di Negeri Ginseng. Kuncinya adalah the right partner. Dwi itu teman dari saat kuliah. Kami berdua memiliki skill yang berbeda namun saling melengkapi. Dwi fokus bidang produksi dan customer relations, sedangkan saya business strategy and marketing. Saya bisa mengerjakan pekerjaan saya secara online dari Seoul dan Dwi fokus mengontrol produksi di Bandung. Tanpa partnership yang tepat, NyoNya tidak mungkin menjadi seperti sekarang, tutur Bintan. (*)

Sudarmadi dan Aulia Dhetira

The post Melejit di Baju Menyusui appeared first on SWA.co.id.

Berempat Besarkan Bank of Blood

$
0
0
Jessica Meilya & Aldrich Zuriel

Sebuah nilai pembeda yang mencuat dalam bisnis menjadi jurus ampuh agar cepat dikenal masyarakat. Begitu pun yang dilakukan oleh empat anak muda lulusan Unversitas Pelita Harapan Jakarta yang mengibarkan bendera Bank of Blood. Melihat namanya jangan disangka bisnis mereka adalah bisnis berbau darah atau terkait dunia kedokteran. Bisnis mereka adalah bisnis minuman susu dengan keunikan pada kemasannya yang berbentuk seperti kantong darah.

Jessica Meilya & Aldrich Zuriel

Jessica Meilya (kiri) & Aldrich Zuriel

Ada 7 varian rasa minuman susu fresh warna-warni yang ditawarkan Bank of Blood. “Sebenarnya dari konsepnya sendiri bisa diisi jus atau teh, tapi kami mengisinya dengan susu, kami membuat susunya ini punya warna yang mirip darah. Pewarnanya sendiri hanya menggunakan essense tanpa tambahan apa pun,” ujar Aldrich Zuriel, pendiri Bank of Blood bersama tiga temannya, yaitu Mega Febriyanniety, Jesslyn Juventia, dan Jessica Meilya. Keempatnya rata-rata berusia 22-23 tahun.

Karena bisnisnya masih tergolong baru sejak Agustus 2015, maka dalam pemasarannya lebih banyak mengikuti dari bazar ke bazar dalam sebuah kegiatan plus dipromosikan melalui media sosial seperti Instagram. “Kalau dari bazar ke bazar kan orang masih penasaran terus, jadi mereka masih mau datang. Konsep Bank of Blood ini kan sebenarnya jatuhnya musiman,” ujarnya memberikan alasan.

Hasil penjualan dari bazar ke bazar pun tergolong memuaskan. Tentu saja angka penjualannya tidak menentu bergantung pada acaranya seperti apa, lokasinya di mana, dan waktunya kapan. “Kalau lagi bagus, kami bisa jual sampai 4 ribu kantong per event. Tapi rata-rata 1.000-an kantong per event, biasanya satu event itu bisa 3-4 hari,” katanya. Sementara omsetnya bisa dihitung. Penjualan 1.000 kantong atau 4 ribu kantong per acara dikali Rp 35 ribu (harga per kantongnya) sehingga omsetnya bisa mencapai Rp 35 juta atau 140 juta per acara. Dan pastinya dengan omset sebesar itu bisnisnya sudah balik modal dalam tempo cepat.

Sejatinya, bisnis empat sekawan ini masih tergolong bisnis rumahan. “Kami produksi rumahan. Dulu produksinya berempat saja. Malamnya bikin susu sampai subuh, paginya jaga bazar, kerja rodi pokoknya. Kalau sekarang sudah ada karyawan, ada pekerja 5-7 orang khusus untuk membuat susu,” katanya sambil menjelaskan kalau produk susunya hanya bisa bertahan satu hari, sedangkan kalau disimpan di kulkas bisa sampai tiga hari.

Untuk membangun bisnis ini, keempatnya patungan modal awal, baik dari kantong sendiri maupun dari orang tuanya. Total modal awal yang terkumpul mencapai Rp 50-70 juta. Modal awal ini digunakan untuk membeli berbagai perlengkapan, termasuk bahan baku kemasan produknya dari luar negeri dan untuk membayar biaya bazar. Untuk bahan minumannya semua berasal dari lokal.

Agar bisnisnya bisa berkembang, mewaralabakan Bank of Blood menjadi salah satu pilihan. “Sekarang baru ada franchisee di Surabaya dan baru di sana. Kami ajarkan semuanya. Kami berikan bahannya, jadi kami bertindak sebagai pemasok,” kata Aldrich. Pihaknya pun belum ada rencana membuat gerai permanen untuk Bank of Blood, karena masih disibukkan dengan selalu mengikuti berbagai bazar yang ada di Jakarta. Meski demikian, keinginan membangun kafe atau restoran selalu ada. Hanya saja, konsepnya tidak akan terkait dengan Bank of Blood.


Pesaing pun mulai bermunculan. Lucunya, kadang dalam sebuah bazar bertemu dengan pesaing. Syukurnya sampai sekarang masih banyak orang yang mencari yang original atau pertama. Kami tertolong sebagai merek pertama yang membawa konsep ini dan menjadikan konsumen hafal. Jadi meskipun di beberapa acara bertemu dengan pesaing, kami masih dicari oleh banyak orang,” ujarnya bangga.

Yoris Sebastian, pengamat inovasi bisnis melihat bahwa Bank of Blood itu unik, sehingga jadi bahan pembicaraan atau word of mouth. “Sekarang kuncinya ada di produk. Produknya harus benar-benar enak. Kalau sudah enak, terus tingkatkan kualitasnya. Banyak merek yang unik tapi kemudian rontok bukan karena tidak ada prospek masa depan, melainkan karena kualitasnya tidak bagus. Jadi walau sudah kuat di WOM, kualitas harus terus ditingkatkan,” ujarnya memberikan masukan

Kalau Bank of Blood benar-benar ingin berkiprah di bisnis makanan, peluangnya besar sekali ke depan. “Dengan popularitas yang mereka miliki, harusnya mereka bisa mencari investor untuk pengembangan bisnis mereka,” ujarnya. Berbisnis di usia muda pun tidak masalah selama rajin belajar dan jangan pernah berhenti berinovasi.

Dede Suryadi dan Aulia Dhetira

The post Berempat Besarkan Bank of Blood appeared first on SWA.co.id.

Inovasi Dua Sekawan Orbitkan Bornevia

$
0
0
Tim Bornevia, (foto: gepi.co)
Tim Bornevia, (foto: gepi.co)

Tim Bornevia, (foto: gepi.co)

Di Indonesia, belum banyak, bahkan bisa dibilang belum ada aplikasi berbasis web yang fokus pada Customer Relationship Management (CRM).

Nama-nama seperti Zendesk.com dan Salesforce.com adalah perusahaan yang sudah menggarap layanan konsumen dengan plafrom web di Amerika.

Melihat pasar yang masih terbuka sangat lebar, di tahun 2013 Benny Tjia dan Tjiu Suryanto mendirikan Bernavia. Sebuah nama yang diambil dari nama tempat kelahiran para pendirinya. Benny yang lahir di Jakarta atau Batavia dan Tjiu lahir di Borneo Kalimantan. Borneo dan Batavia, kira-kira itu asal kata dari Bornevia.

“Kebetulan saya dan Tjiu sama-sama pernah belajar di Amerika Serikat dan pernah punya pengalaman kerja di Amerika juga. Saya bekerja di San Francisco Bay Area untuk Microsoft (Divisi Yammer) dan Tjiu sempat bekerja di perusahaan produksen hardware,” jelas Benny saat dihubungi SWA Online (24/2).

Meski tidak mau menyebut nominal modal pendirian bisnis tersebut, Benny mengaku dalam perintisan tidak mengeluarkan dana pribadi sama sekali. Semua disokong oleh para investor. Pertama oleh seorang Angle Investor yang tidak mau disebut namanya dengan nominal yang juga tidak mau disebutkan. “Pokoknya ratusan juta lah,” jelas Benny.

Dalam perjalannya, setelah diluncurkan tahun 2014, Bornevia mendapat banyak kucuran investasi dari perusahaan modal ventura. Sebut saja dari East Ventures dan Beenos Partners (Netprice) Jepang. Bersama 11 tim yang bergabung di Bornevia, Benny mengincar segmen bisnis modern. Di dalamnya terdapat berbagai macam sektor bisnis, termasuk e-commerce dan semua bisnis berbasis online baik layanan maupun B2B.

“Kami juga banyak aktif di beragam forum daring yang menjawab kebutuhan sekitar kepuasan pelanggan. Dari sana, kami banyak mendapatkan banyak perhatian dari bisnis asing yang tertarik menggunakan produk kami,” jelas Benny yang mengklaim Bornevia sudah digunakan di 78 negara dengan 2,200 lebih active customers/ klien di dunia.

Lulusan University of Michigan Ann Arbor Amerika Serikat itu beralasan menawarkan jasa CRM lewat platform web sangatlah prospektif untuk ekspansi hingga ranah global. Sifatnya yang universal dan dibutuhkan oleh bisnis daring di negara mana saja, sangat membantu perluasan pasar. Bedanya dari setiap negara, media yang dipakai untuk berinteraksi dengan pelangan berbeda-beda. Bisa lewat email, live chat, media sosial dan lainnya. Secara garis besar, semua bisnis yang memiliki website akan membutuhkan Bornevia.

Dengan menggunakan Bornevia, semua history pelanggan yang komplain melalui email, media sosial atau live chat akan tergabung di satu wadah yang mudah diselesaikan. Selain itu, layanan lain yang ditawarkan Bornevia adalah bantuan integrasi, API dan juga support dan on-site training untuk bisnis yang berbasis di jakarta.

Lanjut Benny, di Indonesia sendiri Bornevia sudah menggandeng beberapa startup daring lain seperti bridestory, berrykitchen dan veritrans. Tidak hanya jago di dunia daring, rupanya korporasi besar seperti Kalbe Farma dan Trikomsel (Oke Shop) juga sudah menggunakan aplikasi besutan Benny ini.

Untuk menggunakan aplikasi ini, klien bisa membayar US$ 10 atau sekitar Rp 130 ribu setiap bulan dengan fasilitas full feature. Sedangkan untuk feature live chat hanya ditarif US$ 5 atau Rp 65 ribu per agen setiap bulannya. Agen adalah customer service representative nya. Seperti di call center, memiliki agen-agen yang menjawab call.

“Untuk mengetahui secara lengkap cara kerja Bornevia, kami berikan uji coba gratis selama 17 hari bahkan bisa satu bulan,” jelas Benny yang mengaku omzet yang diterima bisa mencapai ratusan juta sejak tahun 2015.
Ia juga menargetkan Return of Investment (ROI) yang sudah ditanamkan oleh para investor akan dicapai di tahun 2016. Sebuah target yang ambisius dan terencana dengan matang. Strategi mencapai target itu antara lain dengan melakukan program marketing bersama dengan perusahaan B2B lokal.

“Untuk pasar luar negeri, kami sedang melakukan program digital marketing yang berkelanjutan ke negara-negara yang ada klien kami, seperti Israel, Peru, India, Singapore, Inggris dan Amerika Serikat,” jelas Benny optimis target ROI di tahun ini akan tercapai.

Meski demikian, Benny mengaku hambatan terberat dalam bisnis yang ditekuninya adalah minimnya akses ke para praktisi yang berpengalaman dan sukses di bisnis menjual software berbasis web. Mayarotis mereka berdomisili di luar Asia, sehingga Benny dan tim sangat sulit mendapat mentor yang sesuai dengan bidangnya. (EVA)

The post Inovasi Dua Sekawan Orbitkan Bornevia appeared first on SWA.co.id.


Cara Joseph Aditya Menggarap B2B e-Commerce

$
0
0
Joseph Aditya

Terinspirasi nama warung nasi kucing langganannya di Semarang, yaitu Ora Lali, Joseph Aditya mengembangkan situs e-commerce dengan nama Ralali.com (www.ralali.com). Namun, bisnis Ralali yang dikembangkan Aditya (panggilannya), jauh dari bisnis nasi kucing kesukaannya dulu. Ralali adalah online marketplace untuk kalangan korporasi (business-to-business/B2B) yang berfungsi sebagai mediator antara pembeli dan penyedia barang kategori maintenance, repair & operation (MRO). “Selama ini, banyak perusahaan cukup sulit mencari barang kebutuhan mereka, sehingga perlu rekanan. Lalu saya buat Ralali ini yang menggabungkan semua pemasok,” ujar Aditya, pendiri dan CEO Ralali.com.

Joseph AdityaBisnis e-commerce yang ditekuni Aditya, rupanya tak jauh dari pengalaman dia sebelumnya. Selama 8 tahun, Aditya berkarier di sebuah perusahaan lokal di bisnis peralatan uji dan pengukuran untuk industri bernama PT Tridinamika Jaya Instrument. Di perusahaan ini, ia berkarier mulai dari sales representative hingga direktur pengelola.

Merasa sudah mencapai posisi tinggi di perusahaannya dan di sisi lain pengalamannya dirasa sudah cukup, Aditya memutuskan mengembangkan usaha sendiri di bidang e-commerce. Pada 2013 ia mendirikan Ralali.com, dengan bendera resmi PT Raksasa Laju Lintang. Pada masa awalnya, ia hanya dibantu oleh seorang operator, petugas peng-update web, dan seorang tenaga pemasaran. Uniknya, jenis e-commerce yang dipilihnya bukan menjual barang-barang konsumer, melainkan penyediaan barang kebutuhan industrial dan operasional perusahaan (MRO). Misalnya peralatan untuk cleaning service.

Jujur, awalnya ini iseng-iseng saja. Tapi ternyata responsnya sangat bagus,” kata lulusan Jurusan Commerce Management Deakin University, Australia ini. “Data terakhir, jumlah klien kami sudah di atas 20 ribu pelanggan, semuanya perusahaan,” ia menambahkan.

Menurut Aditya, keyakinannya terhadap bisnis yang dikembangkannya mulai muncul ketika ada pesanan pertama dari sebuah perusahaan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Nilai pesanannya sekitar Rp 200 juta. “Setelah ada order dari Ketapang, saya mulai benar-benar yakin bahwa (barang-barang) B2B juga bisa di-e-commerce-kan,” ungkap Aditya seraya tertawa. “Kami tanya mengapa mau menggunakan Ralali.com? Alasannya sangat sederhana: di Ketapang cukup sulit menemukan barang yang mereka cari sehingga adanya B2B e-commerce ini dinilai mereka sangat memudahkan,” ia menambahkan.

Sejak saat itu, bisnis Ralali.com terus berkembang. Tak lama kemudian, persisnya Juni 2014, Ralali mendapat pendanaan dari modal ventura asal Singapura, East Ventures. Pada Juni 2015, Ralali kembali mendapat funding sebesar US$ 2,5 juta dari dua investor ternama Jepang, yakni Beenoz Plaza dan Cyber Agent Ventures.

Saat ini, diklaim Aditya, Ralali.com memasarkan lebih dari 700 subkategori barang, seperti alat kesehatan, perlengkapan laboratorium, alat ukur dan inspeksi, alat pembersih, peralatan keselamatan, peralatan listrik, peralatan otomotif dan lain-lain. Total, lebih dari 50 ribu stock keeping unit dari 500-an merek. Jumlah pengunjung dari kalangan bisnis lebih dari 30 ribu user per bulan.

Jika dilihat dari nilai bisnis, kami sudah tumbuh 10 kali lipat,” ujar Aditya. Adapun jumlah SDM, dari hanya berempat, saat ini sudah berjumlah 150 orang. Nilai rata-rata untuk order berkisar Rp 8-15 juta per order. Bahkan, Ralali.com pernah mengirim crane seharga Rp 1,5 miliar. Untuk pengiriman barang, Ralali bekerja sama dengan beberapa perusahaan jasa logistik.

Menurut Aditya, ada beberapa hal yang membuat Ralali.com mendapat kepercayaan pasar. Antara lain, harga barang yang ditawarkan transparan karena melampirkan harganya. Model pembayarannya pun berbeda dari e-commerce pada umumnya yang tinggal menggunakan kartu kredit atau transfer. Maklumlah, pada transaksi di Ralali, bisa saja yang memesan dan yang akan membayar berbeda. Pasalnya, ini untuk kebutuhan bisnis atau perusahaan. Selain itu, untuk transaksi yang nilainya besar, ada term of payment-nya, misalnya wajib down payment 50% dulu.

Menurut Aditya, untuk urusan promosi pihaknya melakukan kombinasi: online dan offline. Berbagai kampanye dan acara pun digelar, walaupun lebih sebagai sponsor resmi dari suatu acara, seperti manufacturing expo. Hampir semua ekspo di Indonesia yang berhubungan dengan pameran industri, kami ikuti,” ucap Aditya.

Kendati begitu, diakui Aditya, ada beberapa kendala atau tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan B2B e-commerce MRO ini. Antara lain, penyediaan barang melibatkan banyak pihak, sehingga harga terus berubah. Selain itu, ketersediaan barang dan kecepatan pengiriman juga menjadi tantangan bagi Ralali.com, yang terkait dengan masalah infrastruktur.

Aditya menilai bisnis B2B MRO ini sangat cocok untuk wilayah di luar Jakarta yang sulit menemukan barang-barang untuk perusahaan. Hanya saja, infrastruktur di luar Jakarta masih sering menjadi kendala. Misalnya, ada kendala koneksi Internet dan pengiriman. Karenanya, Ralali.com membuka pusat distribusi di Balikpapan. “Model bisnis seperti Ralali ini masih baru. Tetapi kami yakin, ketika kami melakukan sesuatu dengan tujuan benar, maka akan ada jalan,” ujar Aditya. “Ke depan, kami akan luncurkan versi mobile app. Sebab, sekitar 60% visitor kami menggunakan fasilitas mobile,” ia menambahkan.

Kejelian Aditya masuk ke bisnis B2B e-commerce untuk barang-barang MRO diacungi jempol oleh praktisi TI Subhan Novianda. Menurut CEO Basajans Solution ini, Aditya masuk ke bisnis yang belum banyak pemainnya. Padahal, potensi bisnisnya sangat besar. Lembaga riset Frost & Sullivan memperkirakan, pada 2020 B2B e-commerce akan dua kali lebih besar dari B2C e-commerce. Nilai B2B e-commerce mencapai US$ 6,7 triliun, sedangkan B2C e-commerce US$ 3,2 triliun. Sementara itu, Forrester Research memperkirakan tahun ini B2B e-commerce di Amerika Serikat besarnya sudah mencapai US$ 780 miliar, dua kali lipat dari B2C.

Toh, Subhan menyarankan Ralali.com untuk mendefinisikan dulu pasar (market) dan sumber (source)-nya. Apakah ingin menjadi marketplace dengan target pasar Indonesia saja atau pasar global, dan apakah sourcing-nya hanya dari pemasok Indonesia, atau ingin merambah ke pemasok dari luar negeri. “Tapi, sebaiknya Ralali fokus dulu ke pasar Indonesia, dengan pemasok dari Indonesia,” ia menyarankan. “Atau, bikin B2B marketplace untuk pasar luar dengan barang-barang Indonesia yang lebih murah atau tidak mudah didapatkan dari luar Indonesia,” tambahnya.

Selain itu, Subhan juga mengingatkan bahwa karakter dan kebutuhan B2B tentunya berbeda dari B2C. Dari sisi pembeli, mereka merupakan pembeli korporat, sehingga bisa saja satu akun memiliki tiga contact person. Cara bayarnya, selain bisa dengan kartu kredit atau transfer, juga mesti ada term of payment. Sebab, kebanyakan pelanggan B2B mengharapkan adanya tenggang pembayaran 30-90 hari. Misalnya, Alibaba.com mempunyai fasilitas e-CreditLine, bekerja sama dengan Bank of China.

Menurut Subhan, Ralali.com juga perlu menjalin kerja sama dengan penyedia jasa logistik, tetapi tetap memiliki tim logistik sendiri untuk mengelola dan memonitor semua pengiriman barang. “Ini sangat penting. Bukan hanya masalah customer satisfaction, tetapi juga menyangkut biaya dan sangat menentukan untung dan rugi dari transaksi tersebut,” ujar Subhan mengingatkan. “Jadi, akan lebih baik jika Ralali memperkuat logistiknya,” tambahnya.

 

A. Mohammad B.S. & Nerissa Arviana

The post Cara Joseph Aditya Menggarap B2B e-Commerce appeared first on SWA.co.id.

Hulaa.com, Menyasar Traveller yang Sensitif Waktu

$
0
0
Maria Suzanna Roesli

Jumlah penumpang perjalanan udara di Indonesia yang mencapai puluhan juta rupanya menarik minat dua anak muda membesut Hulaa.com, agen perjalanan online untuk memesan tiket pesawat dan hotel. Dengan diferensiasi yang kuat, Maria Suzanna Roesli (34 tahun) dan Budiyono Salim (31 tahun) yakin bisnis mereka yang belum genap dua tahun itu berpeluang untuk bersaing dengan pemimpin pasar.

Maria Suzanna Roesli

Maria Suzanna Roesli

Hulaa semakin digdaya lantaran berhasil menarik Bayu Buana Travel (BBT), agen perjalanan kawakan, sebagai salah satu investornya. Alhasil, tak hanya modal Hulaa yang menebal, jaringan bisnis BBT pun turut memperkuat startup yang dirintis pada pertengahan 2014 itu. Kini, belasan maskapai di Indonesia serta puluhan ribu hotel di seantero Indonesia dan Asia Pasifik sukses digandeng Hulaa.

Kepada SWA di kantornya, DBS Tower Lantai 9, Kuningan, Jakarta Selatan, Maria menuturkan, dia dan rekannya membesut Hulaa di bawah bendera PT Hulaa Travel Indonesia. Perempuan kelahiran Jakarta 1981 itu bukan sosok baru di ranah startup Indonesia. Alumni Jurusan Nutrition Biochemistry UC Davis, Kalifornia, AS, itu sebelumnya menjabat sebagai VP Penjualan Groupon Indonesia selama dua tahun.

Obrolan santai antara Maria dan Budiyono Salim, seorang programmer muda yang tengah mencari bidang bisnis baru, membawa mereka menggeluti bisnis online travel agent (OTA). “Pak Budi dulu bekerja sebagai programmer di Singapura, lalu pulang juga ke Indonesia. Saat kumpul dengan teman-teman, kemudian kami berkenalan. Lama-lama kami membicarakan mengenai visi dan ternyata ada kecocokan sehingga kami membangun Hulaa,” Maria mengenang.

Maria melihat, pasar perjalanan udara di Indonesia sangat besar. “Sekarang saya rasa kebutuhan travel di Indonesia sangat besar, ditambah minimal setahun sekali masyarakat berpergian seperti mudik,” tuturnya. Maria benar. Badan Pusat Statistik merilis data bahwa jumlah penumpang angkutan udara di Indonesia tahun 2014 mencapai 72,6 juta orang, naik 5,6% dari 2013 yang sebanyak 68,5 juta orang. Terlebih, International Air Transport Association menyebut pada 2034, Indonesia diprediksi menjadi pasar travel penerbangan terbesar ke-6 di dunia dengan 270 juta penumpang diperkirakan terbang ke, dari dan melalui Indonesia.

Maria dan Budi tak gentar menghadapi sejumlah pemain OTA kawakan seperti Traveloka dan Tiket.com. Pasalnya, mereka melihat masih ada peluang besar bagi situs sejenis yang memiliki daya saing yang kuat. Ketika melakukan riset dengan menjajal produk pesaing, mereka menemukan, rata-rata dibutuhkan waktu 32,6 menit untuk melakukan pemesanan. Karena itu, mereka sepakat meluncurkan layanan OTA yang menawarkan kecepatan serta kemudahan dalam melakukan pemesanan tiket pesawat dan hotel. Salah satu caranya, memodifikasi kolom pemesanan tiket sesuai dengan persyaratan khusus tiap-tiap maskapai. Pasalnya, ada sejumlah maskapai seperti Batik Air yang tidak memerlukan pengisian kolom tempat dan tanggal lahir. Ini berbeda dengan Air Asia yang mensyaratkan pengisian kolom tersebut. Selain itu, sistem Hulaa juga diklaim Maria bisa membantu mengisikan nama penumpang karena mampu mempelajari perilaku penggunanya.

Kenyamanan pengguna, imbuh Maria, semakin dimanjakan dengan keberadaan petugas layanan pelanggan 24 jam yang bisa dijangkau melalui telepon, SMS, surat elektronik hingga WhatsApp. Dengan konsep itu, diharapkan pelanggan Hulaa bisa cepat mendapat respons atas kebutuhan perjalanan udara dan penginapannya.

Aspek kenyamanan memang sejak awal menjadi salah satu fokus Hulaa. Bahkan, desain nama dan logo Hulaa pun dirancang bernuansa kasual demi mengingatkan orang pada suasana Hawaii yang ceria. “Kami ingin agar kesannya teringat Hawaii, yang fun, nyaman, santai, berbunga-bunga. Selain itu, kami ingin memberi nama yang langsung mengingatkan orang pada pengalaman dan destinasi travel,” paparnya.

Usai merampungkan konsep produknya, promosi pun digelar di kanal digital. Facebook, Twitter, Instagram dan blog menjadi andalan utama Hulaa untuk mempromosikan layanannya. Berbagai kontes digelar Hulaa demi meningkatkan popularitasnya. Salah satunya, pada Lebaran yang lalu, Hulaa meluncurkan lomba ngeblog bertema pengalaman mudik dengan hadiah paket wisata ke Phuket Thailand beserta akomodasinya. Pada Juni-Agustus lalu, Hulaa juga sempat berpromosi menawarkan diskon vocer hotel di Groupon Indonesia.

Dengan strategi yang matang, respons pengunjung cukup positif. Bahkan, Maria mengklaim, sejak meluncur secara resmi pada Maret 2015, hingga kini transaksinya terus meningkat dengan rata-rata kenaikan 110% per bulan. “Active user sebanyak 20 ribu ngecekin halaman kami dan yang melakukan transaksi 70%-nya sehari,” Maria menjelaskan.

Setelah berjalan beberapa bulan, kini Maria dan tim bisa memetakan profil pengguna Hulaa. “Pelanggan kami kebanyakan business traveller. Mereka lebih time sensitive dibandingkan cost sensitive, terpacu oleh waktu yang maunya cepat. Jadi, lebih ke market yang memang membutuhkan kecepatan dan kenyamanan,” ujarnya.

Seiring dengan meningkatnya jumlah transaksi, Hulaa pun menambah krunya. Dari awalnya hanya Maria dan Budi yang sepenuhnya menangani seluruh urusan bisnis hingga operasional, kini Hulaa diperkuat oleh 15 karyawan. Mereka terbagi ke dalam divisi pengembangan produk, layanan pelanggan serta keuangan. Selain itu, jaringan maskapai dan hotel mereka juga kian luas. Saat ini, Hulaa bekerja sama dengan 13 maskapai di Indonesia dan 27 ribu hotel di Indonesia dan Asia Pasifik. “Sebenarnya kami sudah ada data untuk hotel di Amerika dan Eropa, namun baru Januari 2015 kami akan buka 10 ribu lagi. Kami juga dibantu oleh Bayu Buana Travel yang memperkenalkan kami ke hotel-hotel dan maskapainya,” ungkap Maria.

Ke depan, Hulaa berencana melengkapi layanannya dengan paket wisata domestik dan pemesanan tiket kereta api. “Nanti turnya akan lebih dimodifikasi buat orang yang sibuk yang hanya punya waktu tiga hari. Kami juga ingin bisa melayani pembelian tiket kereta karena itu juga permintaannya banyak.”

Rina Astuti (25 tahun) yang sudah dua kali menggunakan layanan Hulaa mengaku cukup puas. Karyawati bagian pemasaran di Maspion itu ketika hendak mengubah pesanannya pernah dibantu hingga tuntas oleh petugas layanan pelanggan Hulaa. “Jadi, pernah saya mau reschedule saat saya mau pergi ke Bali, akhirnya saya dibantuin sama CS-nya Hulaa sampai tuntas,” tutur Rina yang menggunakan Hulaa saat pergi ke Bali dan Lombok.

Rina memberi saran agar Hulaa memperluas layanannya. “Berhubung saya suka berpergian dengan teman-teman menggunakan bus atau kereta api, jadi kalau bisa, kedua tiket transportasi tersebut juga bisa dibeli di Hulaa agar lebih memudahkan pelanggannya juga,” kata Rina penuh harap.(*)

Eddy Dwinanto Iskandar

Reportase: Sri Niken Handayani

The post Hulaa.com, Menyasar Traveller yang Sensitif Waktu appeared first on SWA.co.id.

Dua Dunia Marsha Siagian

$
0
0
Marsha Damita Siagian

Tidak banyak orang yang bisa menyeimbangkan dua pilihan karier sekaligus. Namun Marsha Damita Siagian (31 tahun) bertekad menempuh karier sebagai perancang busana dan konsultan pajak. Meski pernah kebingungan mengatur waktu, kini Marsha telah menemukan ritme kerja yang tepat. “Dulu, waktu pertama kali mulai, sempet panik terus emosian karena kelihatannya kerjaan banyak, tapi sekarang manajemen proyeknya sudah jalan,” tutur dara lulusan Jurusan Akuntansi dan Keuangan University of Melbourne, Australia, dan Teknologi Desain Fashion London College of Fashion, Inggris ini.

Marsha Damita SiagianMarsha membesut lini busananya sejak 2012 di bawah label Marie et Lu, sesuai dengan nama neneknya, usai kuliah di London. Kemudian, lantaran masukan dari konsumen, finalis 15 besar Miss Indonesia 2006 dari Sumatera Utara itu mulai memberanikan diri menggunakan namanya sendiri, Marsha. “Label Marsha diperuntukkan buat wanita independen, bisa dipakai di banyak acara, berulang kali, agak spesial untuk orang yang memakai,” ujar perempuan berdarah Batak-Tionghoa-Manado itu memaparkan konsepnya.

Belakangan, dia menelurkan label keduanya, Dongengan. “Awalnya kakak saya yang punya ide. Karena, menurut dia, kain Indonesia kan banyak, sayang kalau nggak dipake. Dongengan itu baju harian batik seperti jumputan atau batik celup,” ungkapnya kepada SWA di Kafe Anomali, Setiabudi, Jakarta Selatan. Label Marsha dibanderol Rp 400 ribu-3,5 juta, sementara Dongengan ditawarkan Rp 300-700 ribu.

Meskipun Marsha telah mengantongi gelar perancang busana dari universitas kenamaan di Inggris, praktiknya jauh lebih melelahkan untuk mewujudkan impiannnya meluncurkan labelnya sendiri. Awal berkarier sebagai perancang busana, ia bekerja sama dengan temannya. Namun, karena kesibukan Marsha dan temannya yang sama-sama masih menjadi karyawan penuh waktu, akhirnya usaha pertamanya kandas. “Teman saya kerja, saya magang dan kerja, itu tahun 2010-2011. Akhirnya ya nggak lanjut,” ujar Marsha yang sempat berkarier sebagai Staf PDCA dan Investasi di Asuransi Astra Buana, dan dosen di La Salle College, Jakarta.

Selain itu, dia juga terbentur perbedaan yang cukup tajam antara teori di bangku kuliah dan realitas di lapangan. Saat studi di London, dia diajarkan bahwa tugasnya sebagai desainer hanya menggambar, mencari contoh kain, sementara ketika produksi, ia hanya tinggal membuat ilustrasi tampak depan dan belakang busananya. “Tapi kenyataannya di Indonesia tidak bisa begitu. Eksekusinya panjang. Nunggu ini-itunya lama,” ungkapnya blak-blakan.

Namun, Marsha, yang dua bulan terakhir bergabung di kantor konsultan pajak, terus berusaha. Akhirnya, dia mendapatkan klien profesional pertamanya, yakni diva pop Indonesia, Titi DJ. “Saya ikut lomba desain batik dan model busana untuk baju panggung Lady Gaga dan menang. Sayangnya, dia batal tampil di Indonesia, akhirnya dialihkanlah ke Titi DJ. Lombanya tahun 2012, beberapa bulan setelah meluncurkan merek Marie et Lu,” tuturnya. Selain Titi DJ, selebritas lain seperti Mika Tambayong juga menjadi pelanggannya.

Pergulatannya terus berlanjut. Sebagai desainer pemula, ia sungguh merasa terbebani dengan biaya sewa ruang pamer. “Kalau dihitung, memang nggak make sense bagi desainer baru untuk membayar sewa toko. Jadi, harus pintar membuka peluang usaha tanpa mengeluarkan modal banyak,” paparnya. Alhasil, ia lebih memilih menempuh jalur online untuk memasarkan busananya. “Sekarang saya masih jual direct, ada gerai di www.istyleup.com yaitu e-commerce mulai bulan lalu. Saya masih mencari ritel untuk toko fisik tapi belum ketemu yang fix,” ujarnya.

Keterbatasan itu tak membuatnya berhenti berkarya. Berkat perjuangannya, busana kreasinya sempat ditampilkan di sejumlah ajang bergengsi seperti acara Denny Malik 32 Tahun Berkarya di Jakarta pada 2012, dan menjadi desainer partisipan di Jakarta Fashion Week 2014. Ia juga menjadi finalis di ajang D3 Asian Contemporary Daywear, Hong Kong, dua tahun silam.

Busana Marsha rupanya telah memiliki penggemarnya sendiri. Di antaranya Yuliana Sudjono, yang menjabat sebagai partner di Kantor Akuntan Publik Tanudiredja Wibisana & Rekan. Yuliana pertama kali mengenal label kreasi Marsha lantaran empat tahun silam melihat rekannya yang tak lain kakaknya Marsha mengenakan busana yang menarik perhatiannya. “Nah, kebetulan teman saya ini batiknya lucu-lucu, model anak muda. Kombinasi warna dan kainnya menarik sekali yang detailnya juga diperhatikan. Misalnya ada list-list dengan warna dan corak yang indah atau sambungan kain yang pas banget walaupun dari kain yang berbeda. Harganya juga pas. And last but not least, jahitannya rapi dan pas di badan,” tuturnya.

Sejak itu Yuliana berkenalan dengan label Marie et Lu dan Dongengan, serta menjadi pelanggan setianya hingga kini. “Untuk Marie et Lu juga karena kombinasi warna yang bagus, model yang unik dari ide yang orisinal dan keren. Bahannya pun terlihat eksklusif, dan kualitas jahitan bagus serta attention to detail yang memuaskan. Oh ya, last but not least, nyaman dipakai,” kata Yuliana memuji busana Marsha habis-habisan.

Berkat busana Marsha, Yuliana pun merasa tubuhnya terlihat langsing. “Teman saya yang melihat saya memakai batik Dongengan selalu menanyakan di mana saya menjahit batik tersebut, sampai-sampai kolega bisnis saya dari Singapura ikut tertarik memesan batik Dongengan, hahaha ….,” kata Yuliana seraya tertawa.

Yuliana menyarankan Marsha agar terus kreatif merancang busana supaya pamornya terus meningkat, serta agar busana batik kian membudaya di kalangan anak muda dan eksekutif muda Indonesia.

Marsha sendiri masih memiliki banyak rencana untuk melejitkan labelnya. Terlebih, kantornya memberikan fleksibilitas kerja yang memungkinkan dia menyalurkan hasrat bisnisnya. “Di kantor agak fleksibel. Ada hari-hari ketika jam kerja saya sudah cukup, saya bisa meminta persetujuan agar bisa mendapatkan waktu untuk mengejar bisnis. Saya mau mengembangkan ready to wear yang lebih ke knitwear karena saya lihat di Jakarta banyak yang pakai knitwear. Maunya membuat knitwear yang variatif karena kan knitwear nggak harus mutlak dibuat tebal,” paparnya semringah.

Eddy Dwinanto Iskandar

Reportase: Aulia Dhetira

BOKS:

Marsha Siagian

Pendidikan:

= Februari 2002-Maret 2005: Sarjana Muda Akunting & Keuangan University of Melbourne, Australia

= September 2006-Juni 2007: Further Education Certificate: Fashion Portfolio London College of Fashion, Inggris

= September 2007-Juni 2010: Sarjana Muda Teknologi Desain Fashion (Busana Wanita) London College of Fashion, Inggris

Pengalaman Kerja:

= Juli 2005-Agustus 2006: Staf Manajemen Proyek Strategis dan Perencanaan Korporat Asuransi Astra Buana, Indonesia

= Maret 2007: Studio Assistant Internship Ada Zanditon, Inggris

= Juli-Agustus 2008: Design Assistant Internship Bubble Girl, Indonesia

= Januari-Maret 2009: Studio Assistant Internship La Petite Salope, Inggris

= Juni-Agustus 2009: Asisten Desain MacMillan, Inggris

= Oktober-Desember 2010: Asisten Teknis Digital Print LCF Digital Print Bureau, Inggris

= Juli 2010-Agustus 2011: Pendiri dan Wakil Desainer Satu Tollefsen, Inggris

= Desember 2011-April 2014: Dosen Fakultas Desain Fashion LaSalle College International Jakarta, Indonesia

= Mei 2012: Denny Malik 32 Tahun Berkarya, Jakarta Theater, Indonesia

= September 2012-sekarang: Pendiri dan Creative Director for ready-to-wear luxe smart casual womenswear label Marie et Lu, Indonesia

April 2013-sekarang: Creative Director for ready-to-wear traditional Indonesian textile-inspired womenswear and menswear label Dongengan, Indonesia

Pencapaian:

= Agustus 2006: 15 Finalis Top Miss Indonesia 2006, Indonesia
=
Juni 2007: Pemenang kompetisi colour matching: Society of Dyers and Colourists, Inggris

= Oktober 2013: Finalis kompetisi desain fashion: D3 Asian Contemporary Daywear, Hong Kong

Acara:

Oktober 2013: Signature by LaSalle International College Jakarta, Senayan City, Jakarta, Indonesia; Desainer Partisipan Jakarta Fashion Week 2014

The post Dua Dunia Marsha Siagian appeared first on SWA.co.id.

Laksita Pradnya P. Omset Ratusan Juta Rupiah dari Kaus Kaki

$
0
0
Laksita Pradnya P

Cantik, muda dan kaya. Itulah gambaran sosok belia yang memiliki nama Laksita Pradnya P. Di usia 20 tahun, ia mampu meraup pundi-pundi uang dari bisnis kaus kaki yang dibesutnya. Lewat merek Voria Socks, dara berdarah Kebumen, Jawa Tengah, ini menawarkan produk kaus kaki yang kerap dianggap murah menjadi produk branded. Hanya dalam tempo tiga tahun, Laksita mampu mendulang omset hingga Rp 300 juta per bulan dari jualan kaus kaki.

Laksita Pradnya PLaksita mengamati, selama ini kaus kaki tidak menjadi produk fashion. Warnanya monoton dan tidak variatif. Dari hasil riset kecil-kecilan yang dilakukannya, ia sampai pada kesimpulan bahwa pasar sejatinya jenuh dengan kaus kaki yang begitu-begitu saja. “Padahal, mereka sebenarnya ingin fashion yang lebih gila. Dari situ saya mulai lihat peluang,” dia menceritakan ikhwal ketertarikannya menekuni bisnis kaus kaki.

Mengawali bisnis, ia menjual kaus kaki motif tribal yang ditemukannya di Pasar Baru, kawasan pertokoan di Bandung. Waktu itu ia ingat modalnya Rp 45 ribu. Ia kemudian menjual kembali melalui Instagram. “Ternyata, pasarnya ada,” katanya. Sadar bahwa kaus kaki yang dijualnya adalah produk sisa ekspor, ia pun memberanikan diri mencari mitra pabrik supaya bisnisnya bisa terus menggelinding. Setelah mendapatkan mitra yang bisa diajak kerja sama, ia kemudian melakukan riset produk untuk menghasilkan produk yang berkualitas dengan motif yang bagus. Menggandeng salah satu pabrik kaus kaki di Kota Kembang, ia kemudian membesut Voria Socks, tiga tahun lalu. “(Nama) Voria diambil dari euforia. Saya berharap kaus kaki ciptaan saya ini bisa menjadi sebuah euforia,” ujarnya.

Ternyata, respons pasar bagus. Kaus kaki yang dipandang murah, jadi sesuatu yang branded dan masuk ke kelas menangah-atas. Pemasaran melalui Instagram masih menjadi pilihannya. “Saat ini memang era visual. Semua yang bagus secara visual bisa dipasarkan. Oleh sebab itu, saya serius dalam memasarkan lewat online. Setelah difoto, kaus kaki yang saya buat terlebih dulu saya poles,” paparnya. Agar lebih banyak yang lihat, ia juga menggeber strategi mention ke teman untuk dapat diskon. “Istilahnya semacam getok tular. Dan, ternyata hal tersebut berhasil. Selain itu, Voria juga memperbolehkan untuk membeli kaus kaki hanya satu biji, bukan sepasang. Jatuhnya malah lebih murah,” ujarnya.

Laksita juga menjadi pemasok untuk reseller melalui toko-toko di beberapa kota di Indonesia dan luar negeri. Tak mengherankan, pasarnya sudah ada di seluruh Indonesia. Pasar luar negeri pun tak luput digarapnya. Voria sudah mengepakkan sayap ke Singapura, Malaysia, Brunei dan Australia. Namun, dominasinya masih pasar lokal yang mencapai 70%. Dan, Bali menjadi kontributor terbesar untuk penjualan. Dalam sebulan, ia mencatat produksi mencapai 500 pasang. Harganya dibanderol Rp 30.000 untuk satu kaus kaki. Sepasang dbanderol Rp 85.000. “Mengapa harga per biji jatuhnya lebih murah, karena kami ingin menciptakan tren baru bahwa kaus kaki tidak harus sama, tetapi bisa mix and match,” ungkapnya. Untuk branding, ia berani memakai artis untuk meng-endorse Voria, antara lain Pevita Pearce.

Diakuinya, perjalanan meraih kesuksesan bukan tanpa kendala. Ketika menggulirkan bisnis kaus kaki, banyak yang mencemooh. Bahkan, sang ibu pun sempat menentangnya. “Orang-orang yang nyinyir dan mencemooh pasti ada. Mereka selalu menjatuhkan saya dengan kata kata ‘untuk apa bisnis kaus kaki, kan tidak kelihatan’. Ya sudah, saya bikin supaya terlihat,” ujarnya. Sementara, sang ibu menentang karena ia ingin dirinya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. “Ibu saya sempat kecewa saya tidak mau kuliah,” imbuhnya.

Halangan tersebut tak membuatnya surut melangkah. “Saya tetap keep easy dan menjalankan bisnis saya. Saya makin semangat, saya menjadikan semua celotehan mereka sebagai mesin pendorong saya, untuk membuktikan sukses itu tidak hanya dimulai dari gelar,” paparnya. Waktu memulai menawarkan produk pun banyak penolakan. “Karena, kaus kaki itu memang tidak terlihat dan masih sangat biasa. Belum istimewa. Makanya, dari situ kemudian saya buat kaus kaki ini lebih istimewa,” ucapnya.

Ia menuturkan, sejak kecil ia memang sudah hobi berbisnis. Dibesarkan oleh ibu yang single parent, ibunya selalu mengajarkan dirinya untuk berusaha sebelum mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. “Ibu saya ingin menunjukkan bahwa cari uang itu tidak gampang. Karena didikan demikian, saya akhirnya mulai peka dengan barang,” katanya . Misalnya, saat SD, ia sudah berjualan pensil. Saat SMP, ia berjualan pulsa. “Sempat dijuluki juragan pulsa. Dari tiga angkatan, yang jualan pulsa hanya saya,” tuturnya.

Saat SMA, ia semakin rajin berjualan, mulai dari kuliner hingga kerudung. Sampai suatu saat ia menjadi korban bully karena diketahui dari tes IQ, ternyata IQ-nya hanya rata-rata. “Temen-teman menertawakan saya,” ceritanya. Bahkan, ada satu teman yang mengatakan bahwa ia tidak akan sukses dengan IQ hanya rata-rata. “Intinya, dia meremehkan saya waktu itu. Saya sempat nangis,” imbuhnya. Ia pun kemudian bertekad untuk membuktikan kepada temannya tersebut bahwa ia bisa sukses. “Saya bahkan sampai tweet dan mention ke temen saya dengan caps lock semua, “Lihat, lima tahun lagi siapa yang lebih sukses di antara kita, saking saya emosi,” ceritanya.

Cemoohan itu juga membuat ia merasa tertantang. Ia lalu memutuskan berbisnis. Ia menentang keinginan sang ibu untuk melanjutkan pendidikan. Pertemuan dengan pemilik Zanana Chips membuahkan usaha bareng untuk ayam lunak dengan brand Ayam Razet. Tak bertahan lama karena produksi tidak stabil, ia melirik bisnis risol. Dalam tiga bulan bisnis risolnya punya tiga cabang. Namun, lagi-lagi karena kendala masalah produksi, bisnis risolnya juga tutup. Bisnis minuman jus kemudian dijalaninya. Ternyata, hanya bertahan tiga bulan.

Namun, ia tidak kapok. Ia bertekad akan tetap menekuni dunia usaha. Ia masuk Akademi Entrepreneur. Ia kemudian melirik bisnis fashion. “Saya belajar dari pengalaman bisnis kuliner saya, ternyata selalu ngadat di produksi. Saya akhirnya mencari yang saya langsung selling. Saya jual baju, jual kerudung, di toko online. Sampai akhirnya waktu saya jalan-jalan, saya menemukan kaus kaki motif tribal yang menurut saya bagus, namun dijual dengan harga cukup murah,” paparnya.

Kini, lewat Voria Socks, ia terbilang sukses. “Saya punya impian, suatu saat saya bisa punya gerai offline yang konsepnya sederhana, seperti rumah Hobbit. Jadi, semua bisa melihat berbagai macam produk saya sembari membeli. Saya juga sedang berusaha meningkatkan kualitas kaus kaki saya agar di pasar ekspor, kualitasnya tidak kalah dibanding kaus kaki branded,” paparnya.(*)

Henni T. Soelaeman dan Rizky C. Septania

The post Laksita Pradnya P. Omset Ratusan Juta Rupiah dari Kaus Kaki appeared first on SWA.co.id.

Solusi Dana Pendidikan dari Danadidik.com

$
0
0
Dipo Satria Ramli, co-founder dan CEO DANAdidik.com
Dipo Satria Ramli (kanan) dan Januar Sudharsono, Co Founder Danadidik.com

Dipo Satria Ramli (kanan) dan Januar Sudharsono, Co Founder Danadidik.com

Tidak sedikit dari masyarakat Indonesia yang demi mengejar mimpinya belajar di bangku sekolah hingga perguruan tinggi, harus terputus di tengah jalan karena faktor ekonomi. Ada pula yang memilih meminjam dana kepada teman atau saudaranya guna menyelesaikan biaya pendidikan yang semakin lama semakin meningkat.

Menurut Dipo Satria Ramli, Co-founder dari Danadidik.com sebanyak 73% orang tua murid di Indonesia rela meminjam dana ke berbagai pihak untuk keperluan biaya pendidikan anak-anaknya. Bisa lewat keluarga, teman terkadang juga terpaksa meminjam kepada para sumber dana dari loan shark (lintah darat) atau yang familiar di masyarakat disebut dengan rentenir.

“Dulu almarhumah ibu saya pernah menunggak bayar uang kuliah saya. Sebelum menikah, istri saya juga pernah kesulitan membayar uang kuliahnya. Lalu, saya kontak beberapa bank, tapi tidak ada yang bisa. Sejak itu saya terpikir untuk berbuat sesuatu. Maka, lahirlah Danadidik.com ini,”kenang penggemar olah raha paralayang itu.

Danadidik.com adalah platform pinjaman pelajar (student loan) yang menggunakan sistem penggalangan dana (crowdfunding). Mulai berdiri pada 17 Juni 2105, Danadidik bertujuan membantu mahasiswa yang membutuhkan pinjaman untuk menyelesaikan studi mereka, sambil menawarkan imbal hasil (return) yang menarik untuk sponsor atau/ investor. Misinya, kesempatan yang sama untuk pendidikan tinggi.

Mantan Direktur di Macquarie dan ABN AMRO itu tidak sendiri, bersama dua sahabatnya Januar Sudharsono, (CTO) dan Eka Ginting, (mentor). Dipo memantapkan target pasar yang dibidik adalah para siswa yang akan bekerja setelah lulus, bisa dari kalangan mahasiswa, akademi, SMK, atau terkadang sertifikasi. Syaratnya kelulusan dalam waktu kurang dari 2 tahun dan minimal peminjaman rata-rata Rp 10 juta.

“Danadidik.com bullish terhadap beberapa industri seperti kesehatan (medikal) & engineering, tapi terbuka untuk siapa saja,” lanjut ayah dua anak itu.

Bedanya dengan sumber pendanaan lainnya, Danadidik.com diklaim sebagai pemula produk student loan di Indonesia. Selain itu, menawarkan masa tenggang (grace period) dalam peminjaman dana pendidikan. Ini adalah masa dimana tidak ada pembayaran angsuran selama siswa masih menyelesaikan studi-nya. Sementara pinjaman lain, umumnya mengharuskan pembayaran angsuran 1-2 bulan setelah dana cair.

Tidak hanya itu, bagi sponsor (pemberi dana) kehadiran Danadidik bisa menjadi kesempatan untuk diversifikasi. Sebagai peluang investasi alternatif yang bisa compund dan memberikan return plus bunga. Dan tentunya menjadi bagian dari masa depan dan karir seseorang.

“Sedangakan untuk siswa (penerima dana) pengembalian bunga nya sangat terjangkau mendekati 0%. Tepatnya antara 1-5,0% per bulan sebelum resiko default. Pengembalian dana dilakukan setelah mahasiswa/siswa tersebut bekerja dan mempunyai masa tenggang (grace period). Periode dimana peminjam masih menyelesaikan studi dan tidak diharuskan membayar cicilan,” jelas Dipo.

Keunggulan lainnya, seluruh pendapatan bunga (interest income) dari penerima dana, akan dikembalikan ke sponsor. Lalu, dari mana Danadidik mendapatkan profitnya? Dipo merinci keuntungan Danadidik diperolah dari fee transaksi (transaction fee), yang terdiri dari beberapa sumber: registrasi, biaya arranging fee dan servis fee selama pembayaran cicilan.

Dengan model transaction fee, diharapkan agar insentif Danadidik in-line dengan sponsor. Artinya, Dipo dan tim hanya akan mendapatkan keuntungan bila sponsor mendapatkan return.

Alhasil, mulai Februari 2016, ada lebih dari 2,500 siswa mendaftar di Danadidik dan setiap bulan rata-rata pertumbuhannya mencapai 15-20%. Hingga 2016 Dipo menargetkan sebanyak 500 siswa dapat pendanaan pendidikan dari Danadidik.

Mengenai investasi, Dipo mengaku sumber investasi dari kantong pribadi para pendiri. Meski tidak mau merinci nominalnya, target break even pointnya dalam kurun waktu 18-24 bulan. Tapi perlu diingat kembali, Danadidik adalah situs penggalangan dana (Crowdfunding atau Peer-to-Peer Lending) khusus untuk pinjaman pendidikan (student loan).

“Jadi pendanaan tiap pinjaman diberikan oleh sponsor tapi Danadidik juga berkomitmen untuk mengalokasikan dana pribadi kami untuk tiap kampanye penggalangan dana siswa,” jelas pengagum pengusaha sosial Muhammad Yunus itu.

Sebagai pengusaha pemula, Dipo dan kawan-kawan mengaku kesulitan dalam meyakinkan industri keuangan. Bahwa pembiayaan pendidikan resikonya tidak sebesar yang ditakutkan dan secara komersial peluangnya sangat besar dan prospektif. (EVA)

The post Solusi Dana Pendidikan dari Danadidik.com appeared first on SWA.co.id.

Perjuangan Abie Abdillah Bergelut di Bisnis Desain Rotan

$
0
0
Abie Abdillah

Kekayaan ragam rotan di Nusantara telah menjadi ketertarikan tersendiri bagi Abie Abdillah. Penerima penghargaan desain di banyak ajang internasional itu punya ambisi besar untuk mengangkat derajat rotan Indonesia, hingga bisa terkenal di kancah internasional. Bagaimana tidak. Abie menceritakan, sekitar 80% kebutuhan material rotan dunia disokong dari Indonesia. Itu pun dari sekitar 600 spesies, baru 8% yang dimanfaatkan menjadi komoditas komersial. “Jadi masih besar potensinya,” ujarnya.

Abie AbdillahIndustri rotan sendiri, ia menuturkan, sempat mengalami stagnasi. Salah satu penyebabnya, kurangnya perkembangan desain material rotan dalam beberapa dekade terakhir. Maka tak heran, ia kemudian menekuni benar desain rotan. Ia ingin menciptakan desain mebel berbahan rotan dengan nuansa modern kontemporer yang disesuaikan dengan selera pasar.

Ia punya mimpi membuat rotan sebagai indentitas material bangsa layaknya seperti Tiongkok, yang terkenal sebagai Negeri Tirai Bambu. Jadi, semacam national branding lewat unsur material, memperkenalkan Indonesia tidak hanya lewat budaya, tetapi bisa pula lewat rotan. “Saya ingin rotan Indonesia berkelas dan bermartabat. Skill perajin di Indonesia merupakan yang tercanggih di dunia untuk rotan dan ukir,” ujar pria lulusan Jurusan Desain Produk Institut Teknologi Bandung ini.

Sejak masih kuliah ia sudah menggali pengetahuan seputar rotan. Abie bahkan sempat mendatangi perusahaan PMA asal Jepang, Yamakawa, di Cirebon. Saat itu dia merasa beruntung diberi kesempatan berbincang dengan pemiliknya, Yuzuru Yamakawa.Ada satu kalimat dia yang selalu saya kenang, ‘desainer Indonesia kalau mau dikenal dunia jadilah desainer rotan’,’’ ujarnya menceritakan. Berbekal nasihat itulah, akhirnya terbesit dalam benaknya membuka bisnis studio desain yang punya kekhususan produk rotan bernama Studio Hiji. Studio itu, ia merintisnya sejak tahun 2009, tetapi baru diseriusi tahun ini.

Tak hanya menawarkan jasa desain, Studio Hiji juga masuk ke hulu dengan menjual produk hasil desainnya sendiri. Meski saat ini dari sisi omset belumlah terlalu besar, berkisar Rp 30-40 juta per bulan, ia percaya potensi Studio Hiji bisa besar ke depan.

Berbagai strategi telah ia persiapkan, termasuk pemilihan pasar yang dikhususkan bagi arsitek, kontraktor dan desainer interior. Harapannya, agar timbul pesanan untuk hotel, restoran dan kafe. “Untuk produksi sendiri, saat ini kami belum punya tempat produksi sendiri. Kami ada empat mitra produksi untuk rotan, dan dua mitra produksi untuk kayu,” katanya menjelaskan.

Sekarang setidaknya sudah beberapa produk yang berhasil diekspor, dengan komposisi 80% untuk pasar lokal dan 20% pasar ekspor. Perjuangan Studio Hiji untuk bisa mengekspor, ia mengisahkan, tidak mudah alias sempat berdarah-darah lantaran harus mencari calon pembeli di pameran internasional, seperti di Singapura. “Kadang jika saya memaksa ikut pameran, saya keluar uang puluhan juta tapi ketika pulang tidak ada buyer yang beli. Pada saat 1-3 tahun awal masih sangat struggle,” ungkapnya.

Keluar uang puluhan juta untuk pameran tersebut tidaklah mudah, karena sejak memutuskan untuk fokus di Studio Hiji dan resign dari sebuah perusahaan di tahun 2012, otomatis Abie tidak punya pendapatan tetap. “Saya sempat stres, yang tadinya punya penghasilan tetap per bulan, jadi tidak ada. Lalu, jika ada produksi yang tidak sesuai dengan ekspektasi, harus ditalangi untuk produksi lagi,” ia menambahkan.

Namun, kegigihannya untuk terus berjuang tidak sia-sia. Saat ini, Studio Hiji telah punya satu distributor untuk Asia Tenggara yang berbasis di Singapura, yaitu The Common Goods, dimiliki oleh Tommy Huang dan Angeline Tn. Pertemuan Abie dan Angeline bermula ketika ia mulai mengikuti pameran di Singapura secara rutin. “Tahun 2013 Angeline ingin memiliki bisnis sendiri. Mereka meminta izin untuk menjadi partner distribusi saya, sehingga di tahun 2014 kami tanda tangan kontrak dan mereka jadi distributor untuk Asia Tenggara,” Abie menerangkan. Lewat distributor inilah, saat ini Studio Hiji telah memiliki klien salah satu restoran di Malaysia.

Ke depan, ia punya target untuk bisa ikut pameran di kota Milan yang merupakan kiblat furnitur. Karakter pembeli lokal, disebutkan Abie, mudah terpengaruh oleh portofolio di luar negeri. “Jika tidak punya nama di luar, tidak akan dilirik. Maka, saya ikut banyak kompetisi dan penghargaan di luar negeri, sehingga cukup membantu dalam pemasaran dan penjualan,” ungkapnya.

Kepiawaian Abie dalam mendesain produk rotan, rupa-rupanya juga memikat hati William Simiadi, Direktur Grup Vivere. Ia menggandeng Abie untuk mendesain rangkaian produk Vivere yang akan diluncurkan bulan Maret mendatang. Vivere dalam hal ini tidak membeli produk Abie, melainkan berkerja sama dalam pengembangan desain produk. “Produk yang akan kami luncurkan seputar furnitur, seperti sofa, accent chair, dining table, coffee table, dan lain-lain,” ujar William.

William melihat Abie sebagai desainer muda berbakat yang punya kemampuan dalam memahami keinginan dan arahan klien. “Ia cukup ahli untuk produk rotan,” ia menegaskan.

Ananda Putri & Maria Hudaibyah Azzahra

Riset: M. Khoirul Umam

BOKS:

Profil Studio Hiji

Nama pemilik/pendiri: Abie Abdillah

Tempat, tanggal lahir: Bandung 31 Desember 1986

Bisnis: Studio Hiji (desain dan produk mebel rotan dan kayu)

Prestasi:

= Platinum Prize Winner dalam Indonesia Furniture

Design Award (2011)

= Honorable Mention Singapore Furniture Design

Award (2011)

= Rising Asian Talents di acara Maison & Objet Asia

2015 di Singapura

= Innovative Craft Award di Thailand (2015)

The post Perjuangan Abie Abdillah Bergelut di Bisnis Desain Rotan appeared first on SWA.co.id.

EnvyMe, Wujud Rasa Iri Diana kepada Dunia Kecantikan

$
0
0
Diana Anggriani

Merasa prihatin karena masih jarang produk kosmetik sehat di Indonesia, ditambah minatnya yang besar di dunia kecantikan, serta modal latar belakang pendidikan farmasi ditangannya, membuat Diana Anggriani yakin ketika mendapat dorongan kuat memproduksi dan memasarkan produk kosmetik di Bandung. Maka, di bawah CV Kosmetika Safi Adikarya, akhir 2011, lahirlah produk kosmetik EnvyMe yang berarti “iri kepadaku” – sebuah penyataan yang bermakna ganda: iri karena terpikat dan ajakan untuk mengikutinya.

Diana AnggrianiBukan tanpa pengalaman Diana berbisnis kosmetik sendiri. Mojang priangan ini memiliki latar belakang sebagai sarjana farmasi lulusan Universitas Padjadjaran (2004-09). Kemudian, ia melanjutkan pendidikan Apoteker di Fakultas Farmasi di universitas yang sama (2009-10). Setelah lulus, ia bekerja di salah satu perusahaan kosmetik ternama di Bandung selama 3,5 tahun sebagai apoteker penanggung jawab divisi riset dan pengembangan produk.

Menurutnya, ia berani terjun membesut sendiri bisnis kosmetik karena pasarnya di Indonesia sangat besar. Maklum, kosmetik saat ini sudah menjadi kebutuhan primer wanita Indonesia. “Sehingga saya memilih berbisnis kosmetik,” katanya menegaskan. Karena baru merintis bisninya, Diana melakukan produksi di pabrik orang lain (toll manufacturing). Pabrik rekanannya ini memiliki kapasitas produksi yang besar dan sudah mendapat sertifikat Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

Produk kami hydroquinone free, mercury free, dan paraben free sehingga aman dipakai jangka panjang karena menggunakan ekstrak alami dalam setiap produk,” ujar Diana berpromosi. Ekstrak alami yang dipakai adalah ekstrak pepaya yang mengandung enzym papain sebagai exfoliator alami, dan apple serum stem cell sebagai anti-ageing yang mengandung anti-oksidan kulit. Segmen pasar yang dibidik adalah wanita muda berusia 15-25 tahun. “Biasanya di usia seperti itu belum mempunyai kosmetik yang cocok atau dalam pencarian produk yang tepat untuk dirinya. Sehingga, lebih mudah kami edukasi,” katanya.

Kisaran harga produk yang dipasarkannya, Rp 28-130 ribu. Untuk yang Rp 28 ribu adalah toner. Adapun yang paling mahal adalah apple serum. Ia juga menjual dalam paket, yaitu Papaya Deluxe whitening series Rp 280.000/paket, dengan isi: facial foam, toner, night cream, daycream, dan serum. Produk Papaya Deluxe dan juga dua produk lainnya, yaitu peeling dan kefir mask, termasuk yang paling banyak diburu pelanggan. “Saat ini, 60% penjualan berasal dari tiga rangkaian produk tersebut,” cetusnya. Saat ini ia memiliki reseller di Sumatera (Medan), Jawa (Jabodetabek, Jawa Barat), Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan NTB (Lombok). Konstribusi terbesar, yaitu 40%, berasal dari reseller di Jabodetabek dan Ja-Bar.

Sejatinya, bukan perkara mudah bagi Diana untuk membesarkan bisnisnya. Terlebih, dalam bisnis kecantikan diperlukan kepercayaan yang tinggi dari pelanggan untuk menggunakan produknya. Itu sebabnya, selain dirinya juga menggunakan produknya, juga pada saat awal berbisnis, ia merawat wajah tantenya yang memilki flek menahun selama 12 tahun. “Saya rawat bukan hanya menggunakan krim dan serumnya. Tetapi asupan makanan, olahraga dan keseluruhannya. Ketika akhirnya kondisi kulitnya semakin baik, saya senang dan akhirnya teman-teman tante pun mencoba produk EnvyMe karena melihat perkembangan kulitnya,” ungkapnya mengenang.

Ia pun terus memperluas pasar dengan melakukan promosi di media online atau media sosial, blogger dan marketplace. Melalui media online ini, selain mempromosikan produknya, ia juga mengumpulkan berbagai testimoni dari pelanggan yang telah menggunakannya sehingga EnvyMe semakin dipercaya. Ia juga akan memperbanyak video blogging untuk memberikan tutorial penggunaan produk kosmetik, atau apa saja kosmetik yang ia gunakan, olahraga yang ia lakukan, yaitu yoga, dan hobinya minum jus untuk menunjang kecantikan luar dan dalam. “Saya ingin membagikan kepada sebanyak-banyaknya orang. Dan untuk campaign EnvyMe di 2016 adalah #cantikalami #nomakeup,” katanya menginformasikan.

Promosi via media online cukup ampuh mendongkrak penjualan. “Kontribusi penjualan online 80%, dan offline 20% yang salah satunya melalui penjualan di Alun-Alun Grand Indonesia Jakarta dengan sistem konsinyasi,” katanya. Adapun target penjualan di tahun ini diharapkan bisa meningkat 2-3 kali lipat. Dengan demikian, promosi pun akan terus ditingkatkan. Dan, saat ini EnvyMe sudah memilki duta merek untuk produk, yaitu seorang celebgram atau nitizen yang aktif di media sosial Instagram bernama Helmi Nursifah (@helminursifah)

Wasiaturrahma Gafmi, Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Surabaya, menilai EnvyMe bisa bersaing dengan kosmetik lainnya bila mempunyai nilai lebih. Selain itu, strategi yang harus dikembangkan EnvyMe adalah menjaga kepercayaan pelanggan dengan cara meningkatkan kualitas produk dan harga yang terjangkau, serta terus melakukan inovasi melalui riset yang berkualitas. “Peluang pasarnya cukup bagus karena dalam promosinya, EnvyMe menggunakan media sosial yang sangat cepat diketahui oleh masyarakat/netizen,” katanya.(*)

Dede Suryadi dan Tiffany Diahnisa

The post EnvyMe, Wujud Rasa Iri Diana kepada Dunia Kecantikan appeared first on SWA.co.id.


Melancong Sambil Berkontribusi Sosial

$
0
0
Sociotraveler

Bisnis tak harus mencari uang semata. Sembari berbisnis, kontribusi sosial pun bisa diberikan. Prinsip itulah yang diyakini Ahadin Syarifudin Fahmi dalam menjalankan bisnis travel dan event organizer. Tak seperti jasa perjalanan lainnya yang cenderung hanya melancong ke satu tempat, Sociotraveler yang dikelola bersama tiga rekannya, menawarkan jasa perjalanan dan kontribusi sosial dalam layanannya.

SociotravelerContohnya paket Dieng Culture Festival tahun 2014 dan 2015. Saat itu, selain ada program trip reguler, Sociotraveler memberikan tambahan kegiatan sosial #saveourenvironment: mengajak peserta mendaki Bukit Sikunir dan membersihkan sampah. Tak kurang dari satu truk sampah terkumpul saat itu.

Ada pula program #KelanaKenawa yang mengusung tema resik pantai. Para peserta diajak bersih-bersih di Pulau Kenawa-Pulau Paserang (Sumbawa Barat), dan Pulau Gili Kondo (Gili Bidara, Gili Kapal, Gili Petagan, Gili Lampu) di Lombok Timur.

Program lainnya: paket #CintaGunung. Peserta menggalang dana untuk pemulihan prasarana masyarakat yang terkena dampak kebakaran hutan Gunung Merbabu, Yogyakarta. Lalu #SnorkelingSchool yang menawarkan pengalaman unik dalam ber-snorkeling. Tak hanya snorkeling, peserta diajari bagaimana menanam terumbu karang dan melihat biorock (media penanaman terumbu karang yang dibuat oleh manusia).

Dirintis sejak 2014, Sociotraveler digawangi Fahmi, Septyan Bayu Aggara, Pramudya Arif dan Shinta Kumala Dewi. Mereka berbagi tugas: konsep perjalanan, media, fotografi, teknologi informasi, dan keuangan. “Sociotraveler ini mimpi kami untuk membangun pariwisata Indonesia. Kami prihatin dengan objek wisata yang masih kurang dikelola dengan baik,” kata Fahmi, pehobi fotografi dan desain grafis lulusan S-1 Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Semarang.

Secara konsep, Sociotraveler menggunakan konsep backpacker, tetapi ditambah konsep pelayanan yang lebih kuat. “Target pasar kami, para karyawan perusahaan yang kurang piknik dan terlalu lama tertekan oleh kebosanan pekerjaannya,” ujar Fahmi. Biasanya sebelum dilakukan perjalanan wisata, timnya lebih dulu menyurvei lokasi dan menjalin kemitraan dengan masyarakat di sekitar tujuan wisata yang tergabung dalam masyarakat Kelompok Sadar Wisata.

Selama ini kisaran peserta dalam setiap perjalanan bervariasi: 8-50 orang, bergantung pada besarnya peminat. Bahkan paket Jomblo Mendaki Rinjani diikuti 57 orang.

Dengan jumlah peserta yang variatif, otomatis pendapatan Sociotraveler setiap perjalanan juga beragam. “Jika tripnya kecil dengan peserta belasan, rata-rata bisa mengantongi Rp 15-20 juta. Namun untuk trip besar bisa di atas Rp 100 juta,” kata Fahmi, kelahiran Sidoarjo, 20 Agustus 1992.

Yang menarik, untuk mengawali bisnis ini, modal Fahmi dkk. boleh dikatakan minim. “Waktu bikin trip ke Dieng dengan gerakan #DiengBersih, kami cuma keluar duit Rp 250 ribu untuk survei. Dari situ keuntungan kami putar,” kata Fahmi.

Untuk memasarkan jasanya, keempat sekawan cenderung menggunakan media online yang murah meriah: media sosial dan website. Termasuk melakukan promosi ke berbagai akun Instagram. “Melakukan improvisasi di bidang periklanan menjadi salah satu ujung tombak promosi trip, didukung dengan improvisasi tulisan untuk menggaet calon peserta trip Sociotraveler,” Fahmi menjelaskan kiatnya.

Ke depan Fahmi ingin mengarahkan Sociotraveler agar banyak menggarap corporate gathering, study tour dan family gathering. “Ya, kami akan mengajak peserta dalam skala besar untuk melakukan perjalanan sekaligus menyebarkan virus kebaikan. Juga akan melebarkan destinasi wisata setiap tahunnya. Tahun 2016 akan ada destinasi internasional,” ucapnya. Saat ini mereka sedang menyiapkan paket #MenapakKinabalu di Sabah, Malaysia.

Sri Niken Handayani dan Sudarmadi

The post Melancong Sambil Berkontribusi Sosial appeared first on SWA.co.id.

Fajri Mulya Iresha, Memberdayakan Masyarakat dengan Bank Sampah

$
0
0
Fajri Mulya Iresha

Jika dikelola dengan baik, sampah mestinya mempunyai nilai ekonomis. Pemikiran itu yang menginspirasi Fajri Mulya Iresha untuk mengembangkan lembaga bank dan pengolah sampah bernama Zero Waste Indonesia (ZWI). “Saya melihat sampah menjadi salah satu masalah serius di lingkungan saya, Kelurahan Kukusan dan Kota Depok secara umum. Tapi di balik permasalahan itu, ada nilai ekonomisnya,” kata Fajri. Melalui ZWI, Fajri mampu memberdayakan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya untuk mengumpulkan sampah yang kemudian disetorkan ke bank sampah.

Fajri Mulya IreshaMenurut Fajri, pergulatannya dengan sampah dimulai ketika ia dan temannya mengikuti ajang ITB Entrepreneur Challenge pada 2013. Dari acara itu, mereka mendapat dana hibah Rp 10 juta dari Kementerian Koperasi dan UKM. Uang hibah tersebut mereka gunakan untuk mengembangkan bank sampah. “Sebelumnya, kami sudah membuat bank sampah kecil-kecilan di daerah kos-kosan di Kukusan Teknik (Kutek),” ungkap Fajri. Setelah itu, mereka berpikir harus memiliki lahan cukup luas. “Kami pakai gudang di belakang kos-kosan, tapi kemudian diprotes warga karena mengundang banyak nyamuk,” cerita Fajri seraya tertawa.

Akhirnya mereka memutuskan menyewa sebidang lahan, masih di wilayah Kutek. Sebelumnya lahan itu adalah tempat pembuangan sampah liar. “Tiga bulan awal kami membersihkan sampah yang tingginya mencapai tiga meter. Orang yang melihatnya mungkin akan menyangka kami orang gila,” kata Fajri.

Awalnya mereka mempelajari jenis sampah dan bagaimana cara pengolahannya. Mereka berpikir, kalau sampah itu cuma dikumpulkan lalu dijual, tak banyak nilai tambahnya. Dan, selama ini, menurut Fajri, umumnya bank sampah berhenti usahanya karena tidak mampu menawarkan nilai tambah. “Akhirnya kami pun patungan berinvestasi untuk membeli mesin pencacah plastik, agar kami bisa menaikkan nilai sampah itu sendiri dari pencacahan plastik tersebut,” kata sarjana dan magister Teknik Lingkungan dari Universitas Indonesia ini.

Mereka menjalin kerja sama dengan bank sampah lain yang rupanya juga masih bingung dalam pengolahan sampahnya. Fajri dkk. lantas membuat sistem penjemputan dan sistem tabungan sampah. Pihaknya juga menggelar pertemuan dengan kalangan ibu-ibu setiap 6 bulan sekali untuk menambah semangat mereka. “Kami mendapat sampah dari dua sumber, yaitu dari bank sampah dan lapak pemulung,” ujar Fajri. Pasalnya, jika mereka hanya mengandalkan pasokan dari bank sampah, setiap bulannya cuma mampu mengumpulkan 1-2 ton sampah plastik. Padahal, kapasitas mesin pencacah plastik milik mereka mencapai 1 ton per hari.

Lucunya, walaupun berniat membantu, Fajri mengaku masih sering kena tipu. Misalnya, suatu kali ketika membeli sampah plastik yang sudah dikarungkan, di dalamnya terdapat batu dan beton, sehingga timbangannya menjadi berat. Namun, masalah yang sering terjadi, jenis plastiknya tidak seperti yang dipesan. “Kami kerap menerima jenis plastik yang keras atau rigid,” ujarnya.

Bagi Fajri, tantangan yang paling dirasakannya adalah kebutuhan akan modal untuk membeli mesin dan alat transportasi yang tinggi. “Kami masih membutuhkan mesin pengering dan mobil pikap,” ungkap Fajri terus terang.

Sejauh ini, perjuangan Fajri tampaknya tak sia-sia. Saat ini, ZWI telah membina 25 bank sampah yang masing-masing rata-rata melibatkan sekitar 30 kepala keluarga. ZWI sendiri mempekerjakan 7 orang sebagai karyawan plus 15 sukarelawan. Karyawan ZWI berasal dari beragam latar belakang: pemulung, pemuda pengangguran, bahkan ada orang yang sebelumnya diasingkan masyarakat (karena menderita penyakit kulit) dan seorang mantan pecandu narkoba. Mereka diberdayakan dengan diberi upah yang layak, makan dan tempat tinggal.

Hingga sekarang, ZWI telah berhasil mengolah 200 kg sampah plastik per hari. Kliennya pun terus bertambah. Termasuk sejumlah industri pengolahan ulang plastik, antara lain PT Sumber Plastik, CV Nusantara Jaya Plastik, dan PT Sumber Jaya Plastik. “Karena sampel kami bagus, jadi bisa masuk,” Fajri mengklaim dengan bangga. Ia mengungkapkan, omset per bulannya bisa mencapai Rp 30 juta dari bisnis pencacahan sampah plastik ini. “Tapi laba bersih memang masih kecil, karena fluktuasi harga plastik saat ini dan kapasitas mesin yang belum maksimal,” katanya beralasan.

Menurut Fajri, saat ini sumber sampah yang diterimanya masih dominan dari lapak pemulung. Ia berharap, ke depan, komposisinya berubah: mayoritas dari bank sampah (warga).

Fajri mengaku masih punya mimpi untuk mengatasi permasalahan sampah organik. Untuk itu, ia hendak mengembangkan ZWI dengan membaginya dalam tiga bagian. Pertama divisi riset. Ia mengaku tim risetnya sudah sampai ke London untuk penelitian mengenai kompos yang dapat dijadikan filter air untuk limbah. Kedua, impak. Tim ini nanti yang akan berhubungan dengan masyarakat. Ketiga, media. Tim ini nanti akan menyebarkan aneka informasi mengenai bank sampah.

Pengabdian Fajri mendapat dukungan dari salah seorang relawan, yakni Amanda Putri Ayu. Ia telah dua bulan bergabung dengan ZWI. “Saya tertarik bergabung, karena ingin berkontribusi bagi lingkungan, sehingga Depok tetap asri dan sampahnya bisa berkurang,” ungkap Amanda. Ia berharap, pihak ZWI lebih sering mengadakan penyuluhan, karena banyak kaum ibu yang sebenarnya cukup antusias untuk mengikuti kegiatan di bank sampah ini.

Maria Hudaibyah Azzahra & A. Mohammad B.S.

The post Fajri Mulya Iresha, Memberdayakan Masyarakat dengan Bank Sampah appeared first on SWA.co.id.

Jemi Ngadiono, Anak Petani yang Menggaungkan Komunitas 1.000 Guru

$
0
0
Jemi Ngadiono

Pil pahit dialami Jemi Ngadiono, pendiri Komunitas 1.000 Guru, lantaran terpaksa putus sekolah. Penyebabnya, kondisi perekonomian keluarganya yang pas-pasan. Orang tuanya berprofesi sebagai petani. Jemi pun terpaksa bekerja serabutan demi bisa melanjutkan pendidikannya. Ia menyisihkan penghasilannya agar bisa membiayai sekolahnya di SMK 24 Jakarta Timur, dan merampungkan kuliahnya tahun 2008 di Jurusan Penyiaran, Bina Sarana Informatika, Tangerang Banten. Kini, Jemi menjelma sebagai social entrepreneur karena menggaungkan kepedulian sosial sambil piknik (traveling) ke sekolah di daerah pedalaman.

Jemi NgadionoSekadar kilas balik, Jemi mendirikan Komunitas 1.000 Guru ketika masih kuliah. Waktu itu ia sudah bekerja di salah satu media elektronik. Tugasnya merekam gambar dari aneka peristiwa yang terjadi di daerah pedalaman. “Saya melihat kondisi sekolah di daerah pedalaman memprihatinkan, dan muridnya tidak memakai sepatu,” ia menceritakan. Hal itu membangkitkan tekadnya untuk berkontribusi nyata bagi dunia pendidikan. Lalu, dia membuat akun Twitter @1000_guru pada Agustus 2012.

Ia acap kali mengunggah kegiatannya serta foto-foto yang menggambarkan kondisi dan para murid di daerah terpencil yang dikunjunginya ke akun Twitter-nya itu. “Saya tidak menyangka kalau responsnya cukup baik. Dalam kurun waktu satu tahun, jumlah follower-nya mencapai 30 ribu,” ungkapnya. Kebanyakan pengikut akunnya itu ingin turut serta dalam kegiatan yang dilakoni Jemi. Berangkat dari hal itu, ia lalu mencetuskan Komunitas 1.000 Guru yang dideklarasikan pada November 2013. Komunitas ini, Jemi menjelaskan, tidak terafiliasi dengan lembaga pemerintah. Aktivitasnya adalah mengajak peserta menjelajahi (open trip) wilayah terpencil yang berlangsung selama tiga hari (Jumat-Minggu).

Jemi memulai kegiatannya tahun 2013 dengan menyusuri daerah pedalaman di Rangkasbitung, Banten. Pesertanya hanya 9 orang (sukarelawan). Selanjutnya, jumlahnya membengkak lantaran tingginya minat masyarakat. Agenda kegiatannya: mengunjungi berbagai objek wisata ala backpacker. Tak hanya itu, dia menyelipkan kegiatan sosial karena peserta diharuskan mengajar para murid sekolah atau memberikan bantuan untuk memperbaiki bangunan sekolah atau memberikan alat-alat tulis. Jemi menamakan programnya itu Traveling and Teaching (TnT). “Kini, progam TnT berlangsung setiap bulan di daerah terpencil. Kami sudah memiliki 38 cabang regional di 30 provinsi,” ujarnya. Jakarta menjadi pusat komando Komunitas 1.000 Guru, sementara cabangnya beroperasi di sejumlah wilayah, antara lain Bengkulu, Bandung, Kupang, Makassar dan Samarinda.

Jadi, lanjut Jemi, masing-masing cabang mengadakan open trip TnT setiap bulannya ke desa terpencil. Biasanya, kegiatan peserta di hari Sabtu memberikan materi pelajaran di sekolah. “Materi ajarnya ringan, yakni mengenai ilmu dasar seperti geografi, biologi dan sebagainya,” ungkapnya. Adapun aktivitas di hari Minggu mengunjungi destinasi wisata. Alih-alih menginap di hotel, para peserta menumpang di rumah warga. Tujuannya, menjalin ikatan emosional antara sukarelawan dan warga setempat. Porsi aktivitas mengajar disesuaikan dengan kondisi di suatu daerah. Kegiatan mengajar mencapai 60% apabila jumlah lokasi wisatanya tidak banyak, sedangkan kegiatan jalan-jalan 40%. Sebaliknya, durasi untuk jalan-jalan akan lebih dominan apabila jumlah objek wisatanya lebih banyak.

Lantas, berapa tarif yang dipatok setiap kali perjalanan? “Tarifnya tergantung wilayahnya, rata-rata berkisar Rp 300 ribu sampai Rp 1 juta per orang,” tutur pria kelahiran Tulang Bawang, Lampung, 11 Mei 1984 ini. Sebagian dana digunakan untuk kebutuhan peserta, di antaranya untuk konsumsi, kaus dan sepatu. “Sisanya yang sekitar 26% digunakan untuk donasi ke sekolah. Inilah uniknya perjalanan TnT,” tutur Jemi.

Selain traveling, komunitasnya juga menyediakan program beasiswa guru pedalaman dan kampanye moral bertajuk Hormati Gurumu. Beasiswa diberikan kepada para guru lulusan SMA atau sederajat. Agar tepat sasaran, Jemi dan timnya terjun langsung untuk menghimpun informasi mengenai guru atau sekolah yang layak mendapat bantuan. “Kami sudah memberikan beasiswa kepada empat guru di daerah pedalaman,” katanya.

Rhenald Kasali, pengamat kewirausahaan, menyarankan pengelola Komunitas 1.000 Guru harus selektif menjaring peserta yang akan menjadi guru. “Jika tujuannya untuk pendidikan, harus selektif memilih gurunya karena seorang guru harus berintegritas,” kata Rhenald. Jemi menambahkan, peserta TnT berasal dari berbagai latar belakang profesi, semisal dokter, karyawan swasta, guru dan mahasiswa. “Namun, peserta yang kami fokuskan adalah peserta yang peduli masa depan pendidikan anak-anak,” ia menegaskan.

Ke depan, Jemi berencana mendirikan yayasan sebagai payung hukum bagi komunitasnya. “Kami mengurus prosedur administrasinya sejak Januari kemarin. Kalau yayasan ini sudah beroperasi, kami ingin memberikan bantuan untuk anak-anak di Nusa Tenggara Timur selama 12 bulan,” ungkap Jemi. Setiap bulan, Jemi bakal memberikan bantuan sebanyak 16 kali. Dia mengimpikan pendidikan yang layak bisa dinikmati oleh anak-anak di daerah pelosok dan guru semakin sejahtera.

Rhenald merespons positif kegiatan sosial yang dirintis oleh generasi muda seperti Jemi ini. “Kita harus mengapresiasinya,” ia menandaskan. Rhenald menganjurkan Jemi untuk menjelaskan misi komunitasnya itu sebagai kegiatan sosial atau unit bisnis. “Saya juga menyarankan peserta menghormati kearifan lokal di daerah-daerah dan mempelajari nilai-nilai budayanya,” ujar Rhenald.

Syukron Ali & Vicky Rachman

Riset: Yulia Pangastuti

The post Jemi Ngadiono, Anak Petani yang Menggaungkan Komunitas 1.000 Guru appeared first on SWA.co.id.

Hologram Indonesia Berambisi Menggebrak MICE

$
0
0
Jpeg

JpegTiga orang pemuda yang baru saja melepas toga wisuda ini telah berhasil membangun sebuah bisnis startup bernama Hologram Indonesia di bawah PT Garuda Solusi Kreatif. Daniel Andrew (25) dan Muchlis Alif (25), adalah alumni Teknik Informastika Swiss-German University tahun 2014. Saat lulus mereka membuat sebuah konsep bisnis yang dinamai Hologram Indonesia. Setahun kemudian mereka merekrut adik kelasnya Andrew Japar (24), untuk ikut bergabung. Apa dan bagaimana mereka membangun bisnisnya? Berikut wawancara SWA Online saat bertemu ketiganya d event Spica Runway – Startup Competition, 25/05/2016 lalu.

Bisa dijelaskan Hologram Indonesia ini bisnis apa ?

Hologram Indonesia (HI) adalah technology agency yang biasa support untuk event-event. Jadi kami lebih memberikan solusi. Ada beberapa solusi yang kami berikan, salah satunya hardware. Ada tiga solusi yang kami berikan, pertama Pra Event Indonesia, ini adalah solusi untuk membangun awareness target pasar event, sehingga masyarakat tahu akan ada event, tentang apa eventnya. Kedua, adalah Lumi Glass, ini adalah hardware, berupa kotak berisi hologram. Ini fungsinya untuk display, enggament, supayanya eventnya lebih menarik, dengan sentuhan teknologi, dan yang ketiga adalah Post Event Solution, nah event-event yang sudah diselenggarakan itu , setelah selesai mereka butuh report, data untuk evaluasi tim marketingnya atau brandnya. Kami bisa menyediakan datanya yang didapat dari Par Event Solustion dan hardware tadi.

Jadi produk hardware yang dijual HI untuk event itu apa saja ?

Kami punya Lumi Glass Holow Box, ini adalah sebuah ilusi tiga dimensi didalam boks empat dimensi sehingga nantinya terlihat seperti empat dimensi. Ini ada beberapa varian, mulai dari 19 inch sampai 30 inch, bahkan bisa satu panggung 3 x 5 meter. Fungsinya untuk menampilkan obyek-obyek untuk product launching, misalnya mobil, kulkas, AC dll. Untukk konser dan fashion show juga bisa.

Modal awalnya dari mana ?

Kami awalnya punya konsep dan diikutkan dalam kompetisi yang diadakan Kemenristek lalu menang dan dapat dana hibah, dari sana modal awal kami.

Awal ceritanya bagaimana samapai bisa membangun bisnis ini ?

Pertama adalah daniel dan muchlis yang start bisnis duluan tahun 2013, mereka dapat dana hibah dari Kemenristek. Akhirnya setelah sudah running, mereka bikin PT Garuda Solusi Kreatif (GSK). Dari visi dan misi mereka akhirnya dibikin unit bisnis yang namanya Hologram Indonesia, dan Forsecnet. Nah Hologram Indonesia ini adalah solusi untuk support event. Kalau Forsecnet ini untuk enterprise solution, software house, kami sudah kerjasama dengan Kominfo, karena memang target pasarnya adalah B2G, kami menyediakan layanan keamanan untuk menedeteksi aktivitas atau potensi hacker di seluruh dunia.

Lalu Forsecnet itu seperti apa perkembangan bisnisnya ?

Sejauh ini belum terlalu banyak kliennya, tetapi itu karena memang Forsecnet fokusnya untuk melayani sekuritas bagi situs – situs resmi pemerintah, jadi proyeknya berulang dengan satu klien yang sama.

Selama 1,5 tahun ini sudah berapa event yang ditangani dan kliennya siapa saja ?

Jumlah eventnya persisnya saya kurang ingat, ada lebih dari 10 event yang sudah kami tangani, kliennya antara lain Yamaha di Indonesia Motor Show 2015, Pfizer, Samsung, Bank Mandiri, Toyota, FIFGroup, BMKG, Magnum, Daikin.

Membangun bisnis seperti ini apa saja tantangannya ?

Waduh banyak sekali, tetapi yang paling menantang adalah kami semua backgroundnya IT dan tidak punya pengelaman kerja di perusahaan jadi kami sama sekali buta soal manajemen bisnis, seperti keuangan. Jadi kami mau tidak mau harus belajar manajemen keuangan bisnis. Seiring berjalan waktu jadinya harus belajar untuk mengelola finnace, cash flow dan sebagainya. Lalu strategi pemasarannya.

Siapa klien pertama Hologram Indonesia? Bagaimana pengalaman pertama melayani klien pertama ?

Klien pertama kami itu dibukakan koneksinya lewat dosen kami. Tetapi karena kami belum punya portofolio maka saat itu kami memasukan Kemenristek sebagai klien kami, padahal mereka ibarat inkubator kami hehe… tetapi Alhamdulillah dari sana lalu terus berdatangan permintaan.

Strategi pemasarannya seperti apa ?

Karena kami ini B2B dan B2G jadi kami masih mengandalkan direct selling, jadi nggak malu-malu mengetok pintu dan menawarkan jasa hehe… karena kalau mengandalkan media lainnya seperti sosial media untuk segmen kami yang B2B dan B2G kurang efektif.

Apa target dan rencana kedepan ?

Target besar kami untuk Hologram Indonesia, kami ingin main di industri MICE Indonesia, karena pasarnya besar. Dan masih belum banyak teknologi yang melayani atau mengakomodir kebutuhan MICE. Sampai saat ini belum ada bisa mengukur, industri MICE itu segmentasinya berapa besar? Nah lewat Post event Solution kami mau bikin terobosan untuk layanan ini. (EVA)

The post Hologram Indonesia Berambisi Menggebrak MICE appeared first on SWA.co.id.

Kevin Joshua, Menjajal Startup SDM

$
0
0
Kevin Joshua

Buat perusahaan yang memiliki ribuan karyawan, pengelolaan sumber daya manusia (SDM)-nya tentu rumit, sekaligus berbiaya besar. Karena itu, perusahaan rela membayar mahal untuk sebuah peranti lunak yang mampu mengefisiensikan proses pengelolaan SDM-nya. Kevin Joshua jeli melihat peluang itu. Kelahiran Jakarta, 24 tahun silam, ini membesut Talenta.co, startup pengelolaan SDM berbasis komputasi awan.

Kevin JoshuaHanya dengan membayar biaya berlangganan beberapa ribu rupiah per karyawan, perusahaan sudah bisa mengakses berbagai layanannya yang mencakup sistem penggajian, absensi, cuti, tunjangan, bonus sampai perpajakan. Hebatnya lagi, walau baru seumur jagung, Talenta telah mendapat suntikan dana dari berbagai investor besar dan kini telah mengelola belasan ribu karyawan klien-kliennya di bawah bendera PT Talenta Digital Indonesia.

Kevin, sarjana sistem informasi lulusan Universitas Bina Nusantara, mulai membuat Talenta pada September 2014 dan meluncurkan versi betanya lima bulan kemudian dengan menggunakan Softlayer, sistem komputasi awan dari IBM. Mantan Manajer Komunitas di Kakaotalk mengungkapkan itu meluncurkan Talenta karena percaya ke depan akan banyak perusahaan yang mengalihkan pengelolaan SDM-nya dari sistem manual ke digital. Indikasinya, banyak anak pengusaha Indonesia calon penerus perusahaan yang kuliah di luar negeri dan telah familier dengan digitalisasi pengelolaan SDM. Karena itu, ia yakin masa depan bisnisnya akan cerah.

Untuk investasinya, Kevin mengaku mendapat suntikan dana dengan total nilai Rp 5 miliar; 40% dari East Venture dan Grup Mayapada pada September 2014, sisanya dari Fenox Venture Capital pada Agustus 2015.

Meski menjadi penyedia layanan SDM bermodel software as a service (SaaS) satu-satunya di Indonesia, ternyata Talenta tak mudah meraih klien. Kevin yang kini dibantu 13 karyawan masih harus terlibat langsung dalam proses presentasi hingga negosiasi harga dengan perusahaan calon kliennya. Pasalnya, banyak perusahaan di Indonesia yang belum akrab dengan model berlangganan peranti lunak melalui Internet alias SaaS.

Namun, kegigihannya berbuah manis. Kini, terdapat lebih dari 30 perusahaan dengan 15.000 karyawan yang menggunakan layanan Talenta. “Hampir semua perusahaan yang sudah bergabung dengan kami adalah startup bisnis juga, seperti Gojek, GrabTaxi, TopasTV, Qraved, MicroAd, Kudo dan ShopDeca,” ungkap Kevin.

Untuk model bisnisnya, perusahaan yang ingin menggunakan jasa Talenta.co sebagai platform SDM dikenai biaya Rp 10.000 per karyawan untuk perusahaan dengan karyawan kurang dari 100 orang. Perusahaan dengan jumlah karyawan di atasnya dikenai tarif Rp 5-8 ribu per orang.

Sejak diluncurkan setahun silam, Talenta hingga kini telah meraup omset Rp 300 juta. Meski demikian, Kevin mengaku tidak fokus pada penghasilan. Ia masih menargetkan untuk terus memperkenalkan bisnisnya lebih luas lagi. “Saya juga berharap ke depan platform ini tidak hanya bisa dinikmati oleh bagian SDM di perusahaan, tetapi juga karyawan dapat menggunakannya,” kata Kevin mengungkapkan rencananya.

Albert Lucius, pendiri Kudo, penyedia mesin kios untuk berbelanja online, mengaku perusahaannya telah menggunakan Talenta sejak April silam. Sejak itu, perusahaannya lebih mudah mengurusi absensi, pajak dan sistem penggajian karyawan. “Yang paling kerasa sih pengurangan jumlah kerepotan yang ditangani tim HR dan akunting karena semuanya, termasuk data absen, diambil secara otomatis,” ujarnya.

Menurut Albert, setelah membandingkan dengan sistem dari perusahaan lain, Talenta dipilihnya lantaran paling fleksibel dalam layanan dan sistem pembayarannya. Meski demikian, ia menyarankan agar Talenta mengintegrasikan sistemnya dengan layanan lain, seperti sistem akuntansi, reimbursement dan asuransi. “Lebih banyak integrasi dengan sistem lainnya. Itu akan menjadi key advantage bagi Talenta dibanding perusahaan lain,” katanya.(*)

Syukron Ali dan Eddy Dwinanto Iskandar

Riset: Armiadi Murdiansyah

The post Kevin Joshua, Menjajal Startup SDM appeared first on SWA.co.id.

Viewing all 151 articles
Browse latest View live